tirto.id - Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mencatat terdapat 2.696 kasus konfirmasi positif baru pada 1 November 2020. Angka ini jadi yang paling rendah sejak September. Sebagai gambaran, pada 1 September lalu ditemukan 2.743 kasus baru, dan pada 25 September masih 4.823 kasus.
Memang ada tren penurunan kasus sejak akhir Oktober. Pada 22 Oktober terdapat 4.432 kasus baru, lalu 25 Oktober turun jadi 3.732, dan keesokan harinya turun lagi jadi 3.222. Bahkan pada 30 Oktober 'hanya' terdapat 2.897 kasus baru.
Sekilas perkembangan itu tampak menggembirakan.
Namun, jika ditelaah lebih dalam, jumlah orang yang dites COVID-19 juga menurun. Pada 1 November, tes hanya dilakukan terhadap 17.971 orang. Ini angka terendah sejak 9 September--pada hari itu tes dilakukan terhadap 15.335 orang. Pada Jumat 23 Oktober dilakukan tes terhadap 23.278 orang, Senin 26 Oktober 19.038 orang, dan Minggu 25 Oktober 18.992 orang.
Jumlah tes ini jauh di bawah kapasitas rata-rata pada pertengahan Oktober. Sepanjang Senin 12 Oktober hingga Minggu 18 Oktober digelar tes sebanyak 222.786 atau rata-rata 31.827 tes per hari.
Apa yang terjadi, ringkasnya, seperti disimpulkan epidemiolog dari National Institute for Health Research Masdalina Pane, kasus konfirmasi positif harian terus turun bukan karena pandemi mulai bisa ditangani, tapi "karena testing kita rendah". Dengan demikian, data-data kasus positif yang tampak melandai, katanya kepada Tirto, Senin (2/10/2020), "bias."
Dengan semakin sedikitnya jumlah tes, memang angka di atas kertas akan tampak baik, tetapi di luar itu penularan terus terjadi. Akhirnya, angka yang melejit adalah tingkat kematian akibat kasus yang terlambat ditangani.
Untuk mencegah itu terjadi, kapasitas tes harus segera dikembalikan dan ditingkatkan sesuai standar organisasi kesehatan dunia (WHO), yakni 1.000 orang per 1 juta orang penduduk per pekan. Hal itu makin urgen lantaran selepas libur panjang ada kecenderungan penularan akan masif karena mobilitas masyarakat meningkat.
Jika kapasitas tes tidak ditingkatkan, ia pesimistis seluruh kasus yang terjadi akibat libur panjang maulid Nabi Muhammad saw akan dapat ditemukan dan rantai penularan dapat dihentikan.
Kenapa?
Pelaksana Tugas Dirjen Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kementerian Kesehatan Budi Hidayat buka suara mengapa angka tes harian yang tadinya bisa mencapai 40 ribu tiba-tiba anjlok menjadi 17 ribu. Menurutnya, jumlah suspek pun menurun karena berbagai indikator situasi COVID-19 di pelbagai daerah semakin positif. Karena jumlah suspek menurun, maka jumlah tes juga ikut turun.
"Ini kan habis libur. Kita lihat hari ini sama besok, kalau memang tidak terlalu tinggi berarti memang benar saat ini situasinya lebih baik daripada dua minggu lalu," kata Budi kepada reporter Tirto, Senin.
Dia membantah turunnya tes itu diakibatkan pada alat tes dan reagen yang semakin berkurang atau laboratorium yang tidak beroperasi karena libur. "Kalau reagen, alat, semua standby," ujarnya.
Mouhammad Bigwanto, epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka mengatakan tes COVID-19 itu pasif. Artinya, tes hanya dilakukan terhadap orang yang bergejala atau kontak erat yang bergejala. Bertolak belakang dengan itu adalah active case finding yang menggelar tes secara masif untuk menemukan kasus sebanyak-banyaknya. Akibatnya, ketika jumlah kasus harian menurun, maka jumlah tes juga akan menurun.
Namun, Bigwanto meragukan klaim bahwa suspek berkurang. Pasalnya, tidak ada pembatasan aktivitas secara ketat berkonsekuensi terhadap kontak erat dari setiap kasus yang pasti akan tinggi. Di sisi lain, tracing kasus positif masih belum tampak tajinya. Selain itu, orang yang menjadi kontak erat juga enggan mengajukan diri karena takut stigmatisasi.
"Pasti ada gunung es, tetap saja. Dari dulu memang begitu," kata Bigwanto.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito pun membantah klaim Budi. Menurutnya, turunnya jumlah tes secara drastis itu diakibatkan oleh sejumlah faktor, antara lain jumlah titik testing yang luas dan kapasitas laboratorium yang terbatas.
Saat ini terdapat 426 laboratorium yang melayani tes PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM) di Indonesia, dan itu tidak tersebar merata di 502 kota/kabupaten terdampak COVID-19.
Kondisi itu diperparah dengan keterbatasan reagen dan sumber daya manusia.
"Hal ini menjadi bahan evaluasi bersama bagi pemerintah untuk tetap memasifkan upaya testing maupun tracing kembali baik dengan memperbanyak jumlah lab maupun kualitas laboratorium," kata Wiku kepada reporter Tirto, Senin.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino