Menuju konten utama

Nikel Perlu Dihijaukan, Bappenas & WRI Susun Peta Dekarbonisasi

Proses hilirisasi nikel menghasilkan tingkat emisi karbon di atas rerata global. Oleh karena itu perlu dibangun peta jalan untuk menekan emisi ini.

Nikel Perlu Dihijaukan, Bappenas & WRI Susun Peta Dekarbonisasi
kick off peta jalan dekarbonisasi nikel. tirto.id/Tyas

tirto.id - Indonesia merupakan pemain kunci dalam industri nikel dunia. Hampir setengah atau 48,8 persen dari produk nikel global yang ditambang berasal dari Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, wajar jika kita mendapat sebutan "Arab Saudinya Nikel."

Mineral penting ini akan terus mencatatkan permintaan yang cukup signifikan dalam jangka panjang karena nikel menjadi salah satu materi penunjang energi bersih. Narasi ini disampaikan oleh Direktur Program Iklim, Energi, Kota dan Laut WRI Indonesia, Almo Pradana, dalam acara "Kick Off Penyusunan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel" pada Rabu (3/4/2024).

Almo menyebut bahwa permintaan nikel sebagai bahan campuran besi baja pada tahun 2045 hanya sebesar 365 juta dolar AS. Akan tetapi, jika melihat kebutuhan nikel untuk sumber energi teknologi rendah karbon maka nilainya menyentuh triliunan dolar AS.

"Kalau cuman yang stainless steel itu hanya 365 juta dolar AS. Tetapi kalo kita berpindah ke EV (Electric Vehicle) bisa 5,91 triliun dolar AS, as low carbon technology. Bukan hanya baterai ya, low carbon technology," ungkap Almo.

Meskipun begitu, ada tantangan besar untuk meraup potensi pendapatan ini. Para pelaku pasar global menginginkan nikel yang "hijau" untuk memenuhi kebutuhan energi bersih mereka.

Saat ini intensitas emisi yang dihasilkan oleh nikel Indonesia memang tergolong cukup tinggi, mencapai 58,6 ton setara karbon dioksida per ton nikel. Padahal rata-rata global ada di level 48 ton setara karbon dioksida.

Salah satu faktor yang memengaruhi tingginya tingkat emisi tersebut, adalah jenis teknologi yang digunakan. Sayangnya, opsi teknologi alternatif yang rendah emisi belum tersedia di Indonesia.

Selain itu, sumber energi yang digunakan untuk mengolah nikel itu sendiri juga masih bergantung pada energi fosil. Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Nizhar Marizi, menyampaikan bahwa 67 persen PLTU captive (luar jaringan) digunakan untuk menggerakkan smelter nikel.

Dengan polemik antara potensi pemasukan dan tantangan "hijau" tersebut, terdapat urgensi untuk menangani emisi di industri nikel Tanah Air. Pemerintah melalui Bappenas berinisiatif mengintegrasikan upaya dekarbonisasi ini ke dalam Rencanan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Peta jalan dekarbonisasi ini ditargetkan rampung pada September 2024 dan diharap dapat diimplementasikan pada Maret 2025. Dalam penyusunannya Bappenas bekerja sama dengan WRI Indonesia, didukung oleh aspirasi dari pelaku usaha.

Baca juga artikel terkait TIRTOECO atau tulisan lainnya dari Tim Media Service

Penulis: Tim Media Service