tirto.id -
Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah gagal memberikan peringatan dini sebelum terjadi bencana. Untuk itu ia meminta agar Kepala BMKG mundur dan meminta maaf kepada publik.
"Menurut saya BMKG harus meminta maaf kepada masyarakat, kepada keluarga korban atas kelalaian BMKG untuk memberikan peringatan dini," kata Dosen Pascasarjana UGM Bagas Pujilaksono Widyakaningara saat ditemui di UGM Yogyakarta, Jumat (28/12/2018).
Bagas menyatakan, jika ia yang berada di posisi Kepala BMKG, maka ia akan berbesar hati untuk meminta maaf dan turun dari jabatannya.
"Kalau saya akan minta maaf dan turun dari Kepala BMKG sebagai pertanggungjawaban ketidakmampuan menjadi pejabat publik," kata Dosen yang ahli di bidang metalurgi ini.
Menurutnya, apa yang dilakukan BMKG pada dua peristiwa tsunami di Palu dan di Selat Sunda sangat memprihatikan. Pasalnya BMKG selalu terlambat dalam mendeteksi tsunami.
Padahal BMKG, kata dia, punya seismograf yang berfungsi baik dapat memberi informasi gempa tektonik 7,7 skala richter di episentrum di laut yang berpotensi tsunami di Palu.
"Bisa memberi peringatan bahaya tsunami. Tiba-tiba peringatan tersebut dicabut, justru malah tsunami datang," ujarnya.
Hal itu, kata Bagas, menandakan ada yang salah dengan BMKG. Ia pun menyoroti adanya kekacauan pada manajemen data di BMKG.
"Contoh riil adalah yang terjadi di Palu kemudian terulang kembali di Selat Sunda. Di mana BMKG tahu persis bahwa Gunung Krakatau ini sedang aktif luar bisa, erupsi luar biasa. Mestinya kalau dia [BMKG] menyadari tidak punya peralatan dia bisa mengasumsikan ini adalah potensi bahaya yang luar biasa," katanya.
Harusnya menurut Bagas, BMKG memberikan informasi pada publik di sekitar Krakatau untuk menjauh. Paling tidak ada informasi yang sifatnya memaksa bekerjasama dengan polisi atau pemerintah daerah untuk mengevakuasi warga dari bibir pantai.
"Ini kan tidak sama sekali [dilakukan] malah ada band yang nyanyi-nyanyi di pinggir pantai," kata dia.
Ditambah lagi saat peristiwa tsunami di Selat Sunda, BMKG malah menyatakan bahwa itu adalah gelombang pasang karena bulan purnama. Padahal peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Desember 2018, dan menurutnya bulan purnama maksimal hanya terjadi tanggal 15.
"Apa mungkin saat itu masih bulan purnama. Kalau bulan purnama tidak seperti itu. Airnya tidak seperti itu, cuma rob karena gravitasi bulan. Tidak seperti itu bulan purnama, energi kinetik gelombangnya tidak seperti itu. Itu tsunami," kata dia.
"Tapi BMKG di awal masih mengatakan sebagai gelombang pasang. Berarti apa? BMKG tidak paham betul yang terjadi," lanjutnya lagi.
Untuk itu, ia meminta agar manajemen BMKG dibenahi dan diganti dengan orang-orang yang memadai dan memiliki keahlian yang sesuai.
Ia pun sepakat jika BMKG melakukan perbaikan sistem instrumentasi. Namun dengan catatan fasilitas negara yang sudah ada harus dijaga dengan baik.
"Mereka [BMKG] bilang peralatan rusak sejak 2012, lalu dari 2012 sampai sekarang mereka ngapain aja," katanya.
Bagas menambahkan, selain persoalan manajerial, persoalan koordinasi juga menjadi masalah. Contohnya sesaat setelah kejadian tsunami Selat Sunda, BMKG malah melempar tanggung jawab ke Badan Geologi dengan alasan instansi tersebut yang berwenang melakukan pengamatan gunung api.
Karenanya, kata Bagas, perlu intervensi dari presiden untuk mensinergikan lembaga-lembaga strategis demi kepentingan nasional.
"Memang saya dengar di televisi, kepala BMKG mengatakan tidak ada komunikasi dengan Badan Geologi, tapi sebenarnya itu bagi saya mencoreng dirinya sendiri karena itu hal yang dapat dilakukan dengan mudah," pungkas Bagas.
Baca juga artikel terkait TSUNAMI SELAT SUNDA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi
tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno