Menuju konten utama

Di DPR, Jaksa Agung Paparkan Kesulitan Penyelesaian Kasus HAM Berat

Jaksa Agung berdalih belum adanya pengadilan ad hoc menjadi hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Di DPR, Jaksa Agung Paparkan Kesulitan Penyelesaian Kasus HAM Berat
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

tirto.id - Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menyampaikan sejumlah hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan salah satu hambatan itu yakni belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk memutus kasus-kasus tersebut.

"Penyelidikan yang dilakukan oleh komnas HAM sifatnya pro justisia sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk," kata Burhanuddin dalam rapat kerja perdana dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Selain itu, Burhanuddin juga berdalih kesulitan memperoleh alat bukti lantaran waktu kejadiannya sudah terlalu lama. Banyak alat bukti maupun saksi yang telah berpindah tempat sehingga menyulitkan pembuktian.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencapai kepastian hukum soal penanganan pelanggaran HAM berat, kata Burhanuddin yakni perlu ditinjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara.

"Lalu mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal," jelasnya.

Burhanuddin menuturkan ada 15 kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Dari 15 kasus itu, ia mengkalim tiga di antaranya sudah selesai yakni kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priuk 1984 dan peristiwa Abepura pada tahun 2000.

Sementara 12 perkara yang belum diselesaikan yaitu tragedi 1965, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa simpang KKA, peristiwa rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun Santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.

"Setelah UU nomor 26 tahun 2000 ada peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk dan peristiwa Paniai 2014," tambahnya.

Burhanuddin menyebut sebanyak enam berkas penyidikan pelanggaran HAM berat belum bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan karena tak memenuhi syarat formil dan materiel.

"Enam berkas penyelidikan peristiwa pelanggaran ham berat itu yakni peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965," tuturnya.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Gilang Ramadhan