tirto.id - Dalam banyak mitologi, kehebatan seorang tokoh seringkali ditunjukkan dengan bukti kecepatan bekerja membuat sesuatu yang kelihatannya megah tapi mustahil. Guna melamar Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mengerahkan jin, demit, dan spesies lelembut lainnya untuk membangun 1000 candi dalam waktu semalam.
Kastil Sunotama di Jepang, yang berusia 500 tahun lebih, menurut legenda juga dibangun dalam semalam sebagai benteng pertahanan di dekat teritori musuh. Bahkan kitab Genesis menulis karakter Tuhan menciptakan alam semesta hanya dalam kurun enam hari.
Tapi begitulah kebiasaan para leluhur: senang membual, membesar-besarkan hal-ihwal tak masuk akal dengan ungkapan-ungkapan magis yang sulit dibuktikan kebenarannya. Perlu setidaknya tiga hari untuk membangun Kastil Sunotama, jutaan tahun bagi alam semesta untuk berevolusi hingga bentuknya yang sekarang, dan jumlah Candi Sewu pun cuma 249, bukan 999 sebagaimana yang kita tahu dari dongeng.
Rupanya kebiasaan membual bukan monopoli leluhur pada era feodal. Kekuasaan modern pun butuh narasi 100 hari untuk mengukur pencapaian kepala pemerintahan terpilih. Semakin banyak perubahan yang dibuat sepanjang 100 hari pertama, konon semakin perkasa pula seorang presiden.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat ini dikabarkan sedang ditakar kesaktiannya dengan ukuran 100 hari yang akan jatuh pada tanggal 29 April. Selama kampanye, beberapa penentang Trump mengatakan “Trump’s policy is no policy at all’ (“kebijakan Trump adalah tidak membuat kebijakan”), sementara ada juga yang beranggapan Trump hanya akan memukul balik pencapaian-pencapaian yang telah dibuat pemerintahan Obama.
Adapun bagi para pendukung Trump garis keras, kebijakan Trump dibayangkan akan mengembalikan kedigdayaan industri manufaktur Amerika, membatasi imigran gelap, mengkriminalisasi pernikahan sesama jenis, hak aborsi, membatalkan kebijakan-kebijakan di era Obama yang pro-lingkungan hidup, dst.
Bagi Trump, 100 hari pertama pemerintahan tidak penting. Namun secara bersamaan ia mengklaim 100 hari miliknya jauh lebih baik dan beres ketimbang presiden AS mana pun. Sejak dilantik Februari lalu, Trump telah mengeluarkan travel ban (larangan melancong ke AS) bagi enam negara berpenduduk mayoritas muslim dengan alasan mencegah terorisme. Selain itu, Trump menandatangani executive order (semacam keputusan presiden) untuk membatalkan kebijakan Clean Power Plan, regulasi yang dijalankan pada era Obama terhadap pembangkit listrik sebagai jalan menuju energi hijau.
Trump juga meneken keppres yang membatalkan regulasi era Obama yang disahkan untuk melindungi sungai dan limbah tambang batu bara. Beberapa keputusan yang diambil Trump berpotensi merugikan perempuan. Salah satunya adalah memperbolehkan negara bagian membatasi atau memblokir pendanaan yang sejatinya dialokasikan untuk aborsi. Atau rencana Trump membubarkan Office on Violence Against Women yang selama ini telah banyak membantu perempuan korban kekerasan domestik.
Empat tahun ke depan kelihatan tidak cerah. Tapi seberapa penting bulan madu 100 hari bagi para presiden AS?
100 Hari Pertama Para Presiden
Huffington Post mencatat presiden AS yang paling banyak membuat perubahan drastis dalam 100 hari adalah Franklin Delano Roosevelt (FDR). Ukurannya yang dipakai Huffington Post adalah jumlah Keppres yang diterbitkan. Jika ukurannya adalah undang-undang yang disahkan, maka 100 hari FDR diisi dengan mengesahkan 78 undang-undang.
Begitu resmi dilantik pada 1933, FDR memasang 100 hari untuk menggodok kebijakan-kebijakan penting. Selama setahun pertama memerintah, FDR menandatangani 573 keppres—99 keppres dihasilkan selama 100 hari sejak dilantik. Tahun berikutnya, ada sekitar 450-an dan semakin kecil jumlahnya hingga melonjak lagi pada tahun pertama (490-an Keppres) periode terakhir kepemimpinannya (1941-45). Sampai hari ini, FDR tercatat sebagai penandatangan Keppres terbanyak (3522 keputusan)
Krisis ekonomi yang berlarut-larut sejak 1929 memaksa FDR melewati kewenangan mayoritas parlemen yang sering menjegalnya (salah satunya dengan menuduh “FDR antek Moskow”). Selama 100 hari pula pemerintahan FDR menunda sidang Kongres agar bisa bekerja dengan tenang.
Presiden sebelumnya, Herbert Hoover, percaya bahwa depresi ekonomi bisa dilalui dengan membuka pintu seluas-luasnya bagi investor. Pemerintahan FDR sebaliknya. Kabinet periode pertama FDR, yang sebagian diisi oleh aktivis, sosiolog, wartawan, hingga petani, menyelamatkan perbankan nasional yang baru saja mengalami penarikan uang besar-besaran oleh nasabah. Rezim ini juga mencegah surplus panen yang menyebabkan harga komoditas pangan terus anjlok dengan cara membayar petani untuk tidak menanam apapun. Mereka juga melarang perburuhan anak dan memberlakukan upah minimum; dan akhirnya membangun infrastruktur publik.
Situasi unik dan respons cepat FDR ini membuat pemerintahannya istimewa dan sulit ditandingi oleh para presiden selanjutnya. Bahkan tak sedikit presiden Paman Sam yang keberatan dinilai dengan ukuran tersebut.
Seperti dilansir CNN, John F. Kennedy berkelit ketika ditanya oleh pers tentang program 100 hari: "Semua ini tidak akan rampung dalam 100 hari pertama, tidak juga bisa diselesaikan dalam 1.000 hari pertama, mungkin juga dalam pemerintahan ini, atau bahkan sepanjang kita hidup di planet ini. Tapi kita coba sajalah.”
Kennedy lolos dari drama 100 hari dengan cara memanggungkan drama lainnya: menggelar Operasi Teluk Babi pada hari ke-87 untuk menggulingkan pemerintahan Castro di Kuba. Adapun rencana kebijakan Presiden Reagan untuk pemotongan pajak orang-orang kaya baru disetujui ketika seorang laki-laki penderita gangguan mental menembak dada kirinya.
Ucapan serupa Kennedy juga dilontarkan oleh presiden (atau jubir presiden) Clinton, Bush Junior, hingga Obama. Lari dari tuntutan 100 hari, mereka mengajukan 1.000 hari. "Mungkin ini akan jadi 1.000 hari pertama yang mengawali perubahan,” demikian Obama dalam wawancaranya di sebuah radio pada 2008.
Namun memang, hitungan 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya sekadar tradisi, mirip-mirip hajatan tahlilan 100 hari dan 1000 hari setelah seseorang meninggal. Tidak mesti diikuti, tapi menyimpan bobot psikologis tersendiri.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani