tirto.id - Saat terjadi perceraian, anak-anak pasti akan mengalami efek psikologis. Akan tetapi, stres yang dirasakan anak broken home berbeda-beda, tergantung pada usia, dan temperamen.
Efek psikologis perceraian pada anak kerap menjadi kekhawatiran orang tua, bahkan sebelum mengambil keputusan untuk berpisah. Mereka umumnya khawatir keputusannya berdampak pada kondisi kejiwaan anak hingga masa dewasa.
Namun, beberapa anak bisa pulih dari stres akibat perceraian meskipun tergantung pada pribadi masing-masing. Dalam sebuah penelitian, setahun atau dua tahun pertama adalah masa paling berat untuk anak.
Mereka cenderung mengalami kesulitan, kemarahan, kecemasan dan ketidakpercayaan terhadap orang tua, demikian dilansir laman Very Well Familly.
Namun, ada pula anak yang merasa lega, karena tak lagi harus mendengarkan pertengkaran orang tua atau kekerasan lainnya.
Ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengurangi efek psikologis negatif pada anak. Beberapa strategi pengasuhan yang suportif dapat membantu anak menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Penyesuaian diri dan perubahan rutinitas harian anak, akan membantu membuatnya merasa nyaman kembali. Namun, ada juga anak yang tidak bisa kembali ke ‘normal’.
Persentase kecil anak akan mengalami masalah berkelanjutan, yang bisa berlanjut seumur hidup.
Efek psikologis pada anak broken home
Beberapa masalah bisa dialami oleh anak korban perceraian, berikut di antaranya seperti dikutip dari laman Family Means:
- Prestasi akademik menurun
Perceraian pasti berat dirasakan oleh semua anggota keluarga, termasuk pada anak. Perubahan dinamis yang mereka rasakan, akan menimbulkan kebingungan dan teralihkan dari fokus belajar. Akibatnya prestasi akademik di sekolah menurun.
- Kehilangan keinginan untuk berinteraksi sosial
Studi mengungkap bahwa perceraian berdampak pada kehidupan sosial anak. Mereka sering sulit terhubung dengan orang lain, dan akhirnya kehilangan keinginan untuk interaksi sosial. Anak juga bisa merasa tidak nyaman dan merasa sendiri.
- Sulit beradaptasi dengan perubahan
Perubahan yang tiba-tiba seperti rumah baru, orang baru, lingkungan baru, sekolah baru usai perceraian kadang membuat anak kesulitan beradaptasi.
- Sensitif secara emosi
Anak bisa lebih sensitif secara emosi. Berbagai perubahan emosional yang ia alami dalam masa transisi seperti marah, kehilangan, bingung, cemas, dan lainnya kadang sulit dimengerti olehnya. Anak perlu seseorang untuk memahami semua perasaan yang ia rasakan, seorang teman bicara, yang mendengarkan keluhannya. Dengan begitu anak dapat memproses semua emosi itu dengan baik, dan melewatinya.
- Marah
Anak bisa memendam kemarahan pada salah satu orang tua, atau keduanya. Ia bisa juga marah pada dirinya sendiri, teman, atau lainnya. Ini terjadi karena ia tidak tahu bagaimana merespons kondisi keluarga mereka. Dalam kasus umum, kemarahan ini akan mereda sendiri dalam waktu beberapa pekan. Pada kasus langka, kemarahan bisa bertahan hingga dewasa.
- Merasa bersalah
Beberapa anak merasa bersalah dan mengira perceraian orang tuanya disebabkan oleh dirinya.
- Awal dari perilaku merusak
Pada sebagian kecil anak, konflik yang ia rasakan dan tidak terselesaikan adalah awal dari perilaku merusak yang kelak bisa terjadi. Peneliti mengungkap anak dengan keluarga broken home dapat berpartisipasi dalam kejahatan 20 tahun kemudian. Atau menjadi pemberontak melalui perilaku merusak juga pecandu.
- Masalah kesehatan
Stres yang dialami saat anak masih usia dini berpengaruh pada masalah kesehatannya. Insomnia dan depresi juga jadi salah satu masalah yang mungkin dialami.
- Kehilangan keinginan untuk menikah
Anak korban perceraian dapat juga kehilangan kepercayaan pada lembaga pernikahan, dan tak ada keinginan untuk menjalin hubungan serius. Atau jika menikah maka presentase bercerai lebih besar.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Alexander Haryanto