Menuju konten utama

Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional: Harapan atau Sekadar Gimik?

DKBN pada dasarnya dapat jadi langkah positif asalkan dibarengi dengan kewenangan yang kuat dan jelas.

Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional: Harapan atau Sekadar Gimik?
Ilustrasi Hari Buruh. foto/istockphoto

tirto.id - Wacana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) sebagai nomenklatur baru setara dengan kementerian/lembaga kembali mencuat ke permukaan usai Presiden Prabowo Subianto menerima sejumlah perwakilan serikat pekerja di Istana Negara pada Senin (1/9/2025).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, yang hadir dalam pertemuan tersebut secara tersirat menyebut bahwa Presiden Prabowo pada saatnya akan mengumumkan langsung pembentukan calon lembaga baru tersebut.

"Menunggu Bapak Presiden yang akan mengumumkan langsung. Dewan Kesejahteraan Perlindungan [Buruh--red] Nasional yang membentuk Satgas PHK nantinya. Jadi, bukan diumumkan ada dua, Dewan Kesejahteraan Perlindungan Nasional yang membentuk Satgas PHK itu sendiri," kata Andi Gani dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin malam, dikutip dari Antara.

Andi menyebut akan ada enam tokoh buruh yang masuk dalam struktur DBKN. Meski demikian, Gani bersama Presiden Partai Buruh sekaligus Ketua KSPI, Said Iqbal, menegaskan bahwa mereka tidak bersedia menduduki posisi pejabat tinggi negara setingkat menteri.

Andi mengusulkan DKBN sebaiknya dibentuk sebagai forum yang memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dengan para menteri, bukan sebagai lembaga dengan struktur setara kementerian.

“Saya mendengar, mau diangkat setingkat menteri. Kami tidak mencari jabatan, jadi tegas kami bersedia masuk Dewan Kesejahteraan Perlindungan Nasional, tetapi tidak mau jadi pejabat tinggi negara, cukup kami berbakti kepada negara, tidak perlu digaji. Jadi, semacam forum saja," katanya.

Sementara itu, Said Iqbal menambahkan bahwa para pimpinan serikat buruh bisa menjadi penasihat dalam DKBN, tapi tidak sebagai pejabat negara. Dia mengungkap pembentukan dan struktur DKBN akan diumumkan oleh Presiden Prabowo paling lama dalam dua pekan mendatang.

Presiden Prabowo Subianto hadiri perayaan Hari Buruh Internasional

Presiden Prabowo Subianto melempar topi usai menyampaikan pidatonya pada perayaan Hari Buruh Internasional 2025 di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Dalam pidatonya Prabowo menyampaikan akan membentuk Satgas PHK, meloloskan RUU perlindungan pekerja rumah tangga, serta berusaha memberantas korupsi di Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.

Keputusan Presiden (Keppres) sebagai payung hukum yang mengatur kelembagaan DKBN pun sudah ditandatangani oleh Presiden Prabowo.

"Struktur DKBN-nya sudah ditandatangani oleh Presiden dalam bentuk Keppres. Siapa yang mengisinya, belum [ditentukan]. Mungkin tadi perkiraan seminggu dua minggu ini [diumumkan],” kata Said.

Wacana pembentukan DKBN memang bukan barang baru. Saat peringatan Hari Buruh (May Day) tahun ini, Prabowo sendiri menjanjikan akan membentuk DKBN sebagai bentuk hadiah kepada seluruh buruh di Indonesia. Dia menyebut DKBN akan diisi oleh pemimpin serikat, konfederasi, dan organisasi buruh seluruh Indonesia.

"Saudara-Saudara sekalian, saya ingin memberi hadiah kepada kaum buruh pada hari ini. Saya akan membentuk segera Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan terdiri dari semua tokoh-tokoh pimpinan buruh seluruh Indonesia dan mereka tugasnya adalah mempelajari keadaan buruh dan memberi nasihat kepada presiden, mana undang-undang yang enggak beres," kata Prabowo.

Prabowo berjanji akan mendengarkan dengan seksama saran dari pimpinan organisasi buruh tersebut apabila sudah menjadi satu dalam DKBN.

"Dan kami akan segera perbaiki saran dari Saudara-Saudara sekalian," kata Prabowo.

Bagaimana Tanggapan Pakar dan Perwakilan Buruh Terkait Pembentukan DKBN?

Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai pembentukan lembaga perburuhan setingkat kementerian seperti DKBN bukanlah langkah yang mendesak. Menurutnya, hal yang lebih dibutuhkan buruh saat ini adalah strategi besar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

“Yang buruh butuhkan bukan pembentukan dewan buruh, melainkan reformasi birokrasi yang serius, plus extra effort reformasi hukum dan politik. Kualitas institusi, perampingan birokrasi dan pemberantasan korupsi adalah strategi terbaik untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” ujar Yusuf saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).

Lebih lanjut, Yusuf menyoroti pentingnya strategi pembangunan yang berorientasi pada reindustrialisasi dan peningkatan investasi sebagai jalan utama untuk menaikkan taraf hidup pekerja. Dalam pandangannya, hanya dengan transformasi struktural semacam inilah buruh dapat merasakan perbaikan nyata dalam kesejahteraannya.

“Hanya dengan industrialisasi dan bonus demografi yang berkualitas saja perekonomian Indonesia akan terakselerasi menuju negara berpenghasilan tinggi, keluar dari middle income trap. Bukan dengan pembentukan dewan buruh,” ujarnya.

Terpisah, ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) merupakan kebijakan yang terkesan spontan dan responsif, tapi belum tentu merupakan solusi yang tepat secara substansi.

“Apa yang dilakukan Prabowo terkesan spontan dan responsif, tetapi bisa jadi bukan merupakan solusi terbaik. Dasar teknokrasi keputusan ini juga belum diungkapkan,” ujar Wijayanto saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).

Wijayanto menilai bahwa pembentukan instansi baru justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih kebijakan, serta menambah beban biaya birokrasi yang tidak kecil. Hal ini, menurutnya, bertolak belakang dengan narasi efisiensi dan penghematan anggaran yang selama ini digaungkan pemerintah.

Aksi Hari Buruh di DPR

Pengunjuk rasa dari berbagai elemen buruh membawa poster saat aksi memperingati Hari Buruh Internasional di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/5/2025). ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/tom.

“Membentuk instansi baru bisa jadi membuat kebijakan makin tumpang tindih, belum lagi biaya tambahan yang dikeluarkan justru kontraproduktif dengan narasi penghematan yang selama ini disampaikan Presiden. Ini juga berseberangan dengan tren pemerintahan modern yg mendorong debirokratisasi dan deregulasi,” katanya.

Dia menambahkan bahwa jika tujuannya adalah memperkuat perlindungan dan kesejahteraan buruh, sebenarnya tidak perlu membentuk lembaga baru setingkat kementerian. Fungsi tersebut, kata Wijayanto, bisa saja dijalankan melalui satgas yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

“Peran itu bisa dalam bentuk satgas saja di bawah Kemenko Perekonomian. Isinya perwakilan buruh, pengamat, akademisi, unsur pemerintah. Cukup dibentuk satgas lintas sektoral yang berisi perwakilan buruh, pengamat, akademisi, dan unsur pemerintah. Tidak perlu menambah struktur birokrasi baru,” pungkasnya.

Kewenangan DKBN Harus Jelas

Pandangan berbeda datang dari Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Dia menilai bahwa rencana pembentukan DKBN pada dasarnya dapat menjadi langkah positif asalkan dibarengi dengan kewenangan yang kuat dan jelas.

“Iya [DKBN] perlu, tapi kita tunggu apa kewenangannya. Kalau bisa membuat regulasi teknis setara Peraturan Menteri, bagus sekali. Sebaliknya, jika hanya forum layaknya Dewan Energi Nasional, maka tidak banyak manfaatnya,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (3/9/2025).

Senada, Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UGM, Nabiyla Risfa Izzati, menilai bahwa tanpa kejelasan tugas, fungsi, kewenangan, serta representasi dari berbagai elemen serikat buruh, sulit berharap DKBN dapat membawa perubahan signifikan dalam advokasi kebijakan kesejahteraan buruh.

“Apakah akan complimentary dengan lembaga-lembaga yang sudah ada sekarang, misalnya,Kementerian Tenaga Kerja, Dewan Pengupahan, Forum Tripartit Nasional, atau justru mengulang tupoksi dan akan tumpang tindih?” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (3/9/2025).

Meski demikian, Bhima menyatakan sikapnya terkait pembentukan DKBN masih ambivalen. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kejelasan mengenai tugas pokok, fungsi, dan kewenangan dari dewan yang direncanakan tersebut.

Beri Perhatian pada Buruh Informal

Sejumlah pihak menekankan pentingnya representasi yang inklusif dalam rencana pembentukan DKBN, terutama dalam mengakomodasi suara buruh dari sektor-sektor yang selama ini kurang terwakili.

Nabiyla dari FH UGM menyatakan bahwa jika DKBN benar-benar dibentuk, perhatian khusus seharusnya diberikan kepada buruh sektor informal yang hingga kini masih mengalami keterbatasan perlindungan hukum secara sistemik.

"Utamanya buruh sektor informal yang selama ini masih sangat minim perlindungan hukumnya," ujarnya.

Senada dengan itu, Bhima dari CELIOS juga menekankan bahwa struktur keanggotaan DKBN harus inklusif. Dia menyarankan agar dewan ini tidak hanya diisi oleh perwakilan serikat pekerja formal, tetapi juga melibatkan pekerja dari sektor informal, di antaranya pengemudi ojek daring (ojol), serta pekerja lepas (freelance). Pasalnya, kelompok ini kerap terpinggirkan dalam pembuatan kebijakan ketenagakerjaan.

“Selain itu, susunan dewan buruh harus inklusif, meliputi serikat pekerja formal, pekerja informal, dan mitra ojol atau pekerja freelance,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Ikhsan Rahardjo. Dia menilai DKBN seharusnya tidak hanya mewakili kepentingan buruh formal di sektor-sektor mapan, seperti manufaktur, ritel, dan pertambangan, tetapi juga mampu mengakomodasi pekerja di sektor-sektor baru yang sedang berkembang, seperti sektor kreatif dan ekonomi digital.

“Harapannya dari ruang tersebut, kepentingan teman-teman yang selama ini belum didengar oleh negara bisa diakomodir. Karena, yang dikatakan buruh gak hanya ada di manufaktur, gak hanya di pabrik, tapi seluruh orang, setiap orang yang menerima upah itu adalah buruh atau pekerja. Jadi, harus mampu mengakomodir itu semua,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (4/9/2025).

Ikhsan juga menyoroti bahwa regulasi ketenagakerjaan yang ada masih cenderung berpihak pada sektor formal dan konvensional, sementara pekerja informal dan sektor baru belum terakomodasi secara memadai. Karena itu, DKBN perlu dirancang agar dapat menjadi wadah bagi seluruh jenis pekerja, termasuk pekerja platform digital, seperti pengemudi ojek daring yang karakter pekerjaannya tersebar dan tidak terpusat.

“Perlu ada representasi dari kelompok pekerja yang informal, kelompok pekerja yang selama ini belum bisa diwakili suaranya dalam forum-forum tripartit nasional,” ujanya.

Penyaluran BLT bagi pekerja rokok

Sejumlah pekerja rokok memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kudus, Jawa Tengah, Senin (24/3/2025). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/Spt.

Dewan Buruh Jangan Jadi Musuh Pengusaha

Center for Strategic and International Studies (CSIS) mewanti-wanti pemerintah agar tidak menjadikan DKBN sebagai musuh para pengusaha. Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, menanggapi rencana pembentukan DKBN.

"Saat ini, banyak kebijakan-kebijakan yang cenderung menganggap bahwa dunia usaha ini sebagai salah satu sumber permasalahan. Padahal, kita ketahui dunia usaha itu adalah pihak yang membuat lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan itu tidak diciptakan oleh pemerintah, tetapi oleh dunia usaha," katanya dalam acara “Wake Up Call dari Jalanan: Ujian Demokrasi dan Ekonomi Kita” di Jakarta, Selasa (2/9/2025).

Upah Minimum Regional (UMR) di berbagai daerah di Indonesia memang tergolong cukup rendah. Namun, hal ini tidak bisa semata-mata hanya menyalahkan dunia usaha saja.

Upah rendah, kata Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, terjadi karena produktivitas di Indonesia juga masih sangat rendah. Sementara itu, produktivitas rendah salah satunya didorong oleh surplus tenaga kerja yang sampai saat ini belum mampu diatasi Indonesia.

"Bahwa tenaga kerja kita itu terlalu banyak, kita punya surplus tenaga kerja yang besar. Yang bersedia misalnya upahnya rendah pun dia masuk. Kalau kita misalnya naikkan upah minimum lebih tinggi, yang ada adalah banyak tenaga kerja ini yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Karena produktivitasnya kan tidak sama," ujar Deni.

"Sehingga tadi, hal pembentukan Dewan Buruh baik, tapi juga harus melihat realitas bahwa begini loh struktur perekonomian kita. Dan nggak bisa sekedar misalnya, oke demi kesejahteraan buruh, upahnya dinaikkan setinggi-tingginya. Demi kesejahteraan buruh, perlindungan sosial dan segala macam, yang misalnya itu nanti membebani pelaku usaha," tambah Deni.

Baca juga artikel terkait BURUH atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi