tirto.id - Gara-gara peristiwa G30S Kolonel Jasir Hadibroto dan pasukannya tak jadi melakukan operasi ke Malaysia. Pada 2 Oktober 1965 ia yang saat itu berada di Kisaran, Sumatra Utara, memperoleh kabar terjadinya gegeran di Jakarta. Kolonel Jasir lantas dipanggil ke Jakarta untuk suatu tugas baru.
Kolonel Jasir tiba di Jakarta pada sore 13 Oktober. Tak buang waktu, sebelum ganti hari ia melapor ke Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Medan Merdeka Timur. Ia langsung bertemu dengan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.
“Kolonel Jasir di mana dulu ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun tahun 1948?” tanya Soeharto.
“Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat. Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga batalyon Komunis di daerah Wonosobo, Pak!” jawab Jasir.
“Nah yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua. D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana.”
“Siap kerjakan,” jawab Jasir, seperti dikisahkannya kepada Kompas (5/10/1980).
Demikianlah akhirnya komandan Brigade Infanteri IV/Diponegoro itu mendapat mandat “membereskan” orang nomor satu PKI yang buron ke Jawa Tengah.
Pelarian Aidit
Tak sampai 24 jam sejak penculikan jenderal-jenderal TNI AD dan Letkol Untung Syamsuri mengumumkan pengambilalihan kekuasaan melalui RRI, gerakan itu sudah layu di tangan Mayjen Soeharto. Pemimpin-pemimpinnya kabur entah ke mana.
Kronik ’65 (2017) susunan Kuncoro Hadi dan kawan-kawan menyebut bahwa pada malam 1 Oktober, pukul 19.20, pasukan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) berhasil merebut Gedung Telekomunikasi dan RRI. Begitu juga kawasan Medan Merdeka berhasil dikuasai kembali tanpa perlawanan berarti dari gerombolan G30S (hlm. 267).
Sejak itu, AD yang dipimpin sementara oleh Soeharto sudah menguasai keadaan. Operasi selanjutnya diarahkan ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, tempat para pimpinan utama G30S bermarkas. Tengah malam itu juga Soeharto memberangkatkan lima kompi RPKAD berkekuatan 600 personel menuju ke sana.
Usai kontak senjata yang menewaskan tiga prajurit RPKAD dan dua prajurit AU, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma berhasil direbut. Namun, RPKAD gagal meringkus Aidit dan pimpinan G30S lainnya. Dini hari, 2 Oktober sekitar pukul 01.00, Aidit telah terbang menuju Yogyakarta dengan pesawat Dakota T-443 (hlm. 290).
Tujuan Aidit mulanya bukan untuk kabur, tetapi mengonsolidasi kekuatan. Meski baru tiba di Yogyakarta, Aidit langsung bertolak ke Semarang menemui beberapa pentolan PKI yang ada di sana.
“Di Semarang, DN Aidit mengadakan rapat bersama MH Lukman dan Sakirman bersama jajaran PKI Semarang. Rapat ini menghasilkan pernyataan bahwa G30S adalah masalah internal AD dan PKI tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan ini. Rapat juga menghasilkan keputusan bahwa tugas utama partai adalah melakukan konsolidasi,” tulis Kuncoro Hadi dan kawan-kawan (hlm. 293).
Tujuan mereka jelas: menyelamatkan partai dari serangan AD. Dari Semarang Aidit dan Lukman lalu menuju Boyolali dan Surakarta. Di Surakarta ia berapat dengan pimpinan PKI provinsi dan simpatisan militer. Utomo Ramelan, wali kota Surakarta yang juga kader PKI, menolak keputusan Semarang.
Utomo Ramelan dan beberapa kader lainnya memilih untuk mendukung G30S dan Dewan Revolusi. Suara Aidit kalah oleh kadernya sendiri. Mereka menuntut PKI berani melancarkan perjuangan bersenjata.
“PKI pun terbelah dalam sayap radikal dan sayap moderat yang menjerumuskannya dalam kekacauan,” tulis sejarawan Peter Kasenda dalam Kematian D.N. Aidit dan Kehancuran PKI (2016: 135).
Selama beberapa hari kemudian Aidit berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mencoba mencegah pecahnya pertikaian dengan pihak-pihak antikomunis dan militer. Ia juga mencoba tetap menjalin komunikasi dengan Sukarno melalui Panglima AU Laksamana Madya Omar Dani, berharap Pemimpin Besar Revolusi itu masih percaya kepadanya.
Seperti yang sudah ia duga sendiri, PKI menjadi bulan-bulanan RPKAD. Perburuan pimpinan dan kader PKI terjadi di mana-mana dalam skala yang tak terbayangkan. Aidit tak bisa berbuat banyak dalam pelariannya.
Kuncoro Hadi dan kawan-kawan mencatat Aidit menerbitkan instruksi yang ditujukan kepada pengurus Comite Daerah Besar PKI pada 11 Oktober. Isinya memperbolehkan tiap cabang partai membubarkan diri jika keadaan darurat. Ia juga melarang kader melakukan perlawanan secara frontal.
Saat itu desakan dari ormas antikomunis agar Presiden Sukarno membubarkan PKI mulai mengemuka. Seminggu kemudian, 17 Oktober, Soeharto selaku panglima AD yang baru mengumumkan secara resmi bahwa PKI adalah dalang peristiwa G30S.
“Dia juga mengumumkan bahwa tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila,” tulis Kuncoro Hadi dan kawan-kawan (hlm. 429).
Aidit sendiri sudah tak jelas di mana jejaknya. Namun, dari tempat persembunyiannya ia masih menerbitkan instruksi-instruksi kepada kadernya untuk menyelamatkan partai.
Menurut Peter Kasenda, instruksi terakhir dari Aidit kepada seluruh kader PKI terbit pada 10 November. Dalam instruksi itu Aidit meminta para petinggi PKI untuk mempertahankan partai (hlm. 135). Instruksi ini terasa janggal, mengingat sebelumnya Aidit membolehkan pembubaran pengurus cabang jika darurat. Lainnya adalah instruksi untuk mempertahankan daerah basis di Jawa, dan sekali lagi menghindari perlawanan frontal.
Aidit Dibereskan
Sesampainya di Jawa Tengah, pada 9 November Kolonel Jasir dilantik sebagai Pelaksana Kuasa Perang (Pekuper) Daerah Surakarta. Entah kebetulan atau memang telah diketahui sebelumnya, di kota ini pula Aidit dikabarkan bersembunyi. Hanya saja tak terlalu terang di mana persisnya.
Untuk memuluskan rencananya, Kolonel Jasir melibatkan Sri Harto, seorang intel AD yang disusupkan ke serikat buruh pengecoran logam di Surakarta yang berafiliasi dengan PKI. Sri Harto berhasil mendekati pengawal Aidit dan mendapat kepercayaan mereka. Dari upaya Sri Harto inilah posisi persembunyian Aidit di Desa Sambeng berhasil diketahui.
Dalam pengakuannya kepada Kompas (29/9/1985) Sri Harto memperoleh informasi tempat persembunyiannya dari Siswadi, ketua Baperki Surakarta. Keduanya sama-sama tinggal di Desa Kerten. Siswadi sendiri yang meminta tolong kepada Sri Harto untuk mencarikan tempat persembunyian bagi Aidit pada 10 November.
Sri Harto tak langsung mengiyakan permintaan itu. Ia minta waktu berpikir dan akan mengabari Siswadi jika ia siap. Kesempatan itu dimanfaatkan Sri Harto untuk melapor dan suatu rencana penyergapan pun dirancang.
Seperti dikisahkannya kepada Kompas (5/10/1980) Kolonel Jasir melakukan strategi pengelabuan untuk mengendurkan kewaspadaan para pengawal Aidit. Dalam sebuah apel yang bisa disaksikan masyarakat umum, Kolonel Jasir menyatakan bahwa keadaan Kota Surakarta telah aman. Karenanya, para prajurit diperbolehkan cuti selama seminggu.
Lalu pada 17 November diadakan operasi bodong ke Desa Kerten, tempat tinggal Siswadi. Saat itu Sri Harto muncul dan mengungsikan Siswadi ke Palur.
Akhirnya, tanpa ragu Siswadi membawa Sri Harto ke rumah persembunyian Aidit di Sambeng keesokan harinya. Rupanya Aidit bersembunyi di rumah seseorang bernama Kasim alias Hardjomartono. Rencananya, hari itu juga Aidit akan diungsikan ke rumah Sri Harto.
“Lalu malamnya, atas permintaan Sri Harto, dilakukan operasi pembersihan di sekitar Kampung Sambeng. Keesokan harinya Kasim melaporkan kejadian itu kepada Ketua Partai. Sri Harto pun kian mendapat kepercayaan,” tulis Kompas.
Sesuai rencana, lima hari kemudian operasi penangkapan dilakukan. Lagi-lagi dengan taktik pengelabuan. Sri Harto menyampaikan kepada Aidit dan Siswadi bahwa akan ada operasi di Kerten. Mereka pun mengungsikan Aidit ke Sambeng, di rumah Kasim semula.
Lalu pukul 19.00, pasukan Kolonel Jasir bergerak ke Sambeng. Namun, anehnya Aidit tak ditemukan di rumah Kasim, padahal Sri Harto sendiri yang mengantar Aidit ke sana. Tetapi akhirnya setelah diinterogasi, Kasim mengaku bahwa Aidit bersembunyi di suatu ruang rahasia di balik sebuah lemari di rumahnya.
Operasi kedua lalu dilakukan pada tengah malam. Aidit ternyata memang bersembunyi di ruang rahasia sesuai petunjuk Kasim. Pelarian Aidit pun berakhir.
Pada 22 November 1965, tepat hari ini 53 tahun lalu, di pagi buta, Kolonel Jasir membawa Aidit ke Loji Gandrung untuk diproses verbal. Dari sana Aidit digiring menuju Semarang, ke markas Kodam Diponegoro. Namun, Aidit tak pernah sampai ke Semarang atau bahkan diadili.
Ketika tiba di suatu desa di Boyolali, Kolonel Jasir membelokkan mobil menuju sebuah rumah yang dijadikan markas satuan Kostrad. Di situ Aidit digiring ke sebuah sumur tua. Kolonel Jasir mempersilakan Aidit menyampaikan pesan terakhirnya.
Di pengujung waktunya, Aidit berpidato. Berapi-api pula. Itu bikin Jasir kesal. Tak ingin mendengar ocehan Aidit lebih lama lagi, Jasir meletuskan senjatanya. Aidit tewas terjungkal ke sumur.
Setelah berminggu-minggu operasi, tunai sudah tugasnya “membereskan” Aidit sesuai perintah Soeharto.
Editor: Ivan Aulia Ahsan