Menuju konten utama

Ekstrakurikuler Mobile Legends: Inovasi atau Ancaman Psikologis?

Kebiasaan siswa memainkan gim Mobile Legends, menurut Pemkot Surabaya, dapat berdampak positif bila diarahkan dengan baik, khususnya di era digital kini.

Ekstrakurikuler Mobile Legends: Inovasi atau Ancaman Psikologis?
Mobile Legends: Bang Bang. (FOTO/Dok. Mobile Legends: Bang Bang)

tirto.id - Dedi Mulyadi adalah sosok pejabat yang sangat geram dengan anak-anak yang kerap bermain gim daring Mobile Legends. Sampai-sampai, pada suatu momen di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, orang nomor satu di Jawa Barat tersebut berencana memasukkan siswa yang kecanduan gim tersebut ke barak militer.

Menurut Dedi, siswa yang kecanduan gim tersebut termasuk pada kategori siswa nakal. Untuk membuktikan klaimnya, ia pun menceritakan kisah dua pelajar SMP di sebuah daerah yang tega menghabisi kakeknya karena dilarang menggunakan sepeda motor pada malam hari.

Usut punya usut, kedua siswa tersebut rupanya ingin memainkan Mobile Legends dengan menggunakan fasilitas WiFi gratis di sebuah taman. Karena itu, secara tak langsung, Dedi menyimpulkan bahwa siswa yang kecanduan Mobile Legends dapat bertindak ganas dengan membunuh seseorang yang bahkan kendati itu kakeknya sendiri.

Dari cerita tersebut, Dedi pun mengklaim bahwa barak militer adalah tempat yang cocok bagi siswa yang kecanduan gim tersebut. Di barak militer, Dedi yakin bahwa siswa seperti itu akan berubah menjadi siswa yang baik disiplinnya, bugar fisiknya, dan tentu saja sehat mentalnya.

Akan tetapi, perbedaan pemimpin dan daerah tentu dapat mengarah pada perbedaan cara merespon. Dalam hal ini, tak seperti Dedi, Pemkot Surabaya justru berusaha mengambil segi positif dari gim tersebut.

Kebiasaan siswa memainkan gim tersebut, menurut Pemkot Surabaya, dapat berdampak positif bila diarahkan dengan baik, khususnya di era digital kini. Oleh karenanya, Pemkot Surabaya kemudian berinisiatif untuk memasukkan gim tersebut ke dalam ekstrakurikuler jenjang SD dan SMP pada tahun ajaran baru 2025/2026.

Inisiatif tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan Surabaya, Yusuf Mafruh. Dengan menjalin kerja sama dengan komunitas e-sport MLBB (Mobile Legends Bang Bang) dan Moonton game, pengembang Mobile Legends, Yusuf yakin bahwa gim Mobile Legends dapat mengasah siswa dalam hal kerja sama tim, strategi, dan pengambilan keputusan dalam situasi yang dinamis.

Bukan hanya itu, ekstrakurikuler Mobile Legends, kata Yusuf, juga dapat menjadi jembatan pembelajaran akademik dengan minat siswa di dunia digital. Itulah mengapa, ia pun menyebut bahwa ekstrakurikuler ini dapat menjadi media edukatif bagi siswa di era digital.

“Harapannya, ekstrakurikuler ini dapat mendukung para guru dan siswa,” ungkap Yusuf, sebagaimana dikutip dalam Antara pada Kamis (22/5/2025).

Namun, klaim Yusuf tersebut seolah melupakan fakta bahwa kecanduan gawai dan gim daring (game online) adalah salah satu masalah yang dihadapi oleh anak di Surabaya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Poli Jiwa dan Remaja Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, ada sekitar 3.000 anak dan remaja yang berobat di RSJ Menur pada periode Januari hingga Juli 2024 karena gangguan mental, termasuk kecanduan gawai dan gim daring.

Inisiatif memasukkan gim Mobile Legends ke dalam ekstrakurikuler pada jenjang SD dan SMP, akhirnya, menjadi hal yang perlu ditimbang sisi positif dan negatifnya.

Tidak Boleh Menilai Hitam-Putih

Ahli Psikologi Pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Yohana Wuri Satwika, mengatakan bahwa gim daring seperti Mobile Legends tidak boleh dilihat secara hitam-putih. Dengan lain kata, gim tidak boleh dilihat mutlak sebagai sesuatu yang buruk, dan sebaliknya, tak boleh juga dilihat mutlak sebagai sesuatu yang baik.

Karena itulah, Yohana mengakui bahwa game online seperti Mobile Legends dapat memiliki dampak yang positif seperti kemampuan berstrategi, tidak gampang menyerah, dan kerja sama.

Ilustrasi Mobile Legends

Mobile Legends: Bang Bang. (FOTO/Dok. Mobile Legends: Bang Bang)

“Nah, positifnya kalau di game ini (Mobile Legends), tentu seperti harapan Dinas Pendidikan Surabaya, dapat meningkatkan kemampuan berstrategi untuk mengalahkan musuh memenangkan gimnya begitu ya. Kemudian juga ada problem solving ketika dia harus bekerja bersama dengan tim atau anggota lain begitu dari game ini," kata Yohana kepada Tirto, Kamis (12/6/2025).

"Kemudian ada karakter-karakter yang juga dikembangkan misalnya kemampuan berjuang, berusaha gitu ya, tidak mudah menyerah. Ini sebenarnya karakter yang positif yang mungkin bisa dipelajari dari bermain game ini,” tambahnya.

Hanya saja, Yohana kemudian mengatakan bahwa dalam penerapannya, gim Mobile Legends mungkin dapat berakibat buruk, apalagi bila tidak diawasi. Dampak negatif ini, imbuh Yohana, ada pada kecanduan yang mengakibatkan anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain Mobile Legends.

Kecanduan tersebut ada kaitannya dengan hormon manusia itu sendiri. Maksudnya, rasa senang atau puas yang diperoleh ketika memainkan Mobile Legends dapat menimbulkan efek ketagihan sebagaimana ketika mengecap makanan manis atau menghirup rokok dan narkoba.

“Ada hormon-hormon yang kemudian muncul pada saat seseorang itu merasakan kemenangan. Ada yang muncul dari apapun yang membuat senang. Sehingga, ini kalau terus-menerus bisa menimbulkan efek kecanduan. Jadi, ini sama seperti rokok atau narkoba. Sama juga seperti bahan makanan tertentu ya, misalnya bahan makanan manis itu kan juga bisa mengakibatkan kecanduan,” terang Yohana.

Ilustrasi Anak Bermain Game

Ilustrasi anak bermain game online. FOTO/iStockphoto

Dalam konteks daerah lain, masalah kecanduan Mobile Legends ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Priyati Ningsih, M. Syafruddin Kuryanto, Gunawan Setiadi, di Desa Pesagi, Pati, Jawa Tengah, dengan judul, "Analisis Dampak Penggunaan Game Online Mobile Legends pada Anak Usia Sekolah Dasar."

Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan bagaimana kecanduan gim Mobile Legends mengakibatkan anak-anak SD di Desa Pesagi melewatkan waktu makan, waktu istirahat, dan waktu beribadah. Anak-anak SD di desa tersebut, imbuh mereka, rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain Mobile Legends demi menuruti kesenangan dan rasa puas.

Dalam konteks tersebut, Yohana mengatakan bahwa rasa puas seperti itu dapat menyebabkan stres. Ini mengingat, sama seperti pecandu judi, orang yang kecanduan gim Mobile Lgend cenderung tidak bisa menerima kekalahan.

“Nah, cenderungnya pada anak-anak atau remaja yang belum stabil, ketika mereka merasa kalah itu mereka ada perasaan tidak tidak bisa menerima kekalahan. Itu yang menyebabkan mereka stres. Nah, sementara kalau orang sudah dewasa mungkin akan lebih menganggap kekalahan dalam main gim ini sebagai sesuatu yang biasa. Nah, anak-anak yang belum belum bisa menerima kekalahan ini, akan cenderung cari lagi kesempatan untuk bisa memenangkan sehingga akhirnya waktu yang digunakan untuk mengakses akan semakin lama,” katanya.

Tidak Cocok untuk Anak SD/SMP

Yohana kemudian menegaskan bahwa gim Mobile Legends tidak disarankan bila dimainkan untuk anak yang secara usia masih belum matang. Ini mengingat pada jenjang usia tersebut, anak masih belum mengontrol emosinya secara stabil. Alhasil, ketika mengalami kekalahan dalam permainan Mobile Legends, ia akan cenderung gampang marah dan kesal.

Bukan hanya itu, dampak negatif pada gim Mobile Legends juga merambah pada aspek interaksi sosial. Dampak ini dapat dilihat ketika anak lebih banyak fokus pada interaksi di dunia maya, sehingga terbatas interaksinya pada dunia nyata. Padahal, menurut Yohana, interaksi sosial di dunia nyata sangat dibutuhkan bagi taraf perkembangan mental pada anak dan remaja.

“Jadi interaksi di dunia nyatanya akan sangat terbatas karena dia tidak keluar rumah, tidak berbicara secara langsung, tidak berinteraksi secara langsung sehingga bisa jadi keterampilan sosialnya menurun. Dia malah menjadi anak yang terbatas secara sosial, baik terbatas cara komunikasi, terbatas cara apa namanya berinteraksi dengan orang-orang secara nyata gitu ya. Padahal interaksi sosial adalah hal yang justru dibutuhkan oleh anak-anak dan remaja,” ungkapnya.

Akan tetapi, parahnya, dampak negatif dari Mobile Legends juga merambah pada aspek pembelajaran. Menurut Yohana, akses terhadap gim Mobile Legends yang terlalu lama dan berlebihan dapat menganggu fokus dan konsentrasi anak ketika belajar.

Dalam kondisi ketika otak pada anak dan remaja masih dalam taraf berkembang, stimulasi yang diberikan tidak boleh terlalu banyak ataupun terlalu sedikit, katanya. Namun, pada gim Mobile Legends, stimulasi yang diberikan justru terlalu banyak dan dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana pada segi suara, gambar, cahaya, dan gerakan.

“Kondisi kognitif juga akan justru terhambat ketika mereka mendengarkan suara saja dalam waktu yang lama, atau membaca teks saja dalam waktu yang lama. Karena sudah terbiasa terstimulasi dengan cepat dan stimulasi yang banyak ya, maka ketika stimulasinya hanya belajar itu kan biasanya kita hanya baca buku saja atau hanya mendengarkan saja, nah itu menjadi cenderung terganggu, tidak bisa berfokus dalam waktu yang lama begitu ya. Kemudian untuk membaca, menulis, mengerjakan soal itu juga mereka jadi sangat singkat kemampuan bertahannya,” imbuhnya.

Ilustrasi Bermain Game di Ponsel

Ilustrasi bermain game di ponsel. FOTO/iStockphoto

Dengan dampak demikian, ia kemudian menganggap bahwa ekstrakurikuler Mobile Legends tersebut tidak cocok diterapkan untuk anak pada jenjang SD atau SMP. Akan lebih cocok, imbuhnya, bila ekstrakuler itu diterapkan pada mereka yang sudah kuliah yang notabene secara emosi lebih stabil.

“Sehingga mungkin bisa disarankan untuk usia-usia yang lebih dewasa atau matang. SMA ke atas atau kalaupun SMA mungkin waktunya yang digunakan tidak banyak. Karena game ini sebenarnya kan tujuannya untuk yang lebih dewasa. Nah, pada prinsipnya kita harus bijaksana untuk melihat dan mengevaluasi dampaknya,” jelasnya.

Alternatif Ekstrakurikuler Lain

Menurut Yohana, anak yang masih berada pada jenjang SD atau SMP lebih cocok diberi ekstrakurikuler yang memiliki banyak dampak positif atau menghasilkan prestasi. Ia mencontohkan, pada ekstrakurikuler olahraga, yang tentu memiliki dampak kesehatan pada tubuh, atau juga seni yang dapat mengurangi stres dan menyeimbangkan dimensi emosional.

“Ekstrakurikuler yang arahnya ke akademik ini juga menunjang anak-anak yang memang punya bakat secara akademik begitu ya. Olimpiade ikut lomba-lomba mata pelajaran yang nanti akan berpengaruh pada pengaruh positif pada prestasi akademik mereka. Kemudian yang sedang nge-trend sekarang misalnya public speaking. Kemudian pembuatan konten jadi content creator, kegiatan-kegiatan yang bisa menjadi pekerjaan di masa depan begitu ya dan menghasilkan uang di masa depan tapi tetap positif,” imbuhnya.

Atau mungkin jika tetap pada ekstrakurikuler yang mengarah ke gim, akan lebih baik bila ada ekstrakurikuler untuk membuat gim. Sebab, menurut Yohana, tidak selalu harus menjadi pemain gim, melainkan menjadi pembuat gim itu sendiri.

“Itu hal yang lebih positif begitu ya dari penggunaan teknologi. Jadi tidak selalu harus menjadi gamer begitu ya, tapi membuat aplikasi gim. Mungkin gim yang sederhana untuk anak-anak, gim edukatif. Bisa mengarah ke sana,” sarannya.

Tetapi, bagaimanapun juga, aspek pengawasan pada anak tidak boleh diabaikan. Baik dari pihak sekolah, guru, maupun orang tua.

“Pada prinsipnya kita harus mengembalikan ini kepada pengawasan ya. Jadi kontrol pengawasannya harus benar-benar sudah tersistem dengan baik. Apa saja peran orang tua, apa saja peran sekolah, apa saja peran guru harus jelas. Aturan-aturan penggunaannya harus jelas. Karena bagaimanapun, manusialah yang mengendalikan teknologi dan bukan teknologi yang mengendalikan manusia,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait MOBILE LEGENDS atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Darojat Restu

tirto.id - News Plus
Reporter: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Farida Susanty