Menuju konten utama

Delapan Koperasi Gagal Bayar, Teten: Modusnya Seperti Tahun 98

"Delapan koperasi simpan pinjam  yang gagal bayar, poalnya sama persis dengan praktik perbankan pada 1998."

Delapan Koperasi Gagal Bayar, Teten: Modusnya Seperti Tahun 98
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki (tengah) mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/9/2022). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengungkapkan, ada delapan koperasi simpan pinjam (KSP) yang gagal membayar sewaktu era pandemi COVID-19.

“Mereka sudah menempuh penundaan pembayaran kewajiban utama antara 2024 sampai 2025. Kalau Indosurya sampai 2006 tapi realisasi putusan PKPU itu masih rendah. Misalnya KSP SB tadi yang di Bogor itu baru 3 persen realisasinya,” kata Teten saat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/2/2023).

Kemudian, Indosurya baru mencapai 15,58%, sehingga angka tersebut dinilai sangat rendah. Hal ini dikarenakan mereka sudah masuk ke wilayah hukum penegakan keputusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

“Karena itu saya kombinasikan dengan pak Menkopolhukam. Tadi saya juga laporkan ke beliau bahwa realisasi ini rendah karena memang ada penggelapan aset, aset koperasinya tidak dimiliki oleh koperasi tapi dimiliki oleh pengurus. Lalu diinvestasikan di perusahaan milik pendiri dan pengurus,” ucap Teten.

Teten menilai, pola ini sama persis dengan praktik perbankan pada 1998, di mana koperasi simpan pinjam mengumpulkan dana dari masyarakat lalu diinvestasikan di grupnya sendiri tanpa ada batas minimum pemberian kredit.

"Ini kelemahan UU Koperasi, karena UU Koperasi kita No 25 tahun 1992 itu pemerintah tidak punya kewenangan pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh koperasi sendiri. Oleh pengawas yang diangkat oleh koperasi," kata Teten

Selain itu, pengawasan oleh anggota lewat rapat tahunan dinilai sangat efektif. Namun, untuk koperasi yang besar dengan ada cabang dimana– mana, keterikatan anggota terhadap koperasi yang besar masih sangat jauh. Fungsi pengawasannya pun koperasi tersebut berkembang.

“Malah koperasi seperti di Eropa yang mendirikan bank karena di sana kan koperasi simpan pinjam (KSP) yang kecil– kecil sudah tidak ada,” imbuh Teten.

“Misalnya Rabobank Inggris, Agricole di Belanda, kemarin juga di Swiss koperasinya mempunyai bank. Tapi, dia tunduk dengan regulasi perbankan. Lalu teman- teman koperasi ini menolak tidak mau. Kemarin juga masuk di undang-undang P2SK tidak mau karena merasa punya jati diri yang berbeda,” tambah Teten.

Teten mengaku, ia ingin merubah konsep lama tersebut menjadi lebih baru. Sebab, nantinya Koperasi ini akan bisa berdiri sendiri dan bisa leluasa dalam melakukan berbagai hal untuk meningkatkan Koperasi di Indonesia.

“Saya sendiri berkeinginan koperasi itu masuk ke semua sektor bukan hanya di sektor ekonomi marjinal, dan tidak hanya yang mikro. Jadi, Koperasi nantinya bisa mendirikan bank, koperasi juga bisa masuk ke sektor pertambangan, membuat rumah sakit dan akan mengikuti standarnya. Koperasi pastinya akan punya standar sendiri, kalau tidak bisa melakukan hal tersebut, nantinya akan kalah saing dengan korporasi,” kata Teten.

Terkait dengan adanya indikasi pelanggaran, Teten belum mau berkomentar banyak. Sebab, menurutnya yang terpenting adalah adanya sebuah transparansi dan juga akuntabilitas yang menjadi jati diri Koperasi

“Apalagi koperasi selain dari aspek bisnis dia juga fungsi sosial dan pendidikan. kenapa malah di perbankan jauh lebih akuntabilitasnya lebih baik dan corporate governance jauh lebih baik,” pungkas Teten.

Baca juga artikel terkait EKBIS atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - News
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Reja Hidayat