Menuju konten utama

Dengan Pengolahan Tepat, Herbal Bisa Atasi Demam-Batuk pada Anak

Konsumsi obat herbal harus berdasar dosis dan pengolahan tepat, atau ia justru bisa memicu penyakit lain, bahkan kematian.

Dengan Pengolahan Tepat, Herbal Bisa Atasi Demam-Batuk pada Anak
Header diajeng Herbal Anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Pernah dengar anggapan—atau termasuk yang percaya—bahwa obat herbal lebih baik dari obat kimia? Atau pernah dengar klaim obat herbal tak punya efek samping dan lebih berkhasiat jika dikonsumsi dalam dosis tinggi?

Jangan buru-buru percaya.

Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Ingrid Tani menjelaskan soal serba-serbi obat tradisional dan herbal alternatif pengganti obat batuk serta penurun panas pabrikan.

“Rata-rata herbal memang aman, tapi yang segar, bukan pabrikan,” ujar Inggrid.

Sama seperti obat pabrikan, konsumsi obat herbal pun punya aturan. Ini bukan perkara sembarangan. Pasalnya, tak semua obat yang diklaim “herbal” bisa jadi alternatif bagi obat pabrikan. Oleh karenanya, kita perlu berhati-hati memilih herbal untuk dikonsumsi.

Header diajeng Herbal Anak

Header diajeng Herbal Anak. (FOTO/iStockphoto)

Menurutnya, ketika herbal dibuat secara massal, akan ada tambahan pengawet agar produk bisa dipasarkan dalam hitungan bulan atau tahun.

Herbal segar tanpa tambahan bahan kimia aktif cenderung lebih aman asal diolah dengan benar dan higienis.

Mengolah dengan benar, itulah kuncinya. Alih-alih menyembuhkan, herbal segar tanpa pengolahan tepat malah berbalik jadi racun. Dokter yang menekuni riset herbal ini memberi contoh pada kasus herbal saga.

Daun saga berkhasiat sebagai obat batuk dan sariawan, tapi biji saga mengandung zat abrin yang beracun dan bisa sebabkan kematian.

“Makanya BPOM melarang biji saga,” kata Inggrid. Larangan biji saga sebagai bahan baku dalam pangan olahan tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 7 Tahun 2018 (PDF).

Ada lagi Ephedra, tanaman sejenis semak dari Asia Tengah dan Mongolia, yang disebut berkhasiat mengatasi pilek dan demam. Riset kemudian mengungkap bahwa tanaman ini ternyata berkaitan dengan masalah jantung serta risiko kematian.

Riset terkait herbal-herbal berbahaya telah jamak, tapi hingga kini banyak orang masih percaya bahwa hal-hal berbau alam atau herbal lebih sehat ketimbang sintetis. National Center for Complementary and Integrative Health (NCCIH) mengungkapkan preferensi tersebut muncul dengan melibatkan serangkaian ide, termasuk keyakinan, bahwa alam itu murni dan lebih unggul daripada produk buatan manusia.

Kepercayaan ini kemudian memengaruhi keputusan kesehatan menjadi bias terhadap produk herbal. Padahal, tidak semua produk herbal terbukti efektif. Malah setelah diteliti, beberapa herbal ternyata nihil manfaat.

Seperti Echinacea yang tidak bisa melawan flu, Ginkgo faktanya tidak membantu mencegah atau memperlambat demensia, atau St. John Wort yang tidak menyembuhkan depresi berat.

Konsultasi Sebelum Konsumsi

Header diajeng Herbal Anak

Header diajeng Herbal Anak. (FOTO/iStockphoto)

Menyoal herbal alternatif untuk obat batuk dan demam, Inggrid mengusulkan madu, bawang, jahe, serta susu kunyit sebagai ramuan penawar. Sirop madu, bawang, dan jahe untuk batuk-pilek pada anak umur 1-2 tahun cukup dikonsumsi 1 sendok teh (5 ml) sebanyak 3 kali sehari.

Cara membuatnya cukup dengan mencampurkan bawang merah dan bawang putih cincang (masing-masing 1 siung) serta 10 gram jahe cincang ke dalam botol berisi 30 ml madu murni. Kemudian, beri perasan jeruk nipis sebanyak 1/2 buah.

Campurkan ramuan tersebut dengan mengocok botol lalu diamkan dalam suhu kamar selama 8 jam agar sirop memiliki konsistensi encer. Sirop siap dikonsumsi ketika sudah disaring. Ramuan ini juga bisa disimpan hingga 2-3 hari dalam penyimpanan suhu dingin.

Sementara untuk bayi umur 6 bulan, Inggrid menyarankan herbal susu kunyit dengan dosis 3 kali sehari. Ramuannya terdiri dari 1/8 hingga 1/4 sendok teh kunyit bubuk yang dicampur dengan ASI atau susu formula. Pada anak yang sehat, kedua ramuan tadi dapat dikonsumsi 1 kali sehari untuk menjaga imun.

"Ramuan ini bisa dikonsumsi sebelum atau sesudah makan. Tidak saklek seperti obat pabrikan," terang Inggrid.

Madu, bawang, jahe, dan kunyit merupakan contoh herbal yang sudah terkonfirmasi sebagai antioksidan, imunomodulator (penguat daya tahan tubuh), antiinflamasi (anti radang), antipiretik (penurun demam), antitusif (penekan refleks batuk), mukolitik (pengencer dahak), dekongestan (pelega kongesti hidung), dan antialergi yang ringan pada anak.

Herbal segar yang telah diolah dengan tepat sangat jarang memiliki efek samping. Jika obat pabrikan bisa membikin alergi, kasus alergi terhadap bahan herbal tersebut amat jarang. Jangkauan keamanan pada herbal pun lebih luas, tidak seperti obat pabrik yang memiliki konsentrat aktif sehingga takarannya harus presisi.

“Jadi, takaran herbal itu lebih atau kurang sedikit masih oke. Cuma yang kita anjurkan adalah takaran paling aman,” lanjut Inggrid.

Misal ketika takaran jahe lebih banyak, pada beberapa orang akan terasa pedas dan bisa memicu diare jika sensitif. Karenanya, Inggrid menyarankan konsultasikan dengan dokter terlebih dulu sebelum mengonsumsi herbal. Bukan asal konsumsi seperti yang selama ini lazim dilakukan masyarakat, apalagi berdasarkan testimoni dari media sosial.

Masyarakat tak perlu khawatir mendiskusikan obat-obatan alternatif ini pada tenaga kesehatan profesional. Sebab, saat ini sudah banyak dokter yang menempuh spesialisasi ilmu kesehatan tradisional. Bahkan, di Amerika Serikat ada 75 sekolah kedokteran—dari 117 sekolah kedokteran—yang menawarkan kursus pengobatan alternatif.

“Herbal segar (dengan olahan tepat) juga bisa digunakan dalam jangka panjang, bagus untuk memelihara kesehatan,” pungkas Inggrid.

Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait OBAT HERBAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang