tirto.id - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menaikkan tarif pajak hiburan di Ibu Kota hingga menjadi 40 persen. Kebijakan ini menuai respons negatif dari fraksi DPRD DKI Jakarta.
Ketua Fraksi PAN DPRD DKI Bambang Kusumanto menyebutkan, kenaikan pajak hiburan hingga 40 persen itu merupakan hal yang zalim. Ia menilai kenaikan pajak tersebut tak mempertimbangkan hal-hal logis.
"Fraksi PAN menilai itu sebagai pajak zalim, 40 persen tarif pajak itu keterlaluan tanpa pertimbangan yang logis," katanya melalui pesan singkat, Rabu (17/1/2024).
Ia mengatakan, kenaikan pajak hiburan yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 itu harus diubah. Menurut Bambang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta masih memiliki waktu untuk mengubah Perda Nomor 1 Tahun 2024.
Ia mengingatkan, pelaku usaha bidang hiburan di DKI juga kini masih dalam tahap pemulihan usai Pandemi Covid-19. Karena itu, Fraksi PAN DPRD DKI meminta perda tersebut agar diubah.
"[Perda Nomor 1 Tahun 2024] harus direvisi, harus dikembalikan ke tarif sebelumnya [senilai] 25 persen atau lebih rendah lagi. Mengingat, ini juga sektor bisnis hiburan sangat diperlukan untuk recovery dari resesi akibat COVID-19 yang dulu," urai Bambang.
Dalam kesempatan itu, ia turut menyinggung bahwa pimpinan DPRD DKI Jakarta sejatinya belum menandatangani Perda Nomor 1 Tahun 2024 itu. Namun, Bambang tak mengungkapkan secara rinci siapa saja pimpinan legislatif Jakarta yang belum menandatangani perda tersebut.
"Sampai saat ini, pimpinan Dewan merasa belum pernah tanda tangan," tuturnya.
Sementara itu, anggota DPRD DKI Jakarta M Taufik Zoelkifli meminta Perda Nomor 1 Tahun 2024 agar disesuaikan, jika aturan itu malah berdampak buruk kepada masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Sebab, bisa jadi pelaku usaha bidang hiburan di Ibu Kota justru memecat para karyawannya usai pajak hiburan naik menjadi 40 persen.
Di satu sisi, Taufik menyebutkan kenaikan pajak hiburan itu tak perlu diubah, jika aturan itu berdampak positif. Misalnya, kenaikan pajak hiburan hanya berdampak kepada masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Mengingat, Pemprov DKI memang ingin menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak hiburan.
"Kenaikan pajak memang perlu dilihat dari dampaknya kepada ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Masyarakat menengah atas yang terdampak, itu masih wajar, masih masuk akal, karena pemda ingin menambahkan PAD," kata Taufik.
"Tapi kalau dampaknya itu ke masyarakat ekonomi menengah ke bawah, itu saya sangat menyayangkan," lanjutnya.
Karena itu, Taufik meminta Pemprov DKI agar melakukan riset terkait apakah kenaikan pajak itu berdampak kepada masyarakat menengah ke atas atau masyarakat menengah ke bawah.
Penyesuaian perda disebut perlu dilakukan, jika masyarakat menengah ke bawah justru menjadi korbannya.
"Apakah dampaknya ke menengah atas atau bawah. Kalau ke atas, bisa diberikan supaya ada pemerataan, tapi kalau menengah bawah mendapat efek berat, itu musti diubah," sebut dia.
Di satu sisi, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebutkan, pihaknya akan membahas kembali soal kenaikan pajak hiburan tersebut. Menurut dia, pembahasan kembali akan dilakukan bersama pihak legislatif Jakarta.
"Iya, kami bahas lagi. Kami bahas dengan DPRD DKI," kata Heru.
Untuk diketahui, kenaikan tarif pajak hiburan DKI hingga menjadi 40 persen itu tertuang dalam Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024.
Perda sendiri merupakan peraturan yang digodok DPRD DKI Jakarta berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.
Kenaikan tarif pajak hiburan, dalam kebijakan terbaru, berlaku untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.
"Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu [PBJT] atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40 persen," tulis dalam Pasal 53 nomor (2), dikutip Selasa (16/1/2024).
Penetapan kenaikan tarif pajak hiburan terbaru yang diteken Pj Gubernur DKI Jakarta itu sudah berlaku sejak peraturan diterbitkan pada 5 Januari 2024.
Pajak hiburan DKI Jakarta sebelumnya tertuang dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahub 2015 menetapkan tarif pajak untuk panti pijat, mandi uap, dan spa sebesar 35 persen.
Sementara itu, tarif untuk klasifikasi pajak diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, live music, musik dengan disc jockey (DJ) dan sejenisnya diterapkan sebesar 25 persen.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Anggun P Situmorang