Menuju konten utama

Di Balik Munculnya Isu Khilafah dalam Gerakan #GejayanMemanggil

Aksi #GejayanMemanggil tak ada sangkut pautnya dengan khilafah, apalagi PKS. Ini, berdasarkan analisis media sosial, resmi gerakan independen dan organik.

Di Balik Munculnya Isu Khilafah dalam Gerakan #GejayanMemanggil
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj.

tirto.id - Jalan Affandi atau yang juga dikenal dengan nama Jalan Gejayan, Yogyakarta, jadi lokasi ribuan mahasiswa berdemonstrasi menentang berbagai peraturan yang dianggap memukul mundur demokrasi, Senin (23/9/2019) kemarin. Gejayan dipilih karena ini merupakan situs bersejarah dalam gerakan reformasi 21 tahun silam.

Selain mengokupasi ruang publik, gerakan ini juga berjaya di media sosial. Tagar #GejayanMemanggil sempat jadi trending di Indonesia dengan total percakapan hingga 68 ribu cuitan, hingga artikel ini ditulis. Tagar kemudian berkembang menjadi #MosiTidakPercaya.

Mahasiswa yang berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, melayangkan Mosi tidak Percaya kepada legislatif.

Ditunggangi?

Aksi ini tidak serta-merta mulus. Di media sosial, aksi ini dituding ditunggangi 'barisan sakit hati' yang kalah dalam politik elektoral, baik pilpres atau pileg.

Sejumlah pihak, termasuk buzzer, melabeli #GejayanMemanggil sebagai gerakan "yang ditunggani kepentingan busuk" Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam berita yang dilansir dari Pojoksatu.id, aksi #GejayanMemanggil diklaim digembosi.

Koordinator aksi, Nailendra, menegaskan #GejayanMemanggil adalah "gerakan organik". Dia juga mengatakan, "aksi ini murni dari masyarakat, ada pelajar dan pekerja."

Sanggahan serupa diutarakan Rico Tude, Koordinator Umum Aliansi Rakyat Bergerak, yang mengorganisasi #GejayanMemanggil.

"Gerakan hari ini tak ada sangkut pautnya dengan kekuatan politik yang kami anggap politik lama, sisa-sisa orde baru, baik di kubu kampret maupun cebong," katanya saat aksi berlangsung.

Kampret dan cebong adalah sebutan bagi kelompok yang mendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo.

Pernyataan Nailendra dan Rico dipertegas oleh hasil analisis media sosial Drone Emprit and Media Kernels Indonesia. Pendiri Drone, Ismail Fahmi, menyimpulkan #GejayanMemanggil adalah gerakan independen. Di media sosial, gerakan ini dipropagandakan oleh para mahasiswa dan influencers.

Aksi #GejayanMemanggil tidak berafiliasi dengan kelompok pro-khilafah maupun anti-khilafah. Berdasarkan pembacaannya terhadap cuitan di media sosial, kelompok ini berada di cluster yang berbeda dengan para buzzer pro dan anti-khilafah yang selama ini sudah aktif di dunia maya.

"Ini satu cluster baru, satu energi baru yang muncul. [...] Jadi tudingan-tudingan itu (ditunggangi) enggak saya lihat," kata Fahmi kepada reporter Tirto, Senin (23/9/2019).

#GejayanMemanggil juga tidak, atau minimal belum, berafiliasi dengan partai politik. Buktinya para politikus belum terlibat dalam percakapan terkait #GejayanMemanggil. Ia juga tidak melihat ada buzzer Jokowi atau Prabowo yang memanfaatkan #GejayanMemanggil untuk kepentingannya sendiri.

Apa yang ramai di media sosial ini perlu direspons pemerintah, kata Ismail. Sebab, tidak seperti para buzzer yang hanya cerewet di media sosial, #GejayanMemanggil punya massa asli di dunia nyata.

"Suara mahasiswa ini juga suara keresahan banyak orang. Kalau seandainya diabaikan terus kemudian dihadapi dengan buzzer, yang timbul adalah ketidakpuasan. Ketidakpuasan terus menerus ini bisa menggerus kepercayaan terhadap pemerintah," simpul Ismail.

Gagal

Dosen komunikasi politik dari Universitas Jember M. Iqbal mengatakan isu-isu miring yang menyasar mahasiswa dalam #GejayanMemanggil adalah cara oknum meminimalkan peran serta kaum terdidik agar tidak ikut-ikutan bergerak.

"Kecenderungan mengkomodifikasi isu-isu tersebut harus diakui ampuh untuk membungkam hati nurani dan mengekspresikan pendapat," kata Iqbal kepada reporter Tirto.

Tapi ini hanya berlaku untuk masyarakat umum, tidak dengan mahasiswa, kata Iqbal. Aksi kemarin, hingga ramainya pembicaraan di media sosial lewat akun-akun organik--bukan robot, membuktikan mahasiswa masih peduli terhadap kondisi negara.

"Desakan, terutama untuk menolak pengesahan RKUHP, RUU Pertanahan, dan revisi UU KPK, semua itu kesadaran kolektif mahasiswa. Mereka menilai reformasi sudah berjalan keluar jalur," tegasnya.

"Maka bisa dipahami jika mosi tidak percaya berujung tumpah ruahnya mahasiswa di jalanan," Iqbal memungkasi.

Baca juga artikel terkait AKSI GEJAYAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino