tirto.id - Pada Maret 2020 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran yang berisi perintah bagi seluruh instansi pendidikan untuk menunda pembelajaran secara tatap muka, dan menggantinya dengan metode video conference atau kelas online.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara online tersebut kemudian dijalankan oleh semua sekolah dan kampus. Hingga Maret 2021, mayoritas sekolah dan kampus masih menjalankan pembelajaran online. Alhasil, sebagian besar peserta didik di Indonesia sudah belajar online nyaris setahun.
Di sisi lain, pandemi tidak hanya meningkatkan risiko gangguan kesehatan akibat penularan virus corona. Efek pandemi pada kesehatan mental juga jadi perhatian Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Pandemi telah berdampak besar terhadap kondisi kesehatan mental jutaan orang," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, 9 Oktober 2020 lalu di siaran resmi badan PBB itu.
Para petugas kesehatan, peserta didik yang tidak bisa ke sekolah, pekerja yang berisiko terpapar Covid-19 dan terancam PHK, masyarakat yang jatuh miskin, hingga mereka yang harus menjalani isolasi adalah kelompok yang menghadapi risiko penurunan kesehatan mental, menurut WHO.
Pandemi dan Kesehatan Mental Mahasiswa
Jika merujuk pada pernyataan WHO di atas, kualitas kesehatan mental peserta didik yang tak bisa menjalani pembelajaran tatap muka adalah isu penting. Adapun di antara kelompok peserta didik yang cukup rentan mengalami masalah kesehatan mental adalah mahasiswa.
Sebuah hasil riset garapan peneliti lintas-kampus di AS yang dirilis dalam Jurnal PLOS One pada 7 Januari 2021 lalu menggambarkan hal tersebut.
Laporan berjudul "Psychological Impacts from COVID-19 Among University Students: Risk Factors Across Seven States in the United States" itu menyimpulkan, kualitas kesehatan mental sebagian besar mahasiswa di Amerika Serikat anjlok selama pandemi.
Psikolog dan akademikus Clemson University di South Carolina, Matthew Browning menulis bahwa penelitian timnya tersebut dilandasi fakta, bahwa sebelum pandemi sekalipun kesehatan mental mahasiswa AS sudah tidak baik-baik saja.
Banyak mahasiswa AS menghadapi masalah depresi, kecemasan, dan gangguan kesehatan mental lainnya pada tingkat yang lebih tinggi daripada populasi umum, pada tahun-tahun sebelum Covid-19 membuat dunia tidak lagi sama.
Situasi ini, menurut Browning dan timnya, terjadi karena para mahasiswa harus bergulat dengan lingkungan sosial baru, menghadapi tuntutan untuk meniti karier, hingga problem keuangan.
Maka itu, Browning dan timnya melakukan survei yang melibatkan lebih dari 2.500 mahasiswa dari 7 universitas negeri di AS pada musim semi 2020, saat penularan virus corona melonjak.
Kesimpulan survei itu adalah 85 persen mahasiswa mengalami tekanan emosional tingkat tinggi hingga sedang. Sebanyak 45 persen mahasiswa di antaranya mengalami tekanan level tinggi.
Faktor-faktor tertentu juga membuat sebagian mahasiswa di AS berisiko lebih besar merasa sangat tertekan. Survei itu mendapati mahasiswa perempuan 2 kali lebih mungkin mengalaminya.
Sejumlah faktor lain yang juga berpengaruh ialah: berusia 18-24 tahun; memiliki kesehatan level sedang-buruk; hingga menghabiskan 8 jam atau lebih di depan layar komputer setiap hari.
Bagaimana Kesehatan Mental Mahasiswa Indonesia?
Apakah penurunan kualitas kesehatan mental mahasiswa juga terjadi Indonesia? Mengenai isu ini, ada sejumlah hasil riset yang sudah diterbitkan sejumlah jurnal tanah air. Namun, sebagian besar riset hanya mencakup responden di level lokal.
Sebagian riset juga menyoroti secara langsung dampak dari kuliah online selama pandemi kepada kualitas kesehatan mental mahasiswa.
Misalnya, hasil studi berjudul "Social media fatigue pada mahasiswa di masa pandemi COVID-19: Peran neurotisisme, kelebihan informasi, invasion of life, dan kecemasan" dalam Jurnal Psikologi Sosial (Juni, 2020) terbitan UI.
Riset itu memeriksa apakah neurotisisme, kelebihan informasi, invasion of life, dan kecemasan memengaruhi "social media fatigue" pada mahasiswa yang belajar di rumah karena pandemi.
Partisipan riset ini berjumlah 639 orang mahasiswa dari Jabodetabek dan beberapa kota lain yang aktif menggunakan media sosial sebagai sarana belajar di rumah dan juga mencari dan menerima berbagai informasi.
Social media fatigue adalah perasaan subjektif pengguna media sosial yang merasa lelah, jengkel, marah, kecewa, dan kehilangan minat, atau motivasi berinteraksi di berbagai medsos karena banyaknya konten yang ditemui.
Hasil penelitian ini menunjukkan besarnya pengaruh kelebihan informasi pada social media fatigue dan lebih rentannya kelompok mahasiswa pria untuk mengalami kondisi ini saat belajar di rumah selama pandemi COVID-19.
"Individu menemui kesulitan untuk bisa mengatasi begitu banyaknya informasi dan meninggalkan media sosialnya sebab hal ini terkait dengan kebutuhan akademis untuk belajar di rumah selama pandemi COVID-19," tulis para peneliti di laporan itu.
"Mahasiswa yang belajar di rumah karena pandemi rentan mengalami social media fatigue karena media sosial yang biasa digunakan sebagai coping stress dalam kasus ini menjadi sumber stres baru," demikian kesimpulan mereka.
Hasil riset lainnya, berjudul "Gambaran Psikologis Mahasiswa Dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19" yang termuat di Jurnal Keperawatan Jiwa (Agustus, 2020) terbitan Universitas Muhammadiyah Semarang, memperlihatkan dampak kuliah daring pada psikologis mahasiswa.
"Masalah psikologis yang paling banyak dialami mahasiswa karena pembelajaran online adalah kecemasan," demikian kesimpulan laporan tersebut.
Dengan sampel 190 mahasiswa, hasil penelitian itu menunjukkan 41,58% responden mengalami kecemasan ringan dan 16,84% merasakan kecemasan sedang akibat kuliah daring.
Sementara laporan bertajuk "Deteksi Dini Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid 19 pada Unnes Sex Care Community," dalam Jurnal Praxis (September, 2020) terbitan Unika Soegijapranata juga menyoroti hal yang sama.
Hasil riset ini menunjukkan 63,6% responden terindikasi mengalami masalah kesehatan mental akibat pandemi. Sejumlah masalah itu: merasa cemas dan khawatir (59%); sulit tidur (50%); sulit berpikir (50%); lelah sepanjang waktu (50%); dan punya pikiran mengakhiri hidup (9%).
Namun, yang perlu dicatat, riset di atas melibatkan responden mahasiswa sebanyak 44 orang saja yang tergabung di UKM Unnes Sex Care Community Universitas Negeri Semarang.
Seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata, Estevania Hantoro juga mengaku sempat mengalami kesulitan yang memicu tekanan saat menjalani kuliah daring. Kebutuhan kuota internet yang besar kerap memusingkannya meski sudah ada bantuan dari Kemendikbud.
“Proses daring juga memusingkan,” jelasnya. Estevania mengaku mengalami tekanan saat kuliah daring, tapi untungnya bisa menemukan metode untuk mengatasinya.
Penulis: Ayub Rustiani
Editor: Addi M Idhom