tirto.id - Munculnya dukungan dari sejumlah alumni kampus dalam Pilpres 2019 dinilai sebagai bentuk kegagalan mesin partai politik dalam menghimpun dukungan masyarakat. Menurut dosen komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo, ketika partai tidak maksimal mendongkrak suara lewat pondok pesantren, maka digunakanlah alumni kampus yang dianggap merepresentasikan kaum terpelajar.
"Saya menyebut ini tragedi partai politik. Parpol enggak ada kerjanya. Ini enggak bagus buat kultur kampus," kata Suko kepada reporter Tirto, Senin (11/2/2019).
Dukung-mendukung untuk kedua paslon tersebut disampaikan sejumlah alumni kampus sepanjang November 2018 hingga Februari 2019. Paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapat dukungan dari mereka yang mengklaim sebagai alumni UGM, UI, Unair, dan ITS.
Dukungan serupa juga didapat Paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka mendapat dukungan dari mereka yang mengklaim alumni UGM, Unair, dan ITS.
Suko pesimis deklarasi dukungan dari alumni kampus ini akan mendongkrak elektabilitas paslon secara signifikan. Meski begitu, ia mengatakan dukungan alumni kampus memiliki keunggulan karena memanfaatkan nama kampus dan kelas terpelajar.
"Gagasan dan narasi yang ingin dibangun itu seolah timses tertentu punya legitimasi dan legasi untuk menentukan arah politik Indonesia lewat kampus dan sekolah," kata dia.
Meski mendapat komentar negatif, timses membantah deklarasi dukungan dari sejumlah alumni kampus sebagai bentuk kegagalan mesin partai. Salah satunya dari Direktur Komunikasi TKN Jokowi-Maruf, Usman Kansong. Dia menyebut dukungan alumni kampus sebagai tambahan barisan pendukung.
"Partai tetap bekerja, kok. Spanduk dan aksi lapangan tetap banyak. Saya kira alumni-alumni ini, kan, untuk menambah energi. Mereka ada untuk menambahkan barusan pendukung, bukan sebagai pengganti parpol," ujar Usman saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Politisasi Nama Kampus
Penggunaan kata alumni sebetulnya tidak bisa merepresentasikan institusi secara keseluruhan. Dosen semiotika Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), Acep Iwan Saidi, mengatakan penyebutan alumni semata-mata hanya menunjukkan segelintir lulusan suatu institusi pendidikan.
"Kenapa perlu bawa alumni dari almamater tertentu? Karena mereka percaya bahwa universitas atau sekolah punya nilai semiotis, karena mereka adalah lembaga nilai yang dianggap punya legitimasi menunjukkan satu nilai kebenaran," kata Acep saat dihubungi reporter Tirto.
Acep melanjutkan, penggunaan kata alumni yang mengatasnamakan almamater tertentu diharapkan memberikan efek domino terhadap alumni lainnya.
"Universitas dan sekolah punya massa yang banyak, ketika mengatasnamakan almamater, tentu yang diharapkan adalah keikutsertaan alumni lain yang enggak kritis, ikut-ikut saja," ujarnya.
Acep mengkritik fenomena dukung-mendukung alumni kampus karena mempolitisasi almamater masing-masing. Di sisi lain, kampus selaku institusi yang diklaim mendukung salah satu paslon tidak mempunyai sikap tegas.
"Harusnya kampus sebagai lembaga nilai dan riset, bisa menunjukkan hal yang benar lewat pengetahuan dan ilmunya saat pilpres seperti ini," kata dia.
Menurut Acep, seharusnya kampus menunjukkan kelebihan dan kelemahan masin-masing paslon lewat kajian akademik. Ia mencontohkan seperti pengecekan fakta atas janji politik seluruh paslon.
"Terlepas jika nanti ada pandangan miring kampus memihak ke paslon tertentu, itu biar masyarakat yang menilai. Yang penting kampus berpihak pada ilmu pengetahuan," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Humas Universitas Indonesia Rifely Dewi Astuti mengatakan dukungan dari alumni tidak mewakili institusi. Rifely menegaskan UI bersikap netral dan tidak memihak kepada salah satu paslon.
"Itu kan hanya individu-individu alumni yang membawa nama kampus, itu hak konstitusional mereka. Asal tidak membawa logo makara, itu di luar dari tanggung jawab kami," kata Rifely saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (12/2/2019).
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan