tirto.id - Sejak beberapa hari terakhir, jagat media sosial diramaikan oleh unggahan poster berwarna hitam dengan aksen tulisan merah muda dan hijau berseliweran. Rangkuman pesan tersebut adalah 17+8 Tuntutan Rakyat kepada pemerintah.
Poster 17+8 Tuntutan Rakyat itu juga kemudian disebarluaskan oleh sejumlah publik figur dan pemengaruh lewat akun media sosialnya, seperti Andovi da Lopez, Bintang Emon, Jerome Polin, Coki Pardede, hingga Ferry Irwandi. Kampanye tuntutan masyarakat ini juga disusun dalam format hitung mundur waktu yang bisa diakses di situs tuntutanrakyat-2e476.web.app.
Tuntutan-tuntutan itu dialamatkan kepada Presiden Prabowo Subianto, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), para ketua umum partai politik (parpol), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga sejumlah Kementerian di sektor ekonomi.
Andhyta Firselly Utami, salah satu inisiator kampanye 17+8 Tuntutan Rakyat mengatakan, ia dan sejumlah masyarakat sipil lainnya membentuk rangkuman tuntutan itu dengan tujuan agar ada suatu muara narasi yang mampu mewakilkan berbagai aspirasi rakyat.
Perempuan yang akrab disapa Afu itu menyebut, selama rangkaian aksi demonstrasi yang dimulai sejak Senin (25/8/2025) lalu, belum ada suatu narasi tuntutan yang diusung secara bersama-sama oleh rakyat. Kondisi ini berbeda dengan aksi-aksi demonstrasi sebelumnya, seperti aksi Indonesia Gelap dan aksi Indonesia Darurat Demokrasi yang sudah memiliki suatu konsensus terkait tuntutan yang jelas.
“Setelah kemudian terjadi pembunuhan Affan, terus kekerasan sebagainya, banyak demo terjadi, tapi nggak ada satu narasi bersama gitu yang benar-benar mainstream,” kata Afu saat dihubungi wartawan Tirto pada Selasa (2/9/2025).
Dalam menyusun 17+8 Tuntutan Rakyat, Afu dan para inisiator lainnya terlebih dahulu melakukan ulasan terhadap berbagai tuntutan yang telah disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya, seperti oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), hingga petisi “12 Tuntutan Rakyat Menuju Reformasi Transparansi & Keadilan” yang telah ditandatangani oleh lebih dari 40 ribu orang.
Afu menjelaskan, rangkuman tuntutan itu dibuat untuk memudahkan para pihak berwenang untuk mendengarkan apa sebenarnya yang menjadi tuntutan rakyat selama ini. Oleh karenanya, hingga saat ini organisasi masyarakat sipil disebutnya telah mengirimkan rangkuman tuntutan itu kepada para pihak yang dituntut.
Apa saja poin 17+8 Tuntutan Rakyat?
Dalam halaman pertama poster itu, ada tiga kata kunci yang ditegaskan sebagai poin utama tuntutan: transparansi, reformasi, dan empati. Sebanyak 17 poin tuntutan rakyat diminta untuk dipenuhi dalam waktu satu pekan, tepatnya tenggat waktu pada 5 September 2025.Tuntutan ini juga disusun dengan tujuan memberi kemudahan bagi para pemegang kekuasaan untuk mencernanya. Di halaman penjabaran telah tertera tugas masing-masing pihak yang dituju.
- Presiden Prabowo diminta untuk menarik TNI dari pengamanan sipil dan segera membentuk Tim Investigasi Independen untuk mengusut tuntas kasus kekerasan aparat terhadap massa aksi seperti Affan Kurniawan dan Umar Amarudin.
- Sedangkan DPR diminta untuk membekukan kebijakan kenaikan tunjangan para anggotanya, mempublikasikan anggaran secara transparan, serta mendorong Badan Kehormatan untuk memeriksa para anggota DPR yang bermasalah.
- Para ketua umum parpol didesak untuk memecat atau menjatuhkan sanksi tegas kepada kader partai yang tidak etis dan memicu kemarahan publik.
- Polri dituntut untuk membebaskan seluruh demonstran yang ditahan, menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap massa, dan menangkap serta memproses hukum secara transparan para anggota dan komandan yang memerintahkan tindakan kekerasan.
- TNI diminta untuk segera kembali ke barak dan tidak terlibat dalam pengamanan sipil, menegakkan disiplin internal agar anggota TNI tidak mengambil alih fungsi Polri, serta berkomitmen untuk tidak memasuki ruang sipil selama krisis demokrasi.
- Terakhir, kementerian di sektor ekonomi diminta untuk segera memastikan penyediaan upah layak bagi seluruh angkatan kerja, mengambil langkah darurat untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, hingga membuka dialog dengan serikat buruh guna mencari solusi terhadap permasalahan upah minimum dan outsourcing.
Sedangkan 8 tuntutan rakyat dalam waktu satu tahun, punya tenggat waktu sampai 31 Agustus 2026. Tuntutan jangka panjang itu merangkum berbagai isu yang selama ini selalu disuarakan, seperti mereformasi DPR secara besar-besaran, mereformasi parpol dan menguatkan pengawasan eksekutif, menyusun rencana reformasi perpajakan yang lebih adil, mengesahkan Undang-undang Perampasan Aset, mereformasi Polri, mengembalikan TNI ke barak, memperkuat wewenang Komnas HAM, serta meninjau ulang kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan UU Cipta Kerja.
Political Will Jadi Kunci Realisasi
Afu yang juga merupakan salah satu pendiri lembaga Think Policy, mengakui bahwa akan ada tantangan yang dihadapi sebelum akhirnya para pihak berwenang bisa memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Ia mencontohkan, salah satu tuntutan yang mendorong Badan Kehormatan DPR untuk memeriksa para anggota yang bermasalah, baru akan terwujud apabila ada political will dari para anggota DPR itu sendiri.
Sehingga, ia menekankan bahwa tuntutan untuk menghadirkan transparansi, reformasi, dan empati menjadi kunci agar keseluruhan 25 tuntutan rakyat itu bisa terpenuhi. Apabila ketiga tuntutan utama itu dipenuhi oleh para anggota DPR, maka tuntutan-tuntutan selanjutnya bukan tidak mungkin akan segera terwujud.
Untuk mengamplifikasi kampanye 17+8 Tuntutan Rakyat, Afu dan para inisiator lainnya mengajak para pemengaruh dan publik figur untuk menjadi narator dari kumpulan tuntutan rakyat itu. Ia juga menekankan bahwa kampanye itu dimiliki oleh seluruh rakyat, dan tidak dimiliki oleh salah seorang atau sekelompok individu saja.
“Ini memang jadi narasinya benar-benar dimiliki bersama tanpa ada owner-nya juga gitu,” ucapnya.
Direktur The Indonesian Institute (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, menyebut rangkuman 17+8 Tuntutan Rakyat itu akan mempermudah pemerintah dan juga aparat penegak hukum dalam mendengarkan aspirasi rakyat selama ini. Setelah dipublikasikannya kampanye ini, Adinda berharap pemerintah bisa segera menindaklanjuti apa-apa saja yang dituntut oleh rakyatnya.
Menurut Adinda, selain menindaklanjuti tuntutan-tuntutan jangka pendek, ia juga berharap pemerintah bisa segera mengeksekusi berbagai tuntutan jangka panjang yang selama ini telah disuarakan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil.
“[Menindaklanjuti] bukan hanya yang terjadi sejak Agustus dengan banyak korban hingga hari ini, tapi juga tuntutan yang sudah terjadi sejak lama gitu,” tutur Adinda dihubungi terpisah oleh Tirto, Selasa (2/9/2025).
Meski begitu, Adinda mengingatkan bahwa tidak semua tuntutan dapat diwujudkan dalam waktu singkat. Ada tuntutan yang sifatnya memang butuh proses lebih panjang, terutama yang menyangkut reformasi kelembagaan dan legislasi.

Sikap pemerintah sejauh ini cenderung kontradiktif dari tuntutan masyarakat
Adinda juga menyoroti sikap pemerintah yang terlihat kontradiktif dan masih jauh dari harapan rakyat. Di satu sisi, Presiden menyatakan terbuka terhadap aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, masih ada penangkapan aktivis, mahasiswa, hingga korban jiwa dalam rangkaian aksi demonstrasi beberapa waktu lalu.Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa 17 tuntutan jangka pendek itu masih jauh dari terpenuhi.
“Hingga saat ini dengan kejadian yang tewas, ada penangkapan termasuk aktivis dan mahasiswa, menurut saya jelas 17 tuntutan ini belum terpenuhi hingga saat ini dan malah masih menimbulkan gejolak gitu. Nah, misalnya kalau 17 tuntutan jangka pendek dalam waktu satu minggu, saya pikir saya kurang yakin ya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Adinda juga menyinggung soal salah satu poin tuntutan, di mana Badan Kehormatan DPR diharapkan bisa menindak anggota yang bermasalah. Menurutnya, hal ini sulit berjalan karena anggota badan tersebut juga berasal dari DPR sendiri. Hal itu menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan internal parlemen.
“Karena menurut saya misalnya nih, dorong Badan Kehormatan DPR memeriksa anggota yang bermasalah. Ya anggota Badan Kehormatan bukannya orang DPR juga kan ya?” kata Adinda.
Meski demikian, ia menilai 17+8 Tuntutan Rakyat tetap menjadi kampanye yang strategis. Publik kini memiliki peta tuntutan yang jelas dan bisa terus mengingatkan pemerintah maupun parlemen.
Adinda mengakui, keterbatasan waktu menjadi tantangan tersendiri. Ia menilai sulit bagi pemerintah untuk merespons semua tuntutan sebelum tenggat waktu 5 September. Namun, ia masih melihat peluang realisasi pada tuntutan jangka panjang yang diberi batas waktu hingga 31 Agustus 2026.

Baginya, reformasi partai politik adalah salah satu isu yang paling penting untuk didorong. Ia menekankan bahwa prapol merupakan hulu dari persoalan politik di Indonesia, termasuk maraknya praktik korupsi. Karena itu, reformasi di tubuh partai politik menjadi pondasi penting bagi perbaikan demokrasi.
“Kalau bicara dari hulu ke hilir ya, mereka [yang ada di parpol] sumbernya kan? Sumber pemimpin politik, sumber pelaku korupsi juga,” tegasnya.
Adinda juga menyinggung urgensi pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset. Ia menganggap aneh jika DPR terus menunda pengesahan aturan yang sebenarnya sangat penting untuk pemberantasan korupsi itu. Dalam konteks legislasi, ia menilai prolegnas harus dijadikan acuan yang jelas agar publik bisa menilai komitmen parlemen.
Hanya saja, bagi Adinda, keberhasilan implementasi tuntutan-tuntutan itu sangat bergantung pada komitmen politik dari segi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kehadiran kampanye 17+8 Tuntutan Rakyat itu sekaligus membuktikan omongan Prabowo yang menganggap aksi demonstrasi diduga memiliki tujuan makar tidaklah benar.
“Cukup clear juga soal tuntutan rakyat biar tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain. Termasuk yang dikatakan Presiden dibilangnya apa? Makar ya?” tutupnya.
Momentum yang Tepat untuk Dengar Aspirasi Rakyat
Di sisi lain, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bahwa peluang 17+8 Tuntutan Rakyat untuk dipenuhi oleh para pemangku kepentingan menjadi semakin besar, terutama setelah gelombang aksi demonstrasi yang berlangsung sejak pekan lalu.
Lucius mengatakan, sebelumnya tuntutan rakyat terhadap DPR hampir selalu tidak mendapat perhatian serius. Kondisi DPR yang sepenuhnya dikendalikan partai politik membuat peluang perubahan begitu sempit. Namun, ia melihat konteks sudah berbeda setelah demonstrasi besar dilakukan di berbagai kota. Menurutnya, tekanan publik kali ini menciptakan peluang baru agar tuntutan-tuntutan rakyat bisa benar-benar didengarkan oleh DPR.
Menurutnya, daftar 17+8 Tuntutan Rakyat berhasil merangkum berbagai tuntutan publik yang sebelumnya tercerai-berai menjadi satu paket yang lebih sistematis. Ia menilai langkah ini mempermudah publik sekaligus menekan pemerintah dan DPR agar tidak bisa lagi mengabaikan suara masyarakat.
Lucius menilai bahwa tuntutan masyarakat sipil kali ini menyentuh akar masalah mendasar di DPR. Jika dijalankan, tuntutan tersebut bisa memperbaiki hubungan antara anggota DPR dengan konstituennya. Bagi Lucius, hal ini penting agar anggota dewan tidak lagi dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan partai.
Ia menekankan perlunya reformasi tata kelola DPR. Menurutnya, perubahan tidak hanya sebatas soal fasilitas atau tunjangan, tetapi juga menyangkut cara DPR menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi. Reformasi menyeluruh diyakininya bisa mengembalikan kepercayaan publik pada lembaga legislatif.
“[Tuntutan] ini langsung menyentuh persoalan mendasar yang terjadi di DPR gitu ya, kita ingin agar anggota DPR itu betul-betul juga menunjukkan fungsinya sebagai representasi rakyat, fungsi yang sekian lama hilang, diambil alih oleh partai politik gitu ya,” katanya.

DPR siap kehilangan perlakuan istimewa?
Meski begitu, Lucius mengakui jalan menuju perubahan tidak akan mudah. Ia menyebut, akan sangat sulit bagi fraksi maupun anggota DPR untuk menerima tuntutan penghapusan perlakuan istimewa. Bahkan untuk membicarakan hal tersebut saja, menurutnya, DPR belum tentu siap.Namun sebagai lembaga publik, ia menegaskan bahwa DPR tidak bisa hanya berpikir untuk kepentingan internal. DPR, kata Lucius, harus berbesar hati untuk meninjau ulang semua privilese itu demi memperkuat kelembagaannya sebagai representasi rakyat. Jika tidak, DPR akan terus berada dalam posisi yang jauh dari harapan publik.
“Tapi sebagai sebuah lembaga publik ya, anggota DPR sekarang itu tidak hanya berpikir untuk mereka saja gitu ya, mereka harus berpikir soal kelembagaan DPR itu ke depannya,” tegasnya.
Lucius juga menyoroti bahwa apa yang selama ini dituntut rakyat sebenarnya adalah hal-hal yang tidak pernah disentuh oleh DPR maupun partai politik. Tuntutan 17+8 membuka kesempatan agar isu-isu tersebut akhirnya masuk dalam pembahasan formal.
“Jadi sudah seharusnya dengan tuntutan 17+8 ini, isu-isu itu kemudian dibicarakan dalam konteks penguatan DPR sebagai lembaga, melalui misalnya Revisi Undang-Undang MD3, revisi tata tertib, dan juga kode etik DPR gitu ya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Prabowo juga telah meminta para anggota DPR untuk membuka ruang dialog dengan tokoh masyarakat, mahasiswa, dan berbagai kelompok sipil. Menurutnya, penyampaian aspirasi langsung kepada wakil rakyat akan membantu memperkuat jalur komunikasi politik.
Untuk itu, Prabowo juga menekankan agar masyarakat tetap tenang dan percaya kepada pemerintah dalam menghadapi dinamika nasional. Ia menegaskan bahwa semua partai politik, baik yang berada di dalam koalisi maupun di luar pemerintahan, sepakat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Pemerintah yang saya pimpin, dengan semua partai politik termasuk partai yang di luar pemerintahan, kami bertekad untuk selalu memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa, termasuk rakyat yang paling kecil, rakyat yang paling tertinggal,” ujar Prabowo dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (31/08/2025).
Penulis: Naufal Majid
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































