tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering menampakkan keakraban dengan sejumlah ketua umum partai politik pendukungnya pada sejumlah kesempatan. Cara komunikasi politik semacam ini dilakukan terhadap tokoh yang banyak disebut potensial menjadi kandidat cawapres di Pemilu 2019.
Cara seperti ini pernah ditunjukkan Jokowi saat mengajak Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar untuk meninjau kesiapan kereta bandara pada 2 Januari 2018. Saat disinggung wartawan apakah ia membahas perkara politik dalam pertemuan itu, Jokowi justru memberi jawaban supaya pertanyaan itu ditanyakan kepada Muhaimin.
“Tanya Cak Imin saja,” kata Jokowi saat itu menyebut sapaan akrab Muhaimin Iskandar.
Usai diajak Jokowi jalan-jalan, Muhaimin mengklaim kepada wartawan bahwa ada pembicaraan politik dengan Jokowi. Muhaimin tak eksplisit menjelaskan apakah pembicaraan itu mengenai Pilpres 2019 atau bukan, ia hanya membahas soal sinkronisasi antara agama dan negara.
Pernyataan Muhaimin memicu spekulasi bahwa Jokowi akan memilih Muhaimin sebagai cawapres untuk memenuhi unsur Islam yang selama ini disebut kurang dapat dipenuhi Jokowi. Terlebih, pertemuan tersebut dilangsungkan setelah banyak kader PKB mendeklarasikan Muhaimin sebagai cawapres 2019.
Selang sebulan kemudian, tepatnya 3 Februari 2018, Jokowi mengajak Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy untuk menghadiri haul di Pesantren Salafiyah Safi'iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.
Di momen tersebut tidak ada pembahasan perihal politik antara Jokowi dengan Romahurmuziy, tapi belum lama ini Jokowi menyebut ketua partai berlambang kabah tersebut sebagai sosok yang "cocok jadi cawapres" di acara Mata Najwa.
Selang sebulan setelah bertemu Romy, Jokowi mengajak Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto untuk 'berduaan' di Istana Bogor pada 24 Maret 2018. Keduanya jogging pagi bersama. Pada pertemuan itu, Jokowi pun mengenakan kaos berwarna kuning yang akrab dengan warna Partai Golkar.
Kepada wartawan, Jokowi mengaku membahas kriteria cawapresnya dengan Airlangga. “Ya tetap saya sampaikan mengenai kriteria-kriteria yang mungkin di Golkar, kriteria apa sih yang diinginkan di Golkar," kata Jokowi saat itu.
Momen tersebut juga dianggap sejumlah politikus Golkar sebagai wujud kecocokan antara Airlangga dengan Jokowi sebagai pasangan capres-cawapres. Terlebih dua hari sebelum pertemuan di Bogor tersebut, Ketua Dewan Pembina Golkar, Aburizal Bakrie sudah memberikan isyarat Menteri Perindustrian itu akan menjadi cawapres yang diusulkan Partai Golkar.
PPP dan PKB Tak Anggap Jokowi Merayu
Soal sikap Jokowi ini, Sekjen PPP Arsul Sani menilai Jokowi tidak sedang merayu lantaran Jokowi bukan tipikal perayu. Ia bahkan menyebut tak memandang pujian Jokowi kepada Romahurmuziy sebagai sebuah angin surga, tapi hanya canda biasa.
“Pak Jokowi itu orangnya memang humoris,” kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (26/4/2018).
Arsul juga berujar PPP tak mematok bahwa Romahurmuziy harus menjadi cawapres Jokowi, melainkan hanya mematok agar cawapres Jokowi berasal dari unsur Islam.
“Tantangannya bagi PPP kalau arsiran sosok agamis religius tidak terpenuhi, itu yang akan kami pikirkan,” kata Arsul.
Demikian juga dengan Wasekjen PKB Jazilul Fawaid. Menurutnya, sikap Jokowi yang kerap berduaan dengan sejumlah ketua umum partai pendukung pemerintah merupakan sikap yang menonjolkan ke publik bahwa Jokowi adalah presiden semua partai. Bukan untuk memberikan harapan-harapan khusus.
“Kalau PKB yakin Pak Jokowi ini politikus yang memperhitungkan semua aspek dan negarawan. Bukan hanya memperhatikan satu segmen saja ini mau ini dapat ini. Semua akan dibicarakan," kata Jazilul.
Meski begitu, Jazilul menyatakan PKB tetap menginginkan Muhaimin sebagai cawapres pendamping Jokowi. Menurutnya, ketua umum partainya tersebut memang paling cocok untuk menjadi cawapres ketimbang tokoh lainnya.
“Belum ada tawaran lain ke Pak Jokowi dari kami selain itu [untuk jadi koalisi],” kata Jazilul.
Baru Sebatas Penjajakan
Sikap Jokowi yang bertemu tiga ketum partai dalam tiga bulan terakhir, mendapat respons Direktur Populi Centre Usep Ahyar, cara ini sebagai strategi untuk menyolidkan koalisi menjelang Pilpres 2019.
“Itu bagian penjajakan Pak Jokowi untuk menyolidkan partai koalisinya," kata Ahyar kepada Tirto.
Ahyar menyebut Jokowi sedang ingin mencari respons publik dan partai koalisinya terhadap sosok yang nantinya berpeluang menjadi pendamping dalam pilpres. Respons itu dinilai dosen politik di Univesitas Sultan Ageng Tirtayasa ini sebagai dasar penilaian untuk memilih salah satu di antara mereka.
“Jokowi tentunya harus mencari sosok yang lengkap seperti Pak JK,” kata Ahyar.
Cara komunikasi seperti ini bukan berarti tanpa risiko. Akhyar mengatakan Jokowi berpotensi ditinggal pendukung lantaran secara tak langsung membuat parpol mematok syarat jika nantinya dipilih menjadi calon wakil presiden. Analisis ini didasarkan atas masih melekatnya istilah ‘Siapa dapat apa” dalam tradisi politik di Indonesia.
Pada sisi lain, Ahyar menyebut, peluang oposisi untuk merekrut partai pendukung Jokowi menjadi terbuka jika tawaran yang diajukan tak diterima Jokowi. “Jadi kalau misalnya koalisi oposisi menawarkan posisi yang lebih tinggi, tentu mereka yang kecewa dengan Jokowi akan mudah pindah dukungan," kata Ahyar.
Menurut Ahyar, saat ini belum ada perjanjian hitam di atas putih di antara partai-partai yang telah mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi. Sehingga, menurutnya, sebelum benar-benar terwujud dalam rekomendasi resmi ke KPU, partai-partai tersebut sangat berpeluang menyeberang ke lawan politik Jokowi.
Namun, Jokowi dalam wawancara acara Mata Najwa menegaskan masih membuka opsi-opsi termasuk menggandeng Prabowo sebagai cawapres "politik itu kan tak hanya keputusan saya, saya juga harus bertanya dengan partai-partai pendukung saya, relawan-relawan saya seperti apa,"
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih