tirto.id - Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Meliana Lumbantoruan, berharap pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi tidak hanya sekadar berbicara soal kartu sakti dan kebocoran anggaran dalam debat pamungkas Pilpres.
Sebab, dalam beberapa kali debat, para capres kerap mengeluarkan jurus tersebut sebagai solusi atas permasalahan yang ditanyakan. Apalagi, tema terkait ekonomi, kesejahteraan sosial, Investasi, keuangan dan industri tersebut adalah masalah pokok yang banyak disorot selama 4 tahun terakhir.
Misalnya, soal bagaimana meningkatkan kesejahteraan di daerah-daerah miskin yang jadi lokasi pertambangan karena sumber daya alamnya melimpah.
"Kita ingin lihat dari masing-masing faktor apakah ada strategi untuk mendapatkan kompensasi dari kerusakan sumber daya alam di daerah kaya ada yang miskin," ucapnya dalam diskusi di Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (12/4/2019).
Padahal, kehadiran tambang di daerah tersebut memaksa para penduduk asli seperti petani harus berpindah ke sektor pekerjaan lain yang tidak sesuai dengan kapasitasnya.
Ia mencontohkan, misalnya, investasi untuk pembangunan pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng yang berpotensi merusak sumber mata air dan membuat masyarakat kehilangan sumber penghidupan yang berasal dari pertanian.
"Hadirnya industri tambang ekstraktif membuat masyarakat yang harusnya bertani harus shifting ke pedagang yang mereka tidak cocok," tuturnya menambahkan.
Di samping itu, pemerintah juga harus menjawab persoalan-persoalan di sektor industri hilir yang seharusnya bisa dimaksimalkan dan memberikan efek pengganda perekonomian di daerah.
Salah satunya, adalah kewajiban pembangunan smelter oleh perusahaan pertambangan yang berinvestasi dan beroperasi di Indonesia.
"Di tambang itu ada kewajiban membangun smelter, faktanya sampai sekarang masih stagnan. Nah bagaimana strategi untuk mendorong hilirisasi industri? Apakah akan melakukan penegakan regulasi? Apakah memberikan insentif atau dukungan infrastruktur?" imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto