tirto.id - Remaja pecinta olahraga basket di Indonesia mustahil yang tak mengenal DBL (Development Basketball League), liga basket tingkat pelajar SMP dan SMA terbesar di seantero negeri.
Meski liga basket ini awalnya dimulai dengan sederhana oleh departemen anak muda milik koran Jawa Pos di Surabaya pada 2004, DBL kelak dikelola secara lebih profesional di bawah manajemen PT DBL Indonesia.
Menurut statistik dari situs resminya, kini DBL dapat ditemui di 30 kota, 22 provinsi di seluruh Nusantara.
Setiap tahun, setidaknya 1,5 juta anak muda terlibat dalam kegiatan DBL. Jumlah tim yang berpartisipasi menembus 1.200 tim, dengan lebih dari 40 ribu peserta, dan melibatkan lebih dari 750 sekolah.
Tahun ini, Honda DBL dan Kopi Good Day 2024 akan menggelar partai final edisi Jakarta di Indonesia Arena, Senayan, Jakarta Pusat pada Jumat, 6 Desember 2024 mendatang.
Babak semifinalnya baru saja berlangsung pada pertengahan November silam.
Gemerlap lapangan basket di ajang DBL menyimpan cerita perjuangan tak hanya dari atlet-atlet muda basket yang berlaga, melainkan juga dari orang tua mereka.
Dukungan tanpa batas menjadi fondasi dari setiap langkah anak-anak ini menuju kesuksesan.
Hanny dan Timothy: Kekuatan Doa di Tepi Lapangan
Bagi Hanny Briklin Wanda Ndelo, peran sebagai companion parent bagi putranya, Timothy, adalah lebih dari sekadar menemani.
Selalu berada di dekat bench, Hanny menjadi sumber ketenangan dan keyakinan bagi Timothy.
“Ada Mama di belakang, itu bikin dia tenang dan percaya diri. Apalagi saat mainnya lagi kurang, saya selalu ada di sana,” ujar Hanny.
Perjalanan Timothy diwarnai dengan berbagai rintangan. Dua tahun lalu, ia mengalami cedera serius yang membutuhkan operasi dan terapi panjang.
“Dokternya bilang, ‘Operasi itu gampang, tapi perjuangan sebenarnya dimulai setelah itu,’” kenang Hanny.
Sayangnya, belum usai perjuangan itu, Timothy harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan ayahnya secara mendadak.
Berkat dukungan sang ibu, Timothy berhasil melewati masa-masa sulit itu dan kembali ke lapangan DBL. Waktu persiapan yang terbatas tidak menjadi penghalang. Dalam setiap latihan dan pertandingan, Timothy tampil dengan semangat dan percaya diri.
Dani dan Kayla: Dari Tim C Menuju Panggung Besar DBL
Perjuangan yang sama juga terlihat dari Makayla Pradanitya Jati, atau Kayla, atlet pelajar dari SMA Jubilee.
Perjalanan basketnya dimulai dari ekstrakurikuler di kelas 4 SD.
Awalnya, Kayla lolos seleksi untuk tim basket C, alih-alih tim A yang lebih dijagokan dan diprioritaskan untuk dikirim ke berbagai kompetisi.
Dari situlah, tekadnya untuk menekuni basket semakin kuat.
“Aku harus ikut basket, kasih masukin aku ke sekolah atau klub,” pinta Kayla kepada ibunya, Kusumawardani Ariesty atau Dani.
Merespons semangat Kayla, Dani berkata, “Kalau kamu benar-benar serius, kamu minat, Mami carikan klub yang bagus.”
Sejak saat itu, Kayla terus mantap melangkah, hingga akhirnya dirinya berhasil menjadi kapten tim basket perempuan yang akan berlaga di final DBL Jakarta.
Sebagai orang tua, Dani dan suaminya, yang juga mantan atlet basket pada saat kuliah, memberikan dukungan tanpa henti.
“Pas anaknya suka, kita berdua support banget. Mungkin keinginan ibu dan bapaknya enggak kesampaian, jadi nurun ke anaknya,” tuturnya.
Mereka mengantar dan menjemput Kayla ke setiap latihan, bahkan ketika latihannya diadakan malam hari.
Selain itu, mereka menyemangati Kayla saat semangatnya meredup atau ketika menghadapi kekalahan.
“Kenapa kamu kalah? Karena mereka jauh lebih baik, timnya lebih siap. Makanya kamu harus banyak latihan,” kata Dani mengingatkan putrinya untuk terus berjuang.
Kini, melihat Kayla akan bertanding lagi di stadion bergengsi Indonesia Arena, kebanggaan Dani tak terlukiskan. Tahun lalu, Kayla sudah pernah berlaga di event yang sama.
Susi, Krisan, dan Murti: Warisan Semangat Basket yang Tak Pudar
Sementara itu, Sebastiana Susiani atau Susi, ibu dari dua mantan pemain DBL di Yogyakarta membuktikan bahwa semangat basket bisa menjadi warisan, jika bukan suatu identitas, di keluarga mereka.
Susi selalu bersemangat setiap kedua anak perempuannya, Krisan dan Murti, berlatih dan berkompetisi.
Krisan dulu mewakili SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Adiknya, Murti, mewakili SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta dan kelak mewakili SMA yang sama dengan kakaknya.
“Anakku memang kinestetiknya baik, olah badannya bagus,” ujar Susi tentang masa kecil anak-anaknya, “Memang berbakat di bidang olahraga.”
Susi tidak hanya mengantar jemput atau menunggu di tepi lapangan, tetapi juga meluangkan waktu khusus untuk menemani mereka berlatih di lapangan SMA Kolese De Britto, sekolah tempat Susi mengajar yang memiliki fasilitas lapangan basket yang baik.
“Kalau hari Minggu atau Sabtu kan, saya ada waktu luang. Saya ke sana, saya mengantar. Di sana, anak-anak latihan shot, dribble. Jadi, ada banyak waktu di luar mereka latihan di sekolah yang saya temani,” cerita Susi.
Kini, meski Krisan dan Murti telah dewasa, semangat olahraga tetap hidup. Saat ini, rutinitas mereka lebih banyak diisi dengan aktivitas berenang.
Terlepas dari itu, Krisan masih menyempatkan berkomunitas di kelompok basket di Yogyakarta, sementara Murti, yang saat ini bekerja di Jerman, juga pernah bergabung dengan komunitas olahraga basket di sana.
Gepeng, Kayla, dan Kamila: Inspirasi dari Sang Legenda
Sebagai seorang legenda basket nasional, Romy Chandra atau Gepeng menghadapi tantangan lain: mengajarkan nilai-nilai basket kepada kedua anak perempuan kembarnya: Kayla dan Kamila.
“Jujur, kayaknya banyak orang tua yang pastinya sangat sulit untuk ‘mengerjakan’ anak sendiri. Saya lebih senang mengajar anak orang lain dibanding anak sendiri,” canda Gepeng.
Namun Gepeng selalu mencari momen yang tepat untuk mendampingi mereka, tanpa ada unsur paksaan.
Motivasi Kayla dan Kamila terinspirasi dari nama besar sang ayah, meski terkadang tekanan lain pasti muncul.
“Pasti ada orang yang datang ke lapangan terus tahu kalau kita anaknya Ayah. Takutnya nanti ada orang berekspektasi tinggi,” ujar Kamila.
Di satu sisi, kembarannya, Kayla, merasa sebaliknya.
“Aduh, punya ayah kayak gini jadi enak gitu. Jadi, mau latihan kapan pun bisa. Mau dikasih solusi pun juga enak karena dia ngerti semua hal,” ujar Kayla.
Gepeng pun berhati-hati saat menonton pertandingan mereka.
“Saya tanya dulu sebelum tanding. ‘Besok final, ayah mau nonton boleh ga?’ Dia bilang, ‘Boleh,’” ungkapnya.
Kata-kata sang ayah selalu terngiang di benak Kayla dan Kamila.
“Ayah selalu bilang, main cuek aja sih. Karena aku kalo main, jujur aja, suka overthinking banget,” ungkap Kayla.
“Buat aku yang bener-bener berguna banget itu pede aja. Karena kalo pede tuh semua skill-nya bakal keluar,” imbuh Kamila.
Berkaca dari kisah Hanny, Dani, Susi, dan Gepeng, terlihat jelas bahwa dukungan orang tua menjadi fondasi utama dalam perjuangan atlet muda di lapangan basket.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Zhendong Gao dkk di jurnal Frontiers of Psychology(2024).
Di sisi lain, penelitian juga mencatat bahwa tekanan berlebihan dari orang tua dapat memicu stres dan bahkan membuat anak kehilangan minat berolahraga.
Sejalan dengan itu, VV LaMange, editor olahraga di The East Vision, menyoroti pentingnya dukungan tanpa dominasi.
Sementara Rayhan Mahamed dalam artikelnya di The Mending Playbookmenawarkan solusi seperti komunikasi yang transparan, fokus pada usaha daripada hasil, dan dukungan emosional yang seimbang.
Pada akhirnya, perjuangan orang tua di balik layar, seperti yang dijalani dengan penuh cinta dan dedikasi oleh Hanny, Dani, Susi, dan Gepeng, menunjukkan bahwa dukungan yang bijak menjadi kunci keberhasilan atlet muda dalam menghadapi tantangan olahraga.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih