Menuju konten utama

Dilema Tionghoa-Indonesia yang Mencari Suaka di AS

Tionghoa-Indonesia yang mencari suaka di AS saat Tragedi 1998 menghadapi tantangan baru: Presiden Trump.

Dilema Tionghoa-Indonesia yang Mencari Suaka di AS
Orang tua korban tragedi 98 ikut serta dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis, (18/5). tirto/Andrey Gromico

tirto.id - Meldy Lumangkun terkejut. Setelah 19 tahun menetap di Amerika Serikat (AS), Badan Imigrasi dan Bea Cukai atau Immigration and Customs Enforcement (ICE) Negeri Paman Sam itu menyuruhnya pulang ke Indonesia. Kekhawatiran pun membayangi dirinya.

Meldy adalah salah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang terpaksa pergi ke AS pada 1998. Press Herald melaporkan sebagian besar dari 60 orang Indonesia yang berada New Hampshire dan Massachussetts pergi ke kota tersebut dengan visa sementara kategori turis untuk mencari perlindungan dari kerusuhan yang menyasar kelompok Tionghoa-Indonesia dan beragama Kristen setelah Suharto lengser Mei 1998.

Di sisi lain, setelah 11 September 2001, pemerintah AS mewajibkan semua pemegang visa sementara dari negara-negara mayoritas Muslim – termasuk Indonesia – untuk melaporkan diri. Beberapa di antara mereka pun mengajukan permohonan suaka, namun permohonan mereka ditolak karena mereka melewatkan tenggat waktu yang berakhir satu tahun setelah kedatangannya.

Baca juga: Indonesia dan Persimpangan Para Pengungsi

Akhirnya mereka terus tinggal di sana tanpa status tetap, bekerja sebagai buruh kerah biru di gudang dan pabrik. Melalui perjanjian yang dimediasi oleh senator partai Demokrat AS Jeanne Shaheen pada 2009, mereka diperbolehkan tinggal, tetapi diwajibkan memberikan laporan rutin ke ICE.

Namun tatkala Meldy bersama istrinya, Eva, memberikan laporan kepada kantor ICE Manchester, New Hampshire pada Agustus 2017, lembaga tersebut justru membalas dengan nada miring. Keduanya diimbau untuk segera membeli tiket pesawat ke Indonesia. Dalam waktu 2 bulan mereka harus angkat kaki dari AS.

“Kami takut pulang. Kami mengkhawatirkan keselamatan anak-anak kami. Di sini anak-anak kami bisa hidup dengan aman,” ujar Meldy Lumangkun kepada Reuters.

Beberapa bulan sebelumnya, kejadian serupa menimpa empat orang asal Indonesia. Pada Mei 2017 Arino Massie, Saul Timisela, Rovani Wangko, dan Oldy Manopo ditahan setelah melaporkan diri ke ICE New York. WNYC melansir bahwa ICE menyuruh mereka untuk datang lagi sambil membawa paspor.

Jika sebelumnya mereka dilepas dan dipersilakan untuk melakukan pelaporan lagi pada tahun berikutnya, kali ini mereka langsung ditahan dan dibawa ke fasilitas penahanan di Elizabeth, New Jersey.

Baca juga: "Perkosaan Massal 1998 Memang Terjadi"

Di Bawah Lindungan Paman Sam

Sore hari, 14 Mei 1998, Victor Liem (bukan nama sebenarnya) pulang ke rumah dengan mobilnya. Tidak disangka, di sebuah jalan di wilayah Kebon Jeruk, Liem bertemu dengan serombongan massa yang menyerang para pengendara kendaraan dengan bebatuan, kayu, besi. Mereka pun memeriksa kartu identitas satu per satu para pengendara.

Liem akhirnya mempercepat laju kendaraannya. Dia berhasil menembus kerumunan massa. Sesampainya di gerbang Tol Serpong, Liem diberi pengamanan oleh warga setempat. Namun mobilnya rusak parah akibat dihantam batu. Wajah dan tangan Liem pun terluka. Ada sebatang logam tajam memecahkan kaca depan mobil Liem dan jatuh tepat di sebelah perutnya.

Kisah Liem tersebut dapat ditemui dalam artikel “Game of Chance” yang dimuat dalam jurnal Inside Indonesia. Penulisnya bernama Damai Sukmana (nama samaran), seorang Tionghoa-Indonesia yang sempat mencari suaka di AS dan kini tinggal di California.

Baca juga:

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Damai, Liem mendarat di AS pada bulan Juni 1998. Seluruh keluarganya mengajukan suaka politik, dan permohonan mereka disetujui segera setelahnya. Menurut Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, suaka harus diberikan kepada orang-orang yang mengalami persekusi ras, agama, atau ideologi politik di negaranya.

Kisah lain juga dapat ditemukan dalam Chicago Tribune. Pada 17 Mei 1998, media tersebut memberitakan seorang perempuan Tionghoa-Indonesia bernama Jenny Ramli yang pergi ke AS untuk mencari perlindungan karena khawatir menjadi sasaran amukan massa.

“Tidak seorang pun melihat badannya, tetapi kami semua tahu mereka ada. Kami dapat mendengar teriakan dan kerusuhan berlari ke dalam rumah-rumah dan keluar dengan membawa kulkas dan televisi. Yang kami tahu pembunuhan massal telah dimulai,” ujar Ramli.

Damai menyebutkan, pada 1998 setidaknya 1.972 orang Indonesia menerima suaka dari AS. Mayoritas pencari suaka tersebut adalah Tionghoa-Indonesia yang pergi ke AS guna menghindari kerusuhan. Jumlah tersebut merupakan proses suaka afirmatif tertinggi yang diberikan AS kepada warga Indonesia sepanjang satu dekade.

Baca juga: Kisah Thomas Cup 1998 Melawan Diskriminasi dengan Raket

Infografik mendeportasi para pengungsi

Banyaknya suaka yang diterima tersebut, menurut Damai, tidak lepas juga dari peran kelompok Tionghoa-AS yang melobi pemerintah AS untuk menuntut pemerintah Indonesia memberikan perlindungan kepada orang-orang Tionghoa-Indonesia. Pendekatan tersebut ditempuh oleh sejumlah politikus seperti Nancy Pelosi dan Gavin Newsom.

Secara umum, lebih dari 20 ribu kasus pencari suaka dari Indonesia dicatat Departemen Kehakiman AS sejak 1998 hingga 2009. Dari 1997 hingga 2007, sebanyak 7.359 suaka orang Tionghoa-Indonesia diterima, sementara 5.848 kasus ditolak.

Satu dekade setelah kerusuhan Mei, Damai menyebutkan orang Tionghoa-Indonesia masih pergi dan mencari ke suaka ke luar negeri. Banyak yang mengalami trauma masa lalu dan mengkhawatirkan situasi di Indonesia akan terulang seperti pada 1998.

Baca juga: Memaafkan Tapi Tak Melupakan Tragedi Glodok 1998

“Kedatangan baru-baru ini ke Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak mempercayai pemerintah untuk memberi mereka perlindungan yang diperlukan pada saat krisis dan sasaran potensial bagi etnis Tionghoa,” sebut Damai.

Namun, terjadi perubahan regulasi di AS. Jika permohonan mereka ditolak oleh kantor Suaka, kasus pemohon akan diajukan ke pihak Pengadilan Imigrasi. Proses ini biasanya disebut Uji Dengar Suaka Defensif. Pelamar pun harus memiliki pendamping hukum. Jika kasus mereka ditolak di Pengadilan Imigrasi, mereka dapat mengajukan banding ke Dewan Banding Imigrasi (BIA).

Mengadapi Kebijakan Trump

Kini, para Tionghoa-Indonesia pencari suaka di AS menghadapi tantangan baru: kebijakan Presiden Donald Trump. Selama kampanye, Donald Trump mengatakan bahwa dia akan membersihkan AS dari jutaan imigran "ilegal". Bersama puluhan ribu imigran yang tidak berdokumen lainnya, mereka terancam akan dideportasi.

Sejak Trump menjalankan pemerintahannya, antara 20 Januari hingga 13 Maret 2017, ICE telah menangkap 21.362 imigran yang tidak memiliki dokumen dan mendeportasi 54.741 orang. Antara 1 Februari hingga 31 Juli 2017 ada 49.983 imigran ilegal yang diperintahkan untuk angkat kaki dari AS

Baca juga: Drama 100 Hari Pemerintahan Donald Trump

Pada bulan Juni 2017 otoritas imigrasi AS menangkap total 13.914 imigran. Hingga April 2017 terdapat penangkapan 8.557 imigran non-kriminal termasuk yang tidak memperpanjang visa atau sebelumnya pernah dideportasi.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016, penangkapan meningkat 33 persen, akan tetapi deportasi menurun sebanyak 1,2 persen. Dalam bulan-bulan awal pemerintahan Obama, ICE menangkap 29.239 imigran yang tidak memiliki dokumen.

Baca juga artikel terkait WNI DIDEPORTASI DARI AS atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Hukum
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS