tirto.id - Munculnya sejumlah kasus pendisiplinan melibatkan kekerasan fisik yang dilakukan guru terhadap murid di Jawa Barat, memancing upaya untuk menindaklanjutinya. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, turun langsung dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang ditujukan untuk para guru.
Isinya, guru diminta agar tidak membuat hukuman fisik kepada murid mereka. Dedi menyebut, pemberlakuan hukuman fisik bagi murid merupakan tindakan yang berisiko melanggar aspek hukum, sebagaimana diatur undang-undang. Itu mengapa guru dihimbau memberi ‘hukuman’ yang mendidik.
"Hari ini, saya mengeluarkan surat edaran kepada seluruh guru di Jawa Barat agar hukuman anak nakal cukup dengan hal mendidik, tidak boleh hukuman fisik karena berisiko melanggar aspek hukum," kata laki-laki yang akrab disapa KDM itu, dikutip dari Antara, Jumat (7/11/2025).
Dedi menambahkan, hukuman mendidik kepada para murid bisa berupa membersihkan halaman, toilet, mengecat tembok, membersihkan kaca, atau membantu tugas sekolah lain.
Ada sekitar dua ratus pengacara di Jabar yang siap mendampingi para guru sekolah menengah jika mereka menghadapi permasalahan hukum.
"Selain itu di Jawa Barat sudah ada sekitar dua ratus pengacara yang siap mendampingi para guru SMA dan SMK jika menghadapi masalah hukum," ucap KDM.
@dedimulyadiofficial Semangat mendidik anak2 Jawa Barat
♬ suara asli - KANG DEDI MULYADI - KANG DEDI MULYADI
Tak cuman untuk guru, Pemprov Jabar juga mewajibkan seluruh orang tua siswa menandatangani surat pernyataan dukungan terhadap penerapan disiplin di sekolah. Pemerintah akan mengembalikan siswa kepada orang tuanya jika ia menolak mengikuti aturan dan sanksi yang berlaku, sebagai upaya membentuk pola pikir pendidikan yang lebih bertanggung jawab di Jawa Barat.
Imbauan dari Dedi lewat surat edaran ini adalah buntut kasus guru menampar murid lantaran melanggar disiplin di SMPN 2 Jalan Cagak, Subang, Jabar.
Sebelumnya, kasus serupa sempat terjadi di wilayah lain. Oktober 2025 lalu, sempat ada insiden Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menampar seorang siswa karena kedapatan merokok.
Penting digarisbawahi, perilaku menampar murid adalah bentuk kekerasan. Tetapi merokok di lingkungan sekolah juga melanggar aturan. Merokok di tempat umum khususnya di fasilitas pendidikan seperti sekolah tegas dilarang berdasarkan Undang Undang (UU) No. 17 Tahun 2023 pasal 151 dan PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan
Bergantung pada Implementasi di Lapangan
Bagi guru, SE KDM ini seharusnya jadi langkah positif mengimplementasikan sekolah sebagai ruang aman anak. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, artinya ada peran dan tindakan positif dari pemerintah daerah.
“Soal apakah surat edaran ini baik atau tidak baik, kami kira itu bisa dilihat ketika surat edaran ini terbit. Yang kedua, bisa dilihat tindakan pemerintah daerah selanjutnya setelah surat ini terbit. Lalu ketiga adalah implementasinya di lapangan, apakah surat edaran ini dijalankan oleh guru atau tidak,” ujar Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, saat dihubungi jurnalis Tirto, Senin (10/11/2025).
Menyoal penerapan dari guru tersebut, Iman memaparkan umumnya ada sejumlah hambatan yang dijumpai guru dalam menghindari pendisiplinan dengan cara kekerasan.
Faktor pertama yakni ada sebagian guru yang menganggap tindakan itu bukan masalah. Artinya ini merupakan perihal kurangnya informasi, yang berarti kurang tersosialisasi atau pemahaman secara mendalam, bahwa kekerasan itu sama sekali tidak boleh dilakukan di lingkungan pendidikan, ataupun dilakukan oleh guru kepada siswa.
“Yang kedua, masalah-masalah insidental. Misalkan guru beban kerjanya begitu tinggi, sehingga kemudian tidak sabar di dalam pendidikan anak-anak kita. Dianggapnya bahwa hukuman fisik itu adalah cara yang paling ringkas. Yang ketiga, itu adalah tradisi,” ucap Iman melanjutkan.
Dalam beberapa kasus, masih ada tradisi guru memukul siswa yang dianggap sebagai hal normal. Padahal, menurut Iman, anak-anak yang dihadapi saat ini juga berbeda dengan zaman dahulu. Pelajar kiwari cenderung lebih kritis, sehingga pengelolaan emosi guru harus luar biasa sabar.
“Meskipun kami dari P2G sadar itu adalah sesuatu yang sangat sulit. Tetapi [kesabaran] tetap harus dilakukan oleh guru. Karena pendidikan adalah proses. Dan memang harus pelan-pelan. Dan kita para guru harus sepakat bahwa tidak ada yang instan. Tentu saja menurut kami kementerian dan juga dinas pendidikan ini juga harus memberikan bantuan,” ujar Iman.
Sumber daya yang dimaksud termasuk sumber daya untuk meningkatkan kesadaran guru terhadap kekerasan. Hal itu bisa dilakukan lewat menggalakkan pelatihan, disertai monitoring dan evaluasi.
“Nah, ini juga harus diawasi terus. Apakah sekolah ini melaksanakan amanat Permendikbud 46 tahun 2023? Apakah sekolah sudah membuat tim PPK? Apakah sekolah sudah melakukan pencegahan? Apakah sekolah sudah melakukan penanganan? Jadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah yang mengawasinya,” tegas Iman.
Sesuai pasal 14 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi penguatan tata kelola, edukasi, dan penyediaan sarana dan prasarana. Penguatan tata kelola itu termasuk membentuk TPPK atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Hukuman Verbal juga Bisa Berdampak Lebih Buruk
Meski arahan KDM ini positif dan menunjukkan peran nyata Pemda, Psikolog Anak Endang Widyorini mengingatkan, bukan berarti hukuman verbal juga boleh dilakukan. Sebab, hukuman berbentuk kata-kata pun bisa berdampak lebih buruk pada psikologi siswa.
“Tentu saya setuju dengan SE dari Pak KDM. Karena menghukum yang bertujuan edukasi adalah sesuatu yang bisa merubah perilaku menjadi lebih baik, bukan menyakiti. Banyak hukuman yang sifatnya edukasi tanpa menyakiti,” ucap Endang, seraya menambahkan bahwa ada juga cara-cara edukasi untuk kesalahan siswa tanpa hukuman.
Menurutnya, penerapan disiplin yang efektif bisa dilakukan dengan cara memberikan edukasi secara konsisten, bersifat humanis, siswa lebih diperkenalkan dengan konsekuensi dari perilaku, dan peraturan harus disosialisasikan pada siswa dengan jelas. Lebih dari sekadar ada edaran di atas kertas, kata Endang, siswa dan orang tua juga mesti memahami tentang peraturan dan pertimbangan dari peraturan itu bila diterapkan.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, satu suara. Ia sepakat soal penerapan lebih merata dan utama disiplin positif di sekolah-sekolah. Jadi, proses hukuman tidak lagi menggunakan hukuman fisik yang mengandung kekerasan, tetapi lebih pada memberikan penyadaran kepada anak-anak tentang memahami perkara yang dia sedang lakukan.
“Contoh misalnya ketika anak melanggar sebuah aturan, maka disiplin positif mengajarkan kita semua untuk memahami konsekuensi, apa konsekuensi jika kita melakukan sikap atau perbuatan yang dilarang. Kemudian juga yang kedua memberikan pemahaman secara mendalam dan kritis kepada anak-anak tentang apa yang sedang dilakukan itu,” ungkap dia ketika berbincang dengan Tirto, Senin (10/11/2025).
Ambil contoh perilaku merokok, ketika anak-anak itu dilarang, maka mereka perlu diberi pemahaman, diajak berdialog, dipancing nalar kritisnya, dan dipicu argumentasinya untuk mengetahui komposisi rokok dan dampak negatif dari perbuatan merokok.
“Jadi pembelajaran mendalam, penggunaan nalar kritis, pendekatan dialogis, itu menjadi kekuatan dari disiplin positif. Hukuman tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan fisik, tetapi mengajak anak-anak untuk memahami persoalan lebih mendalam, memahami konsekuensi, memahami dampak-dampak, memahami perbuatan yang sedang dilakukan itu, perbuatan apa dan apa konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan akibat perbuatan itu,” lanjut Ubaid.
Dia menekankan, hal ini tidak bisa dilakukan dengan sosialisasi sekali pertemuan atau workshop setahun sekali. Ini butuh pendalaman, pendampingan, evaluasi, dan monitoring yang bisa dilakukan setiap bulan secara berkelanjutan.
“Supaya bisa diimplementasikan yang pertama harus ada perubahan mental model di pemerintah. Jadi pemerintahan sering menyederhanakan masalah, 'game dilarang nanti kekerasan tidak ada', atau 'anak-anak dilarang bawa HP lalu kekerasan tidak ada'. Tidak sesimpel itu, karena itu harus ada perubahan mental model para pimpinan kita, baik di pusat maupun di daerah, juga kepala-kepala sekolah, pimpinan-pimpinan sekolah,” ujar Ubaid.
Kita perlu sepakat soal perubahan mental model dan jangan sampai ada paradigma bahwa ketika kepala daerah menerbitkan surat edaran, lalu masalah selesai, atau menteri menerbitkan Peraturan Menteri lalu masalah selesai.

Sebab, edukasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan perlu diimplementasikan secara disiplin dan terus-menerus. Ubaid menekankan, hal ini harus dilakukan secara sistematis, terstruktur dan berkelanjutan, dan itu semua butuh anggaran dana.
Perihal dana ini dianggap yang masih menjadi tantangan.
“Dan sampai saat ini nggak ada. Pemerintah punya kepikiran, baik di pusat maupun di daerah, mengalokasikan sejumlah anggaran secara strategis untuk pencegahan kekerasan ini. Itu yang kita sayangkan," tuturnya.
"Upaya apapun, kalau tanpa ada good will soal alokasi anggaran, ya itu ya omon-omon. Kita cegah kekerasan, tapi edukasi itu butuh bujet. Pendampingan anak korban kekerasan itu butuh bujet. Evaluasi yang reguler, yang berkualitas itu juga butuh bujet,” tambah Ubaid.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































