tirto.id - Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan membatalkan rencana aksi demonstrasi bertajuk Indonesia C(emas) Jilid II. Gerakan mahasiswa itu mulanya dijadwalkan pada Selasa (2 September 2025). Aksi sebelumnya juga sempat ditunda pada 1 September karena kondisi Jakarta yang tidak kondusif akibat gelombang kerusuhan.
Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan, Muhammad Ikram, mengatakan bahwa pembatalan dilakukan demi menghindari kekacauan lebih lanjut dan mencari waktu yang tepat agar aspirasi bisa disampaikan secara damai. Aksi tersebut awalnya akan membawa 11 tuntutan, termasuk evaluasi Inpres 1/2025 tentang efisiensi belanja negara, penolakan revisi UU Minerba dan dwifungsi TNI, serta desakan pengesahan UU Perampasan Aset.
"Melihat kondisi di wilayah Jakarta dan beberapa daerah yang semakin abstrak dan tidak kondusif karena banyaknya kerusuhan, itu adalah tindakan yang jauh dari harapan kami," kata Ikram dalam keterangannya, Selasa (2/9/2025).
Sebelumnya, di media sosial juga beredar seruan untuk menunda aksi demonstrasi yang rencananya akan digelar dalam beberapa hari terakhir. Musababnya, situasi di di sejumlah kota yang tak lagi kondusif. Aksi demonstrasi yang berlangsung dalam di beberapa titik berubah menjadi kerusuhan dengan pembakaran gedung, fasilitas umum, hingga penjarahan.
Massa yang berasal dari gerakan masyarakat sipil organik juga turut mewaspadai adanya penyusup dan provokator. Mereka mengendus potensi penyusup melakukan agenda setting sementara provokator membuat demonstrasi menjadi anarkis.
Apalagi Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan perintah kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Mereka diberi lampu hijau mengambil langkah tegas menghadapi aksi anarkis yang terjadi di sejumlah daerah.
Analis sosio-politik dari Helios Strategic Institute Musfi Romdoni menilai, keputusan sebagian kelompok masyarakat sipil untuk menahan diri dan tidak dulu turun ke jalan sebagai langkah strategis. Hal ini merujuk pada situasi dan kondisi beberapa waktu belakangan. Ia menyebut banyak kelompok di luar masyarakat sipil yang ingin menunggangi aksi tersebut dengan bermacam alasan.
“Di situasi ini kenapa ditungganginya? Karena presiden itu punya kecenderungan, dia tidak nyaman dengan demonstrasi. Dan itu bisa kita baca dari statemennya di publik. Nah, ini yang kemudian coba digunakan sebagai bargain lah oleh pihak-pihak tertentu untuk menunggangi aksi organik dari masyarakat sipil,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (3/9/2025).
Ramai Ajakan Demonstrasi Palsu
Seiring dengan gerakan sipil organik yang tengah menahan diri untuk menggelar unjuk rasa, belakangan tersebar di media sosial adanya ajakan aksi demonstrasi palsu. Muncul dugaan adanya pengerahan massa yang disisipi pesan provokasi.
Ajakan tersebut disinyalir disusupi pesan-pesan provokatif dan disebarkan melalui berbagai bentuk, mulai dari pesan berantai hingga poster-poster digital yang tersebar luas. Di aplikasi WhatsApp misalnya, sempat muncul ajakan demonstrasi yang beredar di sejumlah grup (WAG), dengan menyebut adanya aksi di beberapa titik.
Salah satu pesan berantai yang cukup banyak tersebar menyebutkan akan ada aksi demonstrasi besar di Kota Bogor. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pakuan dan Kelompok Kolektif Anarko dengan slogan “Reformasi Birokrasi” disebut sebagai kelompok penyelenggara.
Menariknya, dalam pesan berantai yang tersebar, disebutkan bahwa tujuan dari aksi demonstrasi tersebut adalah untuk melumpuhkan arus lalu lintas dan perekonomian di Kota Bogor.
Aksi itu juga dikaitkan dengan gerakan anarko di Kota Bogor, yang disebut sebagai bentuk perlawanan melalui "Okupansi Ruang Publik". Tak hanya itu, narasi dalam pesan tersebut bahkan menyebut bahwa aksi akan terus berlangsung hingga terjadi bentrokan.
Ajakan aksi yang berbau provokasi dan kericuhan ini pun langsung dibantah oleh pihak BEM Universitas Pakuan yang namanya dicatut. Mereka memastikan bahwa ajakan demo itu bukan berasal dari mereka. Mereka menyebut narasi itu adalah hoaks yang disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Di platform media sosial X, ajakan demonstrasi palsu juga marak beredar dalam bentuk poster digital. Saat kami menelusuri dengan kata kunci “poster demo palsu”, ditemukan sejumlah unggahan yang terindikasi sebagai ajakan palsu. Salah satu poster yang sempat menyita perhatian bertajuk “Bogor Meledak, #aparatkeparat”.
Poster ini dicurigai palsu oleh sejumlah warganet karena mengandung sejumlah kejanggalan. Salah satunya adalah adanya kalimat “turut mengundang ACAB”. Istilah ACAB, merujuk ke frasa 'All Cops Are Bastards', ungkapan peyoratif terhadap aparat kepolisian.
Selain dari isi pesan, tampilan visual poster pun menuai kecurigaan. Desainnya terlihat dibuat secara asal dan kurang profesional, serta tidak mencantumkan pihak penanggung jawab atau penyelenggara aksi secara jelas.
look at ts bro they’re making it too obvious💔 pic.twitter.com/FvcIDSZUXr
— Gabriel (@vixienn3) August 31, 2025
Upaya untuk Memecah Belah Gerakan?
Menanggapi maraknya peredaran poster ajakan demonstrasi yang diduga palsu, Musfi dari Helios Strategic Institute menilai penting untuk mempertanyakan pola penyebaran poster-poster tersebut. Apakah persebarannya dilakukan secara sistematis atau justru terjadi secara sporadis.
Jika dilakukan secara sistematis, hal ini dapat mengindikasikan adanya upaya terorganisir untuk mendelegitimasi aksi demonstrasi. Menurut Musfi, tujuan dari strategi semacam ini bisa beragam, mulai dari membingungkan publik, memecah soliditas massa, hingga memancing massa agar turun ke jalan dalam kondisi yang tidak siap.
“Poster-poster ini kan upaya untuk memancing massa. Tapi masalahnya, pancingannya terlalu mudah disadari. Yang artinya, tujuan poster itu untuk menciptakan perasaan paranoid. Massa ingin dibuat saling curiga, saling mewaspadai, yang pada akhirnya gerakan massa dalam skala besar sulit dilakukan,” ujarnya.

Musfi menyamakan cara ini dengan taktik dari ahli strategi peperangan. Filosofinya, kebingungan lawan menjadi salah satu kunci kemenangan. Dalam konteks ini, penyebaran poster palsu dinilai sebagai alat untuk menciptakan kebingungan tersebut.
“Nah, taktik ala Sun Tzu ini yang sedang dilakukan. Poster-poster palsu itu untuk menciptakan kebingungan,” ujarnya.
Sementara, jika penyebarannya terjadi secara sporadis, Musfi membuka kemungkinan bahwa hal ini bisa jadi merupakan bentuk keisengan belaka dari individu-individu yang terdorong oleh fenomena fear of missing out, FOMO.
"Sekarang ini eranya fomo, banyak orang ingin ikut-ikutan. Bukan tidak mungkin poster-poster itu adalah keisengan yang kemudian diviralkan sebagai upaya untuk menggembosi massa," tuturnya.
Menurut Musfi, di era digital saat ini, tidak sedikit orang yang ingin ikut-ikutan dan berkontribusi terhadap tren tertentu. Sayangnya salah satunya menyebarkan poster-poster yang belum tentu kredibel.
“Tapi, entah itu sistematis ataupun sporadis, poster-poster palsu ini memiliki efek yang sama, yakni membingungkan massa,” ujarnya.

Sebagai mantan aktivis mahasiswa, ia menjelaskan bahwa ada dua indikator sederhana untuk membedakan gerakan murni dengan aksi yang ditunggangi: waktu pelaksanaan dan asal-usul seruan aksi.
“Sebenarnya kan sederhana melihatnya, itu melihatnya melalui jam. Jadi massa yang murni, itu biasanya maghrib, isya itu udah selesai. Selalu seperti itu. Sementara pembakaran itu selalu di atas jam 10 malam,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (3/9/2025).
Dia menambahkan, pada titik waktu lepas malam biasanya muncul tindakan anarkis seperti pembakaran dan perusakan. Hal ini kerap dilakukan oleh kelompok provokator atau rombongan liar (romli).
Indikator kedua adalah keterbukaan informasi. Gerakan mahasiswa seperti BEM atau aliansi kampus selalu mengumumkan rencana aksi secara terbuka, lengkap dengan poster resmi, waktu, lokasi, serta pihak penyelenggara. Jika ada seruan demonstrasi yang tidak jelas sumbernya dan tidak terpublikasi oleh akun atau institusi resmi, maka patut dicurigai sebagai bentuk provokasi.
“Jadi ngelihatnya dari dua hal itu aja sih. Publikasi terbuka dari kampus, dari BEM, kemudian dari massa. Karena mahasiswa itu nggak pernah dia sampai di atas jam 9 malam,” ujarnya.

Masyarakat masih rentan terpapar disinformasi
Terpisah, Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) UGM Achmed Faiz Yudha Siregar menjelaskan, bahwa maraknya disinformasi yang beredar terkait ajakan demonstrasi di media sosial perlu dipahami secara kritis dan hati-hati. Ia menilai bahwa penyebaran disinformasi tersebut memiliki motif yang beragam, meskipun seringkali tampak kabur dan tidak langsung terlihat jelas.Menurut Faiz, banyak masyarakat kini berada dalam kondisi rentan terhadap informasi palsu, terbatasnya sumber informasi yang bisa diandalkan di luar media sosial jadi sebabnya.
Di tengah imbauan untuk tetap berada di rumah dan menjaga keselamatan akibat situasi yang tidak kondusif, masyarakat cenderung bergantung pada media sosial sebagai sumber utama informasi. Inilah yang membuat disinformasi lebih mudah menyebar dan berdampak luas.
Ia menjelaskan bahwa informasi palsu, seperti poster atau seruan demonstrasi yang tidak jelas sumbernya, bisa saja disebarkan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah, masyarakat, maupun individu yang memiliki motif tersembunyi. Hal ini bisa menggeser tujuan awal aksi yang bersifat kolektif menjadi terpecah dan mengaburkan tuntutan yang telah dikonsolidasikan sebelumnya.
“Dalam artian tujuan yang awalnya mungkin sudah disepakati, dikonsolidasi atau tuntutan-tuntutan yang sudah kita refleksikan bersama itu bisa jadi nanti bergeser,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (3/9/2025).
Faiz menambahkan bahwa dari sisi mobilisasi, disinformasi dapat menyebabkan dispersal process, yakni kondisi dalam teori gerakan sosial di mana terjadi perpecahan antarpihak. Hal ini disebabkan oleh informasi yang tumpang tindih, serta motif dan tuntutan yang bisa diarahkan ke hal-hal yang menyimpang dari hasil konsolidasi awal.
Lalu, bagaimana cara membedakan ajakan demonstrasi yang asli dan palsu?
Untuk mengidentifikasi ajakan demonstrasi yang valid, Faiz dari CfDS UGM menyarankan masyarakat memperhatikan beberapa aspek penting. Pertama, periksa sumber informasi: apakah berasal dari akun yang kredibel, seperti aliansi mahasiswa, komunitas, atau media sosial yang konsisten mengawal isu gerakan. Hindari mempercayai akun baru yang hanya muncul saat momentum aksi.
“Tapi hal-hal yang paling utama menurut saya adalah sumbernya dulu. Poster itu apakah mencantumkan sumber atau berasal dari sumber yang memang udah valid gitu. Maksudnya kayak media mainstream atau kanal-kanal media sosial yang memang benar-benar fokus dan konsisten dalam gerakan tersebut,” ujarnya.
“Bukan akun yang baru dibuat pada saat momentum aksi itu ada. Tapi yang memang udah dari lama kayak contohnya ya Gejayan Memanggil, terus ada Aliansi Mahasiswa Bergerak dan sebagainya,” sambungnya.

Kedua, amati visual poster dan isi tulisannya. Poster palsu umumnya memiliki desain seadanya, tanpa mencantumkan logo resmi, kontak informasi, atau penanggung jawab yang jelas. Copywriting yang terburu-buru, provokatif, atau cenderung memancing kekerasan, patut dicurigai.
“Mungkin kita bisa crosscheck ya antara dari hasil tuntutan atau poster-poster yang secara dalam tanda kutip itu resmi dari media-media mainstream atau media atau karena media sosial yang saya sebutkan tadi. Itu sejalan gak,” ujarnya.
Terakhir, Faiz menekankan pentingnya masyarakat untuk melakukan verifikasi silang terhadap berbagai sumber informasi sebelum mempercayai atau menyebarkan ajakan aksi.
“Jadi ada dua informasi yang harus ditelan oleh masyarakat, tapi memang untuk membedakan itu perlu kesadaran lebih lanjut. Yaitu tadi kayak kita bisa crosscheck ke sumber yang memang resmi atau yang memang mainstream dibaca atau udah valid dilihat dan secara konsisten menyebarkan informasi terkait gerakan-gerakan itu,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































