tirto.id - Elektabilitas Presiden Joko Widodo atau Jokowi jelang dibukanya masa pendaftaran bakal calon presiden untuk Pemilu 2019 ternyata belum aman. Hal itu setidaknya terlihat dari hasil survei exit poll yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) saat pilkada serentak 27 Juni 2018.
Berdasarkan survei itu, Jokowi memang hanya akan mengalami kekalahan di Jawa Barat seandainya pemilu berlangsung 27 Juni lalu. Sementara, elektabilitas Jokowi lebih tinggi dibanding bakal calon potensial lainnya, Prabowo Subianto pada lima provinsi besar yang menggelar pilkada serentak.
Akan tetapi, ada catatan penurunan elektabilitas Jokowi berdasarkan survei exit poll SMRC jika dibandingkan dengan hasil pemilu presiden 2014 di beberapa provinsi. Di Provinsi Sumatera Utara, misalnya, elektabilitas Jokowi berdasarkan hasil survei mencapai 52,8 persen. Angka itu menurun dari raihannya saat pemilu 2014 yakni 55,23 persen.
Penurunan juga terjadi di Sulawesi Selatan. Pada Provinsi itu, tingkat keterpilihan Jokowi seandainya pemilu dilakukan pada 27 Juni adalah 50 persen. Angka itu menurun drastis dari elektabilitas saat pemilu terakhir, dimana Jokowi mengantongi 71,43 persen dukungan warga Sulsel.
Berdasarkan hasil survei yang sama, elektabilitas Prabowo memang hanya unggul dari Jokowi di Jawa Barat. Pada provinsi itu, Prabowo didukung 51,2 persen responden, sementara Jokowi mendapat 40,3 persen dukungan.
Akan tetapi, elektabilitas Prabowo juga mengalami kenaikan di salah satu provinsi dibanding hasil pemilu 2014 lalu. Pada Provinsi Sulsel, misalnya, Prabowo mendapat dukungan 38,4 persen responden. Angka itu naik dibanding elektabilitas Prabowo pada pemilu 2014 sebesar 28,57 persen.
Direktur Riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Deni Irvani mengatakan, penurunan elektabilitas Jokowi di Sumatera Utara tidak signifikan. Sebabnya, penurunan masih terjadi dalam rentang margin of error (MoE) survei exit poll.
Akan tetapi Deni mengakui adanya penurunan signifikan tingkat keterpilihan Jokowi di Sulawesi Selatan, bila dibanding dengan hasil pemilu presiden 2014. Ia menduga, penurunan tajam elektabilitas Jokowi terjadi karena faktor Jusuf Kalla (JK).
"Pada [Pilpres] 2014 sudah ada pasangannya, sekarang hanya dua nama capres saja. Secara intuitif kami bisa katakan faktor calon wapres kelihatan di Sulsel yang merupakan basisnya Pak JK. Ketika dalam simulasi pilihan presiden tak menyertakan nama dia [JK], kelihatan ada perbedaan signifikan," kata Deni kepada Tirto, Rabu (4/7/2018).
SMRC menganggap figur calon wapres penting untuk mendongkrak elektabilitas kandidat di pemilu presiden. Dalam konteks pemilihan di Sulsel, kata dia, lembaganya menganggap kehadiran JK masih menjadi kunci untuk mendulang suara.
Deni berkata, sebagai petahana Jokowi harus bekerja keras guna menaikkan tingkat keterpilihan jelang pemilu. Deni menganggap kerja ekstra harus dilakukan Jokowi di Jawa Barat, karena kekalahan nyata dialami eks Gubernur DKI Jakarta itu di sana berdasarkan hasil survei terbaru.
"Saya kira Pak Jokowi sudah secara umum bekerja, kalau di tingkat nasional, kepuasannya sudah sangat tinggi mencapai 70 persen lebih. Karena itu di Jawa Barat memang ada faktor lain, disamping memang pemilu 2014 masih membekas kalau yang berkontestasi hanya dua nama ini [Prabowo dan Jokowi]" kata Deni.
SMRC juga menduga ada sejumlah faktor irasional yang bisa mempengaruhi tingkat keterpilihan Jokowi selaku bakal capres petahana. Beberapa faktor itu adalah penilaian personalnya oleh masyarakat, unsur sosiologis, kedaerahan, suku dan agama.
Menurut Deni, selaku petahana Jokowi juga harus bekerja ekstra menaikkan penilaian kinerja di mata masyarakat. Ia menganggap popularitas Jokowi sudah cukup tinggi di kalangan masyarakat menengah ke bawah, namun belum aman di mata pemilih kelas ekonomi menengah ke atas.
"Pak Jokowi ini cukup populer di kalangan menengah ke bawah, positif kinerjanya atau kualitas personalnya, tapi di kalangan menengah ke atas biasanya yang anti-status quo itu [meragukan]" ujar Deni.
Faktor Ekonomi adalah Kunci
Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menilai, tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Jokowi bisa menjadi barometer untuk mengukur kemenangan dan kekalahan Jokowi di pemilu mendatang.
Menurut Ujang, tingkat kepuasan masyarakat atas kerja Jokowi harus diimbangi dengan penciptaan stabilitas ekonomi. Ujang menganggap elektabilitas Jokowi rentan jatuh semakin dalam jika ia tak mampu menjaga stabilitas ekonomi.
“Jika ekonomi gonjang ganjing, Jokowi bisa rontok," kata Ujang.
Pengajar di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) itu menganggap, elektabilitas Jokowi jelang pemilu masih rentan. Pandangan itu muncul setelah ia melihat adanya penurunan elektabilitas Jokowi berdasarkan hasil survei exit poll di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
Menurut Ujang, menurunnya tingkat keterpilihan Jokowi bisa diartikan sebagai tanda adanya pengurangan tingkat kepercayaan masyarakat.
"Tentu rentan karena kedua provinsi di luar Jawa tersebut memiliki jumlah pemilih besar. Petahana memang kuat dan berpotensi menang lagi, namun tidak ada petahana yang tidak bisa ditumbangkan dan dikalahkan," ujar Ujang.
Respons PDIP, Golkar, dan PKS
Melihat hasil survei exit poll SMRC, Ketua DPP PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno enggan berkomentar banyak. Menurut dia, hasil survei masih bisa berubah. Ia meminta masyarakat tidak terbatas melihat hasil sebuah survei.
"Jangan kita dikerangkeng oleh hasil-hasil sementara yang terus berubah. Nanti kita seperti robot mainan," kata Hendrawan kepada Tirto.
PDIP yakin elektabilitas Jokowi akan terus meningkat hingga pemilu 2019 dilakukan. Keyakinan itu sama seperti yang dimiliki Golkar.
Sebagai salah satu parpol pendukung Jokowi, Golkar menganggap wajar kekalahan Jokowi berdasarkan hasil survei exit poll di Jawa Barat. Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono berkata, hasil survei exit poll tersebut tidak akan berpengaruh besar terhadap pencalonan Jokowi sebagai capres nanti.
"Saya yakin ini tidak berpengaruh. Golkar, kan, sudah solid dukungannya ke Jokowi [...] jadi tidak ada pergeseran, kecuali ada hal luar biasa, misalnya Pak Jokowi tidak bisa maju [pemilu] karena sakit atau apalah," ujar Dave.
Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Menurutnya, hasil survei exit poll SMRC menunjukkan banyaknya masyarakat yang menurun kepercayaannya terhadap Jokowi.
Mardani berkata, penurunan elektabilitas Jokowi di sejumlah provinsi menunjukkan besarnya peluang pergantian presiden pasca pemilu 2019. “Isu #2019GantiPresiden sangat berpengaruh pada penurunan elektabilitas Pak Jokowi. Peluang #2019GantiPresiden kian besar," kata Mardani.
Politikus asal DKI Jakarta itu memastikan bahwa partainya akan tetap bersama Gerindra untuk melawan Jokowi di pemilu mendatang. Akan tetapi, ia belum mengungkap siapa figur penantang Jokowi yang akan diajukan saat pemilu nanti.
"Exit poll kian menunjukkan presiden tidak dapat membahagiakan warga. PKS tetap mengajukan 9 kadernya [menjadi capres] dan bersekutu dengan Gerindra," kata Mardani.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz