Menuju konten utama

Kendali Kegilaan Trump Ada di Tangan Elite Militer AS

Trump dianggap "gila" di Gedung Putih. Tiga elite militer yang diam-diam mengendalikan suasana dan kebijakan kontroversial sang presiden.

Kendali Kegilaan Trump Ada di Tangan Elite Militer AS
Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence tertawa saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump memegang tongkat bisbol ketika mereka menghadiri acara showcase produk Made in Amerika di Gedung Putih di Washington, Senin (17/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria

tirto.id - Situasi ini sudah diamati para analis politik sejak awal tahun 2017: elite militer Amerika Serikat makin mengepung Presiden Donald Trump. John F. Kelly selaku Kepala Staf Gedung Putih, James N. Mattis sebagai Menteri Pertahanan, dan Herbert R. McMaster yang menjabat posisi Penasihat Kemanan Nasional. Ketiganya bak membentuk poros segitiga yang dicatat media punya pengaruh yang besar terhadap kebijakan dalam dan luar negeri AS.

Tiga serangkai jenderal kerap memenangkan argumen di Gedung Putih Sayap Barat. Kadang mereka berani mengkoreksi cuitan Trump, bahkan menolak untuk menjalankan salah satu kebijakannya yang paling kontroversial. Alasannya? Washington Post menyebutkan ketiganya dihubungkan oleh keyakinan akan “norma global”, mengingat Trump cenderung anti-globalisasi. Sementara politisi di Partai Demokrat maupun Republikan menilai ketiganya sebagai “penyelamat” AS di era yang penuh turbulensi.

Dalam tragedi berdarah di Charlottesville pada Agustus lalu, misalnya. Pernyataan Trump menimbulkan kegaduhan publik sebab menyalahkan kedua pihak yang bertikai: kelompok nasionalis-supremasis kulit putih dan barisan liberal-anti fasis. Padahal jelas-jelas kelompok nasionalis-supremasis kulit putih-lah yang bertindak ofensif hingga mengakibatkan satu nyawa melayang.

Tak berapa lama kemudian, empat kepala dinas militer AS mengeluarkan pernyataan resmi yang intinya mengutuk si pelaku penyerangan serta menolak tumbuh kembangnya rasisme maupun kebencian di Paman Sam. Meski AS adalah negara yang toleran, mengutip pernyataan Panglima Angkatan Laut, apa yang terjadi di Charlottesville tak boleh ditolerir.

Baca juga: Keganasan Teroris Kulit Putih

Dalam kebijakan militer yang terkait erat dengan isu-isu sosial yang kini tengah berkembang, pada pertengahan Agustus lalu James Mattis menyatakan tetap memberi kesempatan bagi kaum transgender untuk berpartisipasi di dunia militer AS. Tiga minggu sebelumnya Trump menyatakan bahwa kaum transgender tak akan diizinkan untuk masuk dunia militer “dalam kapasitas apapun”.

Mattis, di sisi lain, lebih elegan. Kepada para reporter di Pentagon, mantan Panglima Komando Pusat AS itu menyatakan pihaknya akan mengkaji isu kaum transgender di militer AS, terutama efeknya bagi tentara transgender sendiri. Sementara itu tentara transgender yang sekarang sedang aktif dipersilakan untuk tetap melanjutkan tugasnya, sembari menunggu arahan Trump ke depannya.

Mattis dinilai oleh beberapa pengamat sebagai salah satu petinggi militer yang cukup dominan dalam pengambilan kebijakan Trump. Pria yang kini berusia 67 tahun tersebut berlawanan visi dengan Trump terkait praktik-praktik kejam CIA. Menurut US News, Trump menyatakan bahwa Mattis mencoba meyakinkan dirinya bahwa tak perlu lagi memakai teknik penyiksaan seperti 'waterboarding'. Wacana ini dibawa Trump ke permukaan atas nama ketegasan, namun tak lama kemudian jadi kontroversi.

Dalam kunjungannya ke Baghdad akhir Februari kemarin, Mattis ditanya oleh reporter tentang pernyataan Trump satu bulan sebelumnya di kantor Badan Intelijen Pusat AS (CIA). Trump menyatakan bahwa AS seharusnya “menjaga” minyak Irak setelah keberhasilan pendudukan invasi yang dipimpin oleh AS. Tak diduga-duga, pernyataan Trump disanggah Mattis.

“Kira berada di Irak tidak untuk merebut minyak siapapun,” katanya sebagaimana dilaporkan New York Times.

Baca juga: Gonjang-Ganjing Referendum Kemerdekaan Kurdistan Irak

Sebelum ke Irak, Mattis juga melakukan kunjungan ke Eropa dan berusaha meyakinkan aliansi-aliansi AS bahwa Paman Sam masih berkomitmen dalam keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sebelumnya Trump membuat pernyataan bahwa NATO sudah “kedaluwarsa” dan “usang”. Ia bahkan menyebutkan bahwa anggota-anggota NATO sebagai sekutu yang tak tahu terima kasih setelah mendapat manfaat dari kebaikan AS.

John E. McLaughlin, mantan direktur CIA yang telah melayani tujuh pemerintahan AS sepanjang beberapa tahun terakhir, menyatakan pada Washington Post jika “sekarang adalah satu-satunya masa di era kepresidenan modern ketika kita memiliki sejumlah kecil orang yang tak terlalu dikenal dunia internasional tetapi memegang pengaruh yang besar terhadap sang presiden. Mereka sekarang memainkan peran yang luar biasa.”

Bersama-sama dengan sekutu lain di pemerintahan, Mattis, Kelly, dan McMAster melihat peran mereka tak terbatas untuk menjalankan arahan Trump, tapi juga sekaligus membimbingnya untuk menjauhi kebijakan-kebijakan yang mereka takuti dapat menimbulkan malapetaka.

Setelah diangkat oleh Trump pada tanggal 31 Juli 2017, Kelly berusaha untuk “low profile” selama beberapa minggu pertama di Gedung Putih. Namun ia juga punya peran penting untuk melunakkan sikap keras Trump. Beberapa jam setelah Trump mengumumkan bahwa proses deportasi para imigran ilegal di AS bakalan mirip “operasi militer”, Kelly mengatakan bahwa ia tidak akan meminta tentara AS untuk melaksanakan undang-undang imigrasi dan menyerahkan sepenuhnya kepada otoritas yang berwajib.

Baca juga: Dilema Tionghoa-Indonesia yang Mencari Suaka di AS

Menurut US News, Mattis dan Kelly dilaporkan sangat frustasi dengan manuver Trump terkait kebijakan larangan imigrasi dan menjelaskan pada rekan-rekan terdekat bahwa mereka tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan tersebut. Efek dari kebijakan ini cukup krusial karena memicu penangkapan orang-orang tak bersalah hingga demonstrasi besar-besaran di berbagai tempat. Kelly kemudian berupaya mendinginkan situasi dengan menjelaskan bahwa pemegang green card tidak akan terpengaruh oleh kebijakan yang baru.

McMaster, selaku Penasihat Keamanan Nasional AS yang baru, dilaporkan menjauhi Trump selama berbulan-bulan hanya karena sang presiden cenderung impulsif. Keduanya punya gaya kerja yang berbeda. Cara kerja McMaster dengan cara yang tertib dan berorientasi pada konsensus dalam memproses segala kebijakan terkait keamanan negara. Trump tak bisa menyesuaikan diri dengan irama kerja seperti ini karena tingkat kesabaran yang kerdil.

Infografik elite militer

William S. Cohen, Menteri Pertahanan era Clinton, mengatakan bahwa Trump datang ke Gedung Putih "nyaris tanpa pengalaman dalam pemerintahan dan tak punya filosofi strategis yang koheren untuk dipegang. Ada perang dalam pemerintahan ini dan hal itu masih harus diselesaikan.. Militer telah mencoba untuk menerapkan koherensi dan disiplin.”

Baca juga: Incar Mineral, AS Kirim Ribuan Pasukan ke Afghanistan

Kehadiran tiga sosok petinggi militer yang berpengaruh di sekitar Trump tak selamanya berhasil menenangkan situasi. Kadang mereka juga turut melahirkan kebijakan luar negeri yang tak seiring dengan komitmen Trump di masa lampau. Trump pernah menyatakan bahwa kehadiran AS di Afghanistan adalah “sebuah kesia-siaan besar”. Namun setelah diskusi panjang dengan ketiga petinggi militer tersebut di Gedung Putih, Trump menyatakan akan mengirimkan lebih banyak tentara ke Afghanistan.

Minggu lalu (18/9/2017) Mattis menyatakan bahwa AS akan mengirimkan 3.000 tentara lagi ke Afghanistan atau 25 persen dari total jumlah pasukan di negara tersebut, demikian menurut VOA America. Apa motifnya? Dalam laporan New York Times akhir Juli lalu, jawabannya sudah jelas: AS mengincar sumber daya alam Afghanistan, terutama jenis mineral yang cadangannya melimpah.

Pers liberal AS, ThinkProgress, telah menurunkan laporan bahwa pemerintahan Trump hanyalah menguntungkan orang-orang militer di dalamnya. Salah satu laporannya bukan Agustus kemarin lebih tegas menyatakan “Tokoh-tokoh militer telah mengambil alih pemerintahan Trump.” Meski berhasil mengendalikan “kegilaan” Trump untuk beberapa kebijakan, elite militer juga dikhawatirkan turut melahirkan kebijakan luar negeri yang keliru, sebagaimana yang akan dijajaki di Afghanistan.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN TRUMP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf