tirto.id - Donald Trump, Presiden AS ke 45 itu, sudah lama dikenal sebagai orang yang narsis dan megalomaniak. Dia sering membangga-banggakan pencapaiannya, termasuk nilai akademiknya ketika di sekolah.
Trump adalah alumnus sekolah menengah Akademi Militer New York, lalu lanjut kuliah di Universitas Fordham sebelum akhirnya pindah ke jurusan bisnis di Wharton School of the University of Pennsylvania. Kampus Wharton banyak menelurkan pebisnis moncer, seperti Warren Buffett, Walter Annenberg, Aditya Mittal, hingga Elon Musk. Pada 2017, Forbes menempatkan program Magister Bisnis Administrasi Wharton sebagai sekolah bisnis terbaik se-Amerika Serikat.
Hal itulah yang tampaknya membikin Trump besar kepala dan berani bermulut besar soal prestasi akademiknya.
Sejak sebelum jadi Presiden, hingga sekarang, Trump kerap membanggakan diri sebagai siswa cerdas dan berprestasi. Dari April 2011 sampai Januari 2018, ABC News mencatat enam kali Trump mendeklarasikan dirinya sebagai orang yang cerdas.
Dan seperti gaya khas Trump, dia pamer sembari berupaya merendahkan orang lain. Pada April 2011, Trump menyebut bahwa Barack Obama adalah seorang siswa yang buruk meski berhasil diterima di dua kampus Ivy League. Trump lantas menyuruh Obama untuk menunjukkan transkrip nilai akademik kuliahnya.
"Saya mendengar dia adalah siswa yang nilai akademiknya buruk, buruk sekali," ujar Trump kepadaAssociated Press (AP). "Nah, aku sedang cari tahu bagaimana seorang siswa yang buruk seperti itu bisa masuk ke Columbia dan Harvard."
Kepercayaan diri yang berlebih itu membuat Trump seperti menafikan peran orang lain dalam pemerintahan. Dalam acara Morning Joe yang tayang di NBC pada Maret 2016, Trump ditanya soal siapa yang bakal ia ajak konsultasi soal masalah luar negeri ketika jadi presiden nanti. Dengan enteng Trump menjawab bahwa dia mengandalkan dirinya sendiri.
“Saya akan berbicara dengan diri saya sendiri, karena saya memiliki otak yang sangat bagus.” Meski ia juga menyebut bakal berbicara dengan banyak orang lain, tetap saja ia berseloroh “konsultan utama saya adalah diri saya sendiri, dan saya tahu, saya memiliki naluri yang baik untuk hal ini."
Pada Desember 2016 setelah Trump dinyatakan menang dalam Pilpres AS mengalahkan Hillary Clinton, ia menyebut dirinya pintar karena tidak perlu pengarah harian untuk presiden terpilih. "Aku ini pintar. Aku tidak harus diberitahu hal yang sama maupun kata-kata yang sama setiap hari."
Dan self-legitimation atas kecerdasan diri itu yang juga dipakai Trump untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Yang terbaru adalah saat Trump membela diri dari buku Michael Wolff, Fire and Fury: Inside the Trump White House (2018) yang dianggap memojokkan dirinya. Buku itu meragukan kemampuan Trump untuk jadi Presiden, dan menyebut bahwa penasihat presiden pun turut mempertanyakan kemampuannya sebagai presiden.
Trump berang dan menggambarkan buku tersebut adalah fiksi dan penulisnya adalah seorang penipu. Pada Januari 2018, Trump mencuit di Twitter, “Sepanjang hidup saya, dua aset terbesar saya adalah stabilitas mental dan kepintaran.”
Dalam sesi konferensi pers, para wartawan bertanya tentang maksut cuitan itu. Alih-alih menjelaskan, Trump lagi-lagi pamer kecerdasan akademik dan pencapaiannya.
"Saya kuliah di kampus terbaik, saya siswa yang sangat baik, lulus dan menghasilkan miliaran dolar, menjadi salah satu pebisnis top, berkarier di industri televisi.”
Tak Pernah Terbukti
Trump boleh saja terus sesumbar menyebut diri sebagai orang cerdas dan pintar.Tetapi kenyataannya: jauh panggang dari api.
Marc Fisher, seorang jurnalis senior The Washington Post dalam laporan panjang "‘Grab that Record’: How Trump’s High School Transcript was Hidden" yang terbit pada Selasa 5 Maret 2019, menjabarkan bagaimana Trump dan orang-orang di belakangnya berusaha menyembunyikan transkrip nilai akademik sekolah menengah sampai perguruan tinggi sang Presiden.
Ironisnya, hal itu dilakukan sejak Trump mencalonkan diri sebagai kandidat capres pada Pilpres AS 2011 dan saat ia mencemooh prestasi akademik Obama serta menantangnya untuk menunjukkan nilai akademik.
Menurut salah seorang pengawas sekolah, Jeffrey Coverdale, tekanan itu datang dari sekelompok kawan-kawan Trump yang kaya raya. Mereka meminta pihak sekolah untuk menyembunyikan transkrip nilai akademik Trump. Perintah itu kemudian diteruskan kepada kepala sekolah Akademi Militer New York kala itu, Evan Jones.
Keganjilan ini mulai terendus pada Januari 2016 saat Trump menolak permintaan The Washington Post untuk meninjau catatan akademiknya di Akademi Militer New York. "Aku tidak akan membiarkanmu melihat transkrip itu," kata Trump. "Anda akan membuat cerita yang jelek."
Meski Jones dan Coverdale mengaku ditekan untuk menyembunyikan transkrip nilai akademik pada 2011, keduanya masih menolak untuk membuka transkrip tersebut kepada media hingga sekarang. Sampai sehari sebelum laporan The Washington Post dirilis, Gedung Putih bergeming ketika dimintai tanggapan atas temuan kejadian tersebut.
Pengakuan para mantan pejabat Akademi Militer New York itu seakan melengkapi pengakuan Michael Cohen, mantan pengacara pribadi Trump. Pada akhir Februari, Cohen bersaksi di hadapan Komite Pengawasan dan Reformasi Kongres AS bahwa ia disuruh Trump untuk menyurati Akademi Militer New York, kampus Fordham University dan Wharton School of the University of Pennsylvania.
Surat tersebut berisi ancaman agar dua institusi perguruan tinggi itu tidak merilis transkrip nilai akademik Trump kepada siapa pun. Ancaman hukuman pidana, denda dan penghentian bantuan pemerintah siap menanti apabila dua kampus itu melanggar. Cohen memakai Undang-Undang Hak Pendidikan dan Privasi Keluarga yang melarang perilisan catatan pendidikan kepada pihak ketiga.
"Saya berbicara tentang seorang pria yang menyatakan dirinya brilian tetapi mengarahkan saya untuk mengancam sekolah menengahnya, perguruan tinggi, dan Dewan Perguruan Tinggi untuk tidak pernah merilis nilai akademiknya (Trump)," kata Cohen saat bersaksi di Komite, seperti dilansir The New York Times.
Dan serangan terhadap "kecerdasan akademik" Trump juga datang dari rekan satu almamaternya. Pada 2017, The Daily Pennsylvaniamengulik data mahasiswa lulusan kampus Wharton Pennsylvania melalui arsip surat kabar mereka yang pernah memuat daftar 56 lulusan teratas. Tetapi, nama Donald Trump tidak tercantum di sana.
"Saya mengenali hampir semua nama dalam daftar itu," kataStephen Foxman, lulusan Wharton 1968, kepada The Daily Pennsylvania, "dan Trump bukan salah satu dari mereka."
Arsip lainnya yang mencantumkan nama-nama mahasiswa berprestasi angkatan 1968 dalam banyak kategori juga tidak memunculkan nama Donald Trump. Tidak satu pun.
"Jika dia melakukannya dengan baik, namanya akan muncul," kata Foxman.
Dengan kata lain, Trump hanyalah seorang mahasiswa dengan prestasi akademik yang biasa-biasa saja. Dan kini, Sang Presdiden sudah harus mulai menghentikan klaim prestasi akademiknya.
Editor: Nuran Wibisono