tirto.id - Presiden Joko Widodo sedang risau. Hampir dua pekan, setelah mahasiswa di pelbagai kota turun ke jalan, ia belum mampu menyelesaikan krisis politik. Krisis yang tercipta lantaran kesembronoan pemerintah dan partai politik dalam membuat regulasi itu hanya membuang-buang energi.
Beberapa tuntutan mahasiswa memang sudah dipenuhi. Pemerintah sudah menunda pembahasan beberapa RUU kontroversial, termasuk RUU KHUP yang baru. Namun ada satu yang masih menggantung dan sangat krusial, yakni nasib UU KPK yang baru. UU ini, berikut paket capim KPK yang bermasalah, sudah terlanjur disahkan DPR.
Presiden memang mewacanakan dikeluarkannya Perppu KPK, tapi upayanya mengumpulkan para pimpinan politik di Istana Bogor pada Senin (1/10/2019) justru membuat keadaan lebih runyam. Alih-alih bisa menjinakkan parpol, Presiden malah mendapat tekanan keras. PDIP, parpolnya Joko Widodo, tegas menolak Perppu KPK. Ketum Partai Nasdem Surya Paloh bahkan membuka opsi pemakzulan jika Presiden jadi menerbitkan Perppu KPK.
Narasi kubu pro-revisi UU KPK ini coba dilawan oleh sekelompok tokoh publik baik dari kalangan pendukung Jokowi maupun nonpartisan. Goenawan Mohamad—pendukung setia Jokowi—dan beberapa tokoh lain mendorong Presiden segera mengeluarkan Perppu KPK. Penentangan itu disusul mahasiswa yang, melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, memberi tenggat hingga 14 Oktober 2019.
Jangan Takut Keluarkan Perppu
Pengamat hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai Perppu merupakan pilihan sah konstitusional. Dasar hukum Perppu ada di Pasal 22 UUD 1945 dan sebenarnya sudah sering digunakan semua presiden di era pasca-Soeharto. B.J. Habibie mengeluarkan 3 Perppu, Gus Dur 3, Megawati 4, Yudhoyono 20, dan Jokowi 2. Dua Perppu yang dikeluarkan Jokowi adalah tentang hukum kebiri kimia dan ormas (pembubaran HTI).
Hasil Revisi UU KPK, menurut pakar hukum UGM Zainal Arifin, juga cacat secara operasional. Salah satunya soal usia yang dibatasi paling muda 50 tahun, sementara salah satu calon terpilih berusia kurang dari 50 tahun. Seperti Bivitri, Zainal juga berpendapat Perppu sah dikeluarkan presiden sebagai penerima mandat pemilih.
Sebetulnya, tak mengherankan jika KPK menjadi musuh bersama banyak pihak. Ia adalah satu-satunya lembaga penegak hukum yang relatif tak bisa dikendalikan siapapun, baik pemegang kuasa atau pemegang uang. Hasil penindakan KPK sudah membuktikan itu: pejabat pemerintah, petinggi parpol, konglomerat hitam, atau pucuk pimpinan penegak hukum banyak yang dicokok.
Tapi di antara mereka, parpol memang yang paling menderita karena KPK. Data-data menunjukkan parpol sebenarnya menjadi jantung persoalan korupsi di Indonesia. Dalam catatan KPK, per November 2018, sebanyak 61,7% perkara korupsi yang ditangani KPK berkaitan dengan parpol.
Aktivitas parpol butuh biaya besar. Iuran anggota parpol dan donasi umum tak pernah berhasil menjadi sokoguru finansial partai politik. Akibatnya, beban pendanaan harus "dititipkan" kepada anggota-anggotanya yang kebetulan duduk di pemerintahan atau parlemen. Ujung jalannya tentu saja korupsi.
Bahkan bagi parpol, korupsi tak harus dilakukan karena kadernya duduk di eksekutif atau legislatif. Eks Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq, eks Ketum PPP M. Romahurmuziy, eks Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan eks Sekjen Golkar Idrus Marham terjerat bukan lantaran mereka duduk di parlemen, tapi "menjual" pengaruh mereka sebagai pimpinan parpol di kementerian atau proses tender tertentu.
Mengapa bisa terjadi modus korupsi demikian?
Faktor utama: karena sistem hukum pemerintahan kita teramat longgar untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Tidak ada, misalnya, aturan baku menteri harus melepas baju parpol. Tidak ada pula instrumen yang bisa membatasi pengaruh parpol di birokrasi bahkan di institusi vital seperti kepolisian dan kejaksaan. Berharap pada kinerja inspektorat masing-masing instansi seperti berharap menunggu Godot kembali.
Kondisi ini menjadikan KPK sebagai satu-satunya batu sandungan bagi para koruptor. Dengan "kacamata kuda" yang dipakainya, KPK tak bisa dipegang siapapun. Ia ibarat ladang ranjau bagi parpol. Sekali "terinjak", daya rusaknya bisa membuat parpol limbung. Lihatlah yang terjadi pada PKS, Partai Demokrat, dan PPP pada pemilu legislatif tak lama setelah pimpinan partai mereka ditangkap KPK.
Dengarkan Suara Mereka, Pak Jokowi!
Mestinya bukan hal yang sulit untuk mengambil pelajaran. Apa yang terjadi dalam proses revisi UU KPK adalah hal yang sengaja dipaksakan. Revisi UU KPK disahkan tanpa melalui Prolegnas, dikebut dalam waktu kurang dari 2 pekan, dan tidak memberi kesempatan publik untuk memberi masukan.
Revisi UU KPK tak lebih dari upaya parpol memenuhi hawa nafsu agar mereka tak lagi diganggu KPK. Lembaga antirasuah ini memang bukan kumpulan malaikat. Namun di saat lembaga penegak hukum lain terkooptasi dalam pengaruh parpol, KPK adalah oase. Dalam keadaan negara dilanda korupsi akut, KPK bak sosok Gundala dalam kehidupan nyata.
Publik kini menunggu. Dan Jokowi perlu mengingat: pilar yang mendudukkannya di kursi kepresidenan tak hanya parpol, tapi juga orang-orang biasa, para aktivis nonpartai, dan kelas menengah yang kritis. Mereka menaruh kepercayaan pada bekas Wali Kota Surakarta itu karena ia dianggap bisa menjadi jembatan masa depan Indonesia yang lebih maju, modern, demokratis, dan akuntabel.
Sejatinya, aksi demonstrasi damai mahasiswa yang terjadi dua pekan lalu adalah sebuah tamparan keras. Seorang presiden yang berusaha mencitrakan diri memahami selera kaum milenial dan gen Z justru menghadapi demonstrasi anak-anak muda yang risau. Tentu saja mereka patut merasa resah sebab reformasi yang 21 tahun lalu diperjuangkan dengan banyak pengorbanan dikorupsi oleh oligarki parpol.
Kualitas seorang pemimpin dinilai dari keberaniannya memutuskan sesuatu di tengah situasi genting. Karena itu, Jokowi harus segera melakukan langkah tegas untuk menyelesaikan carut-marut ini. Hal-hal paling minimal yang bisa ia lakukan di antaranya menerbitkan Perppu KPK demi menghidupkan lagi asa pemberantasan korupsi di Indonesia, membersihkan lembaga-lembaga pemerintahan dan penegak hukum dari kooptasi parpol, serta membuat regulasi yang memungkinkan pendanaan parpol secara transparan.
Ada baiknya kita memikirkan kembali kegundahan sineas muda Angga Dwimas Sasongko yang disampaikan lewat akun Twitter-nya. Suara Angga mewakili banyak isi kepala orang-orang muda di luar sana yang berpikir merdeka.
"Pak @Jokowi, dg pelemahan KPK, membiarkan pembakar hutan tak diketahui publik, RUU yang ngawur, pelanggaran HAM, pemerintahan anda sedang mencuri masa depan Jan Ethes, anak saya dan puluhan juta anak Indonesia lain yang berhak diwarisi Indonesia yg lebih baik.”
Bapak Presiden, saat ini adalah waktu yang tepat untuk menjawabnya. Beri mereka harapan bahwa Indonesia akan menjadi tempat yang baik untuk menjalani kehidupan kelak.