Menuju konten utama

Driver Uber Inggris Menang & Jadi Karyawan, Mitra Ojol Bisa?

Di Inggris, mitra Uber harus dianggap seperti karyawan. Di Indonesia pun mungkin bisa selama ada yang menggugat.

Driver Uber Inggris Menang & Jadi Karyawan, Mitra Ojol Bisa?
Dua orang pengemudi ojek online berbincang di Jalan Thamrin, Jakarta, Senin (17/2/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Baru-baru ini Uber kalah di Mahkamah Agung Inggris dalam gugatan yang diajukan oleh 25 pengemudi. Pengadilan mewajibkan Uber memperlakukan mereka seperti karyawan atau pekerja tetap alih-alih mitra atau wiraswasta, lengkap dengan pemenuhan hak seperti upah minimum, cuti, dan tunjangan lain.

Melansir WIRED, sedikitnya ada lima alasan yang mendasari keputusan hakim yang dibacakan Jumat (19/2/2021) lalu. Salah satunya Uber sama saja menetapkan berapa “gaji” yang harus dibayarkan pada pengemudi karena menetapkan tarif dan pengemudi tidak boleh meminta lebih dari yang telah diperhitungkan dalam aplikasi.

Uber juga memiliki sejumlah syarat untuk calon pengemudi yang mirip kontrak kerja. Ketika pengemudi diterima, keputusan mereka relatif terbatas lantaran Uber memonitor ketat dan memberi sanksi atau penalti jika mereka terlalu banyak menolak pesanan. Uber juga memberlakukan mekanisme rating yang menentukan apakah pengemudi masih dapat bekerja atau tidak.

Terakhir, Uber melarang adanya komunikasi-hubungan antara pengemudi-konsumen di luar konteks jasa mengantar.

WIRED mencatat gugatan pengemudi berhasil setelah pengadilan ketenagakerjaan Inggris mengabulkan putusan serupa pada dua pengemudi Uber tahun 2016 lalu. Putusan pengadilan itu diamini oleh hakim lain, bahkan dikuatkan oleh pengadilan yang lebih tinggi--dari tingkat banding sampai kasasi. WIRED menyebut keputusan tersebut dengan “landmark case.”

Dosen hukum di jurusan Business Law Binus Shidarta mengatakan putusan pengadilan menjadi landmark case bila menjadi acuan hakim lain termasuk dari negara lain. “Landmark itu bisa saja menembus batas negara,” ucap Shidarta kepada reporter Tirto, Senin (22/2/2021).

Ia mirip dengan yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia tapi berbeda pada beberapa aspek. Shidarta bilang sebuah yurisprudensi bisa menjadi landmark bila keputusan itu konsisten diikuti banyak hakim. Sayangnya, menurut penelitian yang pernah ia lakukan, hal ini masih sulit terjadi lantaran yang mengutip yurisprudensi sering kali berputar di orang yang sama.

Terlepas dari itu menurutnya tetap saja gugatan serupa patut dicoba. Sebab tanpa gugatan, jelas tidak bakal ada putusan. Mereka yang menggugat bisa pengemudi ojek dan taksi online secara individual atau berkelompok (class action). “Cara terbaik harus ada yang inisiatif,” ucap Shidarta.

Sama seperti di Inggris, pengemudi untuk aplikasi di Indonesia dikenal dengan sebutan mitra. Karena status itu mereka tidak mendapatkan banyak hak seperti karyawan lain seperti jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Standar tarif yang ditetapkan untuk mitra sering kali dianggap terlalu kecil sehingga untuk menutupi biaya hidup mereka terpaksa bekerja melebihi jam kerja normal (overwork).

Hal-hal ini kerap memicu para mitra protes ke penyedia aplikasi.

Ketentuan penetapan tarif, sanksi, sampai rating yang ditetapkan Uber pun punya banyak kemiripan dengan dua aplikator utama di Indonesia. Baik Gojek dan Grab mencantumkan itu dalam kontrak dan syarat yang harus diteken oleh mitra.

Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengatakan relasi sebagai mitra memang mengaburkan situasi sesungguhnya yang dialami para pengemudi. Meski namanya mitra yang semestinya kedudukannya lebih setara, pengemudi tak memiliki kekuasaan apa pun lantaran pesanan, besaran potongan, sampai penilaian kinerja ditetapkan seluruhnya oleh aplikator.

“Relasinya tidak imbang. Investasi kendaraan sering kali dari mitra, mencari duit juga mitra, segala risiko ditanggung mitra, tapi mitra tidak punya kuasa apa-apa,” ucap Darmaningtyas kepada reporter Tirto, Senin.

Meski begitu dia pesimistis kasus di Inggris dapat diulang di Indonesia jikapun ada yang menggugat. Sebab hukum ketenagakerjaan Indonesia justru melanggengkan sistem kerja outsourcing atau alih daya yang penuh kerentanan. Bukan tak mungkin para mitra akan disamakan dengan outsourcing alih-alih karyawan.

Darmaningtyas juga meyakini pemerintah tak akan tinggal diam bila ada yang menggugat. Ia bilang aplikator pastinya akan mendapat sokongan yang kuat dari pemerintah dengan dalih mereka masih berkembang, perlu sokongan, dan oleh karena itu “jangan dibebani persoalan ketenagakerjaan.”

Reporter Tirto menghubungi manajemen Grab Indonesia dan Gojek untuk meminta komentar mereka soal kemungkinan perubahan status para mitra. Hingga berita ini ditulis manajemen tidak kunjung memberikan tanggapan.

Baca juga artikel terkait KONTRAK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hukum
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino