Menuju konten utama

Kepsek Tampar Siswa Tak Benar, tapi Siswa Merokok juga Dilarang

Dua kesalahan tidak membuat satu kebenaran kata pepatah. Tindakan murid dan kepala sekolah di kasus SMAN 1 Cimarga tidak dapat dibenarkan. 

Kepsek Tampar Siswa Tak Benar, tapi Siswa Merokok juga Dilarang
Pertemuan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, ibu Dini Fitri dengan Indra Lutfiana Putra, siswa yang sebelumnya sempat ada selisih di antara keduanya. (Instagram/@andrasoni12)

tirto.id - Insiden Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menampar seorang siswa karena kedapatan merokok memicu terjadinya aksi mogok belajar dari para murid. Orang tua korban juga membawa kasus ini ke ranah hukum dan kini kepala sekolah dinonaktifkan sementara.

Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Dini Fitria, mengaku penamparan ia lakukan atas rasa kecewanya kepada siswa. Ia bilang dirinya kecewa bukan karena sang murid merokok, melainkan lantaran tidak jujur. Meski sempat menegur dengan keras dan bahkan menampar pelan, Dini mengatakan tak ada pemukulan keras.

"Saya lihat dari jarak 20-30 meter ada asap rokok di tangan itu. Saya panggil dengan suara keras, karena jaraknya cukup jauh, anak itu langsung lari," kata Dini, seperti mengutip laporan tangselpos, Selasa (14/10/2025).

Sementara siswa yang menjadi korban penamparan, Indra Lutfiana Putra (17), menjelaskan bahwa saat ditegur karena merokok di sekitar lingkungan sekolah, ia sempat membuang rokok namun dituduh berbohong sehingga pemukulan terjadi.

Menurut Indra, ia awalnya nangkring di warung dekat sekolah sambil merokok. Ketika ketahuan, ia mengatakan sudah membuang puntung rokok, akan tetapi diminta mencari kembali oleh kepala sekolah.

“Enggak ketemu [puntung rokoknya], lalu kepsek bilang saya bohong. Terus beliau marah, nendang saya di punggung, terus nampol saya di pipi kanan. Kepsek juga bilang goblok, anjing, terus nyuruh saya nyari lagi rokoknya, padahal udah enggak ada,” ungkap Indra, mengutip laporan kumparan.

Dia menyebut bahwa perlakuan itu berlangsung di depan guru lain dan membuatnya merasa dipermalukan. Pengakuan inilah yang menjadi salah satu pemicu reaksi kuat dari para siswa dan orang tua.

Orang tua Indra yang tak terima anaknya ditampar, menyatakan bakal melaporkan kasus ini ke polisi. Alasan pengambilan langkah ini disebut bertujuan agar tidak ada tindakan semena-mena di dalam lingkungan sekolah.

Sampai proses pemeriksaan di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) selesai termasuk penentuan sanksi yang diberikan, pemerintah setempat juga menyatakan telah menonaktifkan sementara Kepsek SMAN 1 Cimarga.

Meski pada Rabu (15/10/2025), Gubernur Banten Andra Soni, mencabut penonaktifan Dini. Kepala Sekolah lama SMAN 1 Cimarga itu disebut akan kembali menjalankan tugas segera.

Keduanya Langgar Aturan

Seorang kepala sekolah menampar murid adalah bentuk kekerasan. Tetapi merokok di lingkungan sekolah juga melanggar aturan. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyebut bahwa tindakan keduanya tidak bisa dibenarkan dan dinormalisasi.

“Menurut kami, kekerasan di sekolah tidak bisa dibenarkan, begitupun merokok di lingkungan pendidikan. Jelas tidak boleh dinormalisasi, keduanya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Satriwan lewat keterangan tertulis, dikutip Tirto, Kamis (16/10/2025).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek 46/2023), Satriwan menegaskan bahwa tindakan kekerasan dilarang di lingkungan sekolah.

Pasal 5 aturan itu menyebut bahwa warga sekolah baik guru maupun murid tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Diterangkan dalam Pasal 6, bentuk kekerasan yang dimaksud terdiri atas kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.

“Sementara itu, perihal larangan merokok di sekolah juga sudah jelas larangannya. Merokok di tempat umum khususnya di fasilitas pendidikan seperti sekolah tegas dilarang berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023 pasal 151 dan PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan,” ungkap Satriwan.

Pasal 151 UU 17/2023 tentang Kesehatan itu merinci soal kawasan tanpa rokok, yang terdiri atas fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

Secara lebih spesifik, Kementerian Pendidikan juga menerbitkan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah. Dalam Pasal 5 ayat (1), disebut kalau "Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di lingkungan sekolah."

Lalu dalam pasal 5 ayat (2) dan (3) memberikan kewenangan bagi kepala sekolah memberi teguran, bahkan sanksi, kepada guru, murid, atau tenaga kependidikan yang merokok di lingkungan sekolah.

“Meskipun sekolah atau kepala sekolah berwenang memberi sanksi kepada peserta didik yang merokok, tidak boleh sanksi diberikan berupa kekerasan fisik karena sangat jelas dilarang oleh UU,” kata Satriwan.

Ia mengingatkan pada UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76C sudah dikatakan kalau setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

“Lazimnya sekolah-sekolah di Indonesia sudah memiliki Aturan Tata Tertib Sekolah dengan klasifikasi jenis-jenis pelanggaran dan tingkatan sanksi yang diberikan. Sanksi fisik seperti menampar murid rasanya tidak akan ada dalam aturan tata tertib sekolah di Indonesia,” ungkap Satriwan.

Pria yang juga guru di SMA Labschool Jakarta itu bilang, jika anak kedapatan membawa atau merokok di sekolah, biasanya akan dipanggil orang tua, diperingatkan, dibuat surat perjanjian, bahkan dalam kondisi tertentu siswa dapat dikeluarkan dari sekolah jika sudah melakukan pelanggaran kategori berat.

“Kami menyayangkan kepala sekolah bereaksi dengan dugaan sikap menampar murid tersebut. Meskipun berdasarkan pernyataan Bu Kepsek, bahwa beliau tidaklah menampar atau memukul dengan keras muka murid tersebut, sehingga berdarah atau luka lainnya, melainkan dengan pelan," katanya.

Pembinaan Karakter Harus Berlandas ‘Disiplin Positif’

Selaras dengan P2G, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga menegaskan kalau kekerasan di sekolah, apapun bentuknya, harus ditiadakan.

Guru dan orang tua tidak boleh menggunakan cara-cara dan pendekatan kekerasan dalam proses pendidikan. Baik sekolah, orang tua, maupun masyarakat harus dilibatkan dalam pencegahan kekerasan ini.

“Di level sekolah, kan wajib ada itu TPPK [Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan]. Jadi institusi ini harus diketahui oleh semua pihak dan dapat berperan dengan optimal. Kalau ada kasus di sekolah, bisa dirembuk bersama di TPPK dengan melibatkan semua pihak,” ungkap Ubaid saat dihubungi Tirto, Kamis (16/10/2025).

Header Kemensos II 142

Ilustrasi guru mengajar di Sekolah Rakyat. foto/Dok. Kemensos

Menurut dia, pola pembinaan karakter dan disiplin yang ideal di sekolah harus berlandaskan pada pendekatan; Disiplin Positif atau Positive Discipline, yang artinya mengedepankan pendidikan dan kesadaran diri alih-alih hukuman atau kekerasan.

Ubaid menerangkan, Disiplin Positif berfokus pada pengajaran, dorongan, dan pengembangan kontrol diri siswa, bukan pada hukuman yang menyakitkan atau memalukan. Salah satu prinsip utamanya adalah bersikap tegas dan ramah sekaligus (firm and kind). Ketegasan diperlukan untuk menetapkan batasan, tetapi harus disampaikan dengan kehangatan dan rasa hormat, membuat siswa merasa dihargai.

Selain itu, Disiplin Positif juga fokus pada solusi, bukan hukuman. Maka ketimbang bertanya "Siapa yang salah?" lebih baik bertanya "Apa yang akan kita lakukan untuk memperbaikinya?" dan melibatkan siswa dalam mencari solusi.

Terakhir yakni konsekuensinya logis dan alami. Hukuman diganti dengan konsekuensi yang logis dan terkait langsung dengan perbuatan.

“Contoh, jika merusak properti, konsekuensinya adalah memperbaiki atau mengganti kerugian (logis). Jika terlambat, konsekuensinya adalah melakukan tugas tambahan atau layanan sosial di sekolah, bukan hukuman fisik (edukatif),” kata Ubaid.

Meski Kepsek menyalahi aturan, proses mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah dalam kasus ini menjadi perhatian. Iman Zanatul Haeri selaku Kepala Bidang Advokasi Guru P2G mengatakan proses penanganan kekerasan seharusnya melewati tahapan tertentu.

Berdasarkan pasal 39 Permendikbudristek 46 Tahun 2023, disebutkan bahwa penanganan kekerasan oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah dilakukan dengan tahapan, pertama penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan, dan pemulihan.

Nah, apakah pencopotan jabatan kepala sekolah ini sudah melalui mekanisme seperti itu? Apakah hasil laporan Satgas dari Pemda melalui proses laporan, pemeriksaan dan rekomendasi pencopotan jabatan? Yang kami khawatirkan sanksi ini berdasarkan perasaan semata karena kasusnya viral,” ungkap Iman kepada Tirto, Kamis (16/10/2025).

Kekhawatiran itu dilandaskan pada tidak adanya laporan dan pernyataan dari Satgas TPPK yang seharusnya dibentuk oleh Pemda. P2G menilai, orang tua juga sangat berlebihan melaporkan kepala sekolah kepada aparat kepolisian.

“Menurut P2G berbagai regulasi mulai dari UU sampai aturan teknis sudah sangat lengkap mengatur mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam proses pendidikan di sekolah. Tinggal bagaimana sekolah dan orang tua punya kesadaran mendalam dalam melaksanakannya agar tujuan pendidikan tercapai,” kata Iman.

Oleh karenanya P2G mendesak Gubernur Banten untuk tidak terburu-buru melakukan pemberhentian kepala sekolah tersebut dan Pemprov Banten khususnya Dinas Pendidikan sebaiknya melakukan upaya dialog konstruktif bersama orang tua murid pelapor, kepala sekolah, dan guru.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto