tirto.id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengungkapkan, terdapat seorang anak yang terpaksa harus ganti kornea mata dari donor akibat pencemaran abu batu bara di Marunda, Jakarta Utara.
Hal tersebut bermula pada 2019, ketika sang anak yang kerap bermain di RPTRA mengaku matanya sakit dan terus mengeluarkan air.
Anak tersebut mengucek matanya karena gatal dan diduga kuat disebabkan oleh partikel halus dari abu batu bara. Singkat cerita, mata sang anak mulai mengeluarkan nanah yang berpadu dengan air.
Akhirnya, anak tersebut dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk menerima perawatan. Dia melakukan perawatan dalam jangka lumayan panjang, sampai akhirnya dokter menyatakan matanya sudah rusak total dan harus donor mata.
"Baru pada tahun 2021, si anak mendapatkan donor mata. Si ibu awalnya tidak yakin kalau si anak mengalami kerusakan mata akibat abu batu bara, namun lama-kelamaan si ibu yakin bahwa hal itu karena terpapar abu batu bara di lingkungan tempat tinggalnya," kata Retno melalui keterangan tertulisnya, Senin (14/3/2022)
Ia menjelaskan, salah seorang petugas RPTRA Rusun Marunda juga menyampaikan bahwa setiap hari mereka harus menyapu lantai RPTRA dan membersihan mainan anak-anak di halaman karena abu batu bara yang cukup banyak. Tempat bermain anak yang seharusnya nyaman malah menjadi ruang yang tidak aman bagi anak.
“Kisah-kisah yang disampaikan warga menunjukkan bahwa pencemaran batu bara ini nyata dan sudah level membahayakan kesehatan warga Rusun Marunda. Apalagi derita anak-anak yang terdapak dari pencemaran ini,” ucapnya.
Selain itu, Retno menceritakan ada satu keluarga yang mengalami penyakit kulit di sekujur tubuhnya diduga akibat terpapar abu batu bara tersebut.
Mereka sudah berobat di klinik terdekat yang sekali penanganan bisa menghabiskan biaya Rp300 ribu. Saat pertemuan, salah satu anak dibawa dan terlihat terus menggaruk tubuhnya akibat rasa gatal berlebih.
“Dengan mata berkaca-kaca dan suara serak, sang ayah menceritakan bahwa anak-anaknya menjadi tidak nyenyak tidur pada malam hari karena rasa gatal yang tidak tertahankan, bahkan sang anak pernah berkata sudah tidak kuat lagi," terang Retno.
Lalu, seorang ibu dari empat orang anak yang di antaranya ada yang berkebutuhan khusus (autis) dan sensitif dengan udara kotor terpaksa dititipkan kepada neneknya. Si ibu juga mengatakan bahwa saat memasak, makanan juga sudah terkontaminasi dengan abu batu bara.
Dikarenakan banyaknya anak-anak yang terdampak, KPAI akan menindaklanjuti laporan warga Rusun Marunda ke Pemprov DKI Jakarta, karena penyelesaiannya harus melibatkan dinas terkait, mulai dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Dinas Pendidikan, bahkan Kementerian Lingkungan Hidup.
KPAI, kata Retno, sudah berkoordinasi dengan Bagus Ahmad, Direktur WALHI Jakarta untuk melakukan advokasi sesuai kewenangannya. KPAI juga akan berkoordinasi dengan JATAM dan LBH Jakarta jika warga memerlukan pendampingan hukum atas kerugian dari pencemaran yang timbul dan berdampak pada mereka.
Kemudian KPAI mendorong DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pengawasan ke lapangan sekaligus memanggil pemerintah dan juga perusahaan pencemar untuk dimintai penjelasan.
Lalu, KPAI mendorong perlunya pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup untuk melakukan investigasi Amdal dan dampak-dampak pencemaran terhadap lingkungan Rusun Marunda.
"KPAI juga mendorong pelibatan laboratorium yang independen untuk melakukan uji laboratorium pada air dan tanah warga, serta uji medis terkait dampak kesehatan yang dirasakan warga, termasuk anak-anak," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Fahreza Rizky