tirto.id - Era senjata nuklir dimulai pada 16 Juli 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat berhasil meledakkan bom plutonium pertama di dunia dalam uji coba rahasia berkode “Trinity”. Mereka meledakkan bom tersebut di Jornada del Muerto, sekitar 112 kilometer dari Alamogordo, New Mexico, AS, pada pukul 6:29 pagi waktu setempat.
Menurut Alex Wellerstein, pengamat nuklir asal AS, uji coba tersebut terhitung sukses meskipun sempat terkendala cuaca. Berbentuk seperti bola raksasa yang dipenuhi kabel, kawat, sekrup, serta bahan peledak yang dipicu reaksi nuklir, bom itu meledak seketika setelah dialiri listrik. Meski begitu, masih menurut Wellerstein, dampak dari ledakan bom tersebut ternyata berada di luar hitung-hitungan ilmuwan AS yang terlibat dalam proses uji coba.
Jauh hari sebelum uji coba dilaksanakan, ilmuwan AS memprediksi bahwa daya ledak bom itu akan setara dengan 700-5000 TNT. Mereka kemudian memutuskan untuk meledakkan bom itu di lembah Jornada del Muerto sebab tempat itu lebih memungkinkan ketimbang tempat-tempat lainnya. Pertimbangannya: selain lebih dekat dengan pangkalan militer AS, Jornada del Muerto juga paling berjarak dari peradaban manusia. Itu artinya, saat bom itu meledak, masyarakat AS tak akan merasakan dampaknya.
Namun prediksi para ilmuwan tersebut ternyata jauh panggang dari api: 'The Gadget', begitu bom itu kelak dikenal, mempunyai daya ledak empat kali lebih besar dari perkiraan, setara dengan 20 ribu TNT. Walhasil, beberapa saat setelah bom meledak, hampir seluruh daratan AS mengalami guncangan hebat dan asap yang tampak seperti jamur raksasa tiba-tiba membumbung tinggi di udara. Lain itu, Wellerstein menulis di New Yorker:
“Cahaya pasca-ledakan, yang sangat berbahaya untuk mata, terlihat jelas di Texas, Amarillo, hingga daerah-daerah yang berjarak hampir 500 kilometer dari tempat kejadian [...] Di Silver City, New Mexico, sekitar 300 kilometer dari pusat ledakan, jendela rumah bahkan banyak yang rusak karena ledakan.”
Singkat cerita, ledakan itu pada akhirnya sempat menggegerkan AS. Bahkan, tak sedikit orang yang menduga bahwa ledakan itu adalah salah satu tanda dari akhir dunia. Namun saat J. Robert Oppenheimer, ilmuwan yang paling bertanggung jawab terhadap pengembangan The Gadget menyatakan bahwa ia ikut andil dalam merusak dunia, AS ternyata tak mau memikirkan dampaknya: mereka terus mengembangkan senjata nuklir dan dunia tak lagi sama.
Demi Menang Perang
Menurut laporan CTBTO, organisasi penentang pengembangan senjata nuklir, pengembangan senjata nuklir di AS sebetulnya bermula dari rasa takut terhadap Jerman. Saat mereka mendengar kabar bahwa Jerman kemungkinan menggunakan senjata nuklir selama Perang Dunia II, mereka langsung melakukan hal serupa. Pada 1939 mereka pun membentuk tim kecil untuk mengeksekusinya.
AS mendapatkan kabar demikian dari Albert Einstein, salah satu ilmuwan paling terkenal di dunia. Kala itu, melalui sebuah surat, Einstein mengabarkan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt bahwa apa yang dilakukan Jerman bisa mengancam seisi dunia. Sebagai salah salah satu negara besar, menurut Einstein, AS harus mampu menjadi pesaing sekaligus menghentikan upaya Jerman.
Dari sana, proyek kecil AS itu kemudian melibatkan beberapa ilmuwan ternama, seperti Robert Oppenheimer, Enrico Fermi, hingga Niels Bohr. Pada 1942, setelah mendengar kabar bahwa proyek pengembangan senjata nuklir Jerman gagal total, AS memutuskan untuk lebih serius dalam menggarapnya. Walhasil, proyek tersebut langsung berada di bawah naungan militer AS dan dikomandani Jenderal Leslie R. Groves, salah satu orang penting di militer Amerika. Sementara itu Robert Oppenheimer didaulat sebagai kepala riset.
Sejak itu proyek kecil tersebut berubah menjadi 'Proyek Manhattan', sebuah proyek besar yang sangat dijaga kerahasiaannya. Menghabiskan dana sekitar 2 miliar dolar AS dan mempekerjakan lebih dari 130 karyawan, proyek itu mempunyai tiga tempat utama: Hanford Site (Washington), Oak Ridge (Tennessee), dan New Mexico. Rinciannya: Hanford Site digunakan untuk menghasilkan plutonium, Oak Ride digunakan untuk meneliti uranium, dan New Mexico dijadikan sebagai pusat laboratorium.
Setelah sekitar enam tahun bekerja secara diam-diam, tepatnya pada awal 1945, proyek tersebut akhirnya berhasil mengembangkan dua jenis senjata nuklir. Yang pertama adalah bom yang dibuat menggunakan enriched-uranium, sedangkan yang kedua dibuat menggunakan plutonium. Dan setelah melakukan hitung-hitungan, AS lantas memilih untuk menguji senjata yang kedua. Hasilnya, sebagaimana ditulis di awal, uji coba itu sukses besar.
Menariknya, AS ternyata tak membutuhkan waktu lama untuk menggunakan bom tersebut di medan perang. Pada Agustus 1945 mereka mengirim pesawat berjenis B-29 ke Jepang, salah satu musuh AS selama perang. Pesawat itu membawa bom plutonium (Fat Man dan Little Boy) yang siap diledakkan di Nagasaki dan Hiroshima. Selain bertujuan untuk membuat Jepang menyerah tanpa syarat, lewat bom plutonium tersebut, AS juga ingin menunjukkan kepada seisi dunia bahwa mereka memiliki senjata dengan daya hancur luar biasa.
Hasilnya, sejarah kemudian mencatat: Nagasaki dan Hiroshima menjadi puing-puing. Dan puncaknya, Jepang benar-benar menyerah tanpa syarat.
Diikuti Negara Lain
Sejak keberhasilan uji coba Trinity serta peristiwa di Nagasaki dan Hiroshima, Atlantic melaporkan bahwa AS terus melakukan pengembangan senjata nuklir. Setidaknya, hingga 2011, mereka sudah melakukan sekitar 2.000 kali pengujian. Sebagian besar di antaranya terjadi pada 1960-an hingga 1970-an dan beberapa di antaranya dilakukan di Nevada, Bikini Atoll, hingga di Pulau Runit. Dampaknya, tindakan AS tersebut ditiru negara-negara lain.
Alex Ward, dalam salah satu tulisannya di Vox, menjelaskan puncak pengujian senjata nuklir terjadi pada pertengahan 1980-an. Saat itu Cina, Inggris, Perancis, hingga Uni Soviet tak mau ketinggalan dari AS. Pada 1986 nama terakhir, yang menjadi musuh AS selama Perang Dingin, bahkan tercatat memiliki hampir 40 ribu senjata nuklir, jauh lebih banyak ketimbang negara-negara lainnya. Sementara itu estimasi kepemilikan senjata nuklir di seluruh dunia berada di kisaran 70 puluh ribuan.
Ward kemudian menambahkan bahwa negara-negara tersebut mengembangkan senjata nuklir setidaknya karena dua alasan. Yang pertama, seperti sudah diketahui umum, senjata itu digunakan alat pertahanan negara. Dan yang kedua, penyebabnya adalah gengsi belaka: mereka ingin dipandang lebih maju ketimbang negara lainnya.
Dari sana fenomena itu lantas membuat dunia tampak mencekam. Jika negara-negara itu geger, menurut Ward, bukan tak tak mungkin dunia akan berantakan. Maka dari sana pulalah banyak organisasi-organisasi seperti CTBTO kemudian bermunculan. Mereka kompak meneriakkan satu suara: menentang pengembangan senjata nuklir di seluruh penjuru dunia.
Singkat cerita, tekanan ini—diikuti kesadaran sejumlah negara yang terlibat dalam pengembangan senjata nuklir—membuat pengembangan senjata nuklir mengalami penurunan drastis mulai awal 1990-an. Tak sedikit negara-negara yang sempat bermusuhan memutuskan saling berjabat tangan. Kulminasinya, Matthew Kroenig, salah satu ahli nuklir asal AS, pernah mengatakan kepada Ward. “Membicarakan perang nuklir,” katanya, “seperti membicarakan dinosaurus—hal itu terjadi pada masa lalu dan bukan bagian dari masa depan.”
Namun sayangnya, siapapun tentu saja tak bisa meramalkan masa depan. Belakangan ini AS terlibat konflik panas dengan Cina dan Iran. Sebagian orang yang berada di parlemen khawatir Donald Trump akan meluncurkan rudal nuklir tanpa alasan. Terlebih, kata Joe Cirincione, salah satu pemimpin organisasi pengembangan senjata nuklir, “Presiden Amerika mempunyai kewenangan untuk meluncurkan senjata nuklir semudah melakukan cuitan di Twitter.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan