Menuju konten utama

Hari Kesehatan Mental Dunia 2020: Dampak Pandemi & Hasil Survei WHO

Hari Kesehatan Mental Sedunia 2020 punya makna khusus. Pandemi corona menyebabkan kebutuhan akan layanan kesehatan mental meningkat.

Hari Kesehatan Mental Dunia 2020: Dampak Pandemi & Hasil Survei WHO
Ilustrasi kesehatan mental saat pandemi virus corona (Covid-19). FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati pada hari ini, Sabtu, 10 Oktober 2020. Menyambut momen ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan peningkatan investasi untuk program pemeliharaan kesehatan mental, baik di level nasional maupun internasional.

"Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini, pada 10 Oktober, datang saat kehidupan kita sehari-hari telah banyak berubah akibat pandemi COVID-19," tulis WHO dalam siaran resminya pada Sabtu (10/10/2020).

WHO menilai peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini memiliki makna khusus. Sebab, pandemi Covid-19 telah membuat banyak orang, hampir dari semua kelompok umur di berbagai negara, terpaksa menjalani kebiasaan baru yang berpotensi meruntuhkan kesehatan mental.

Mulai dari para petugas kesehatan, siswa-siswi yang tidak bisa ke sekolah, pekerja yang berisiko terpapar Covid-19 dan terancam gelombang PHK, masyarakat yang jatuh miskin karena ekonomi terus memburuk, hingga mereka yang harus menjalani isolasi saat lock down, semua menghadapi risiko penurunan kualitas kesehatan mental.

"Belum lagi, mereka yang harus mengelola kesedihan karena telah kehilangan orang yang dicintai, seringkali tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal," demikian pernyataan WHO.

Belajar dari pengalaman masa lalu, WHO menilai kebutuhan akan kesehatan mental dan dukungan psikososial akan meningkat secara substansial dalam beberapa bulan atau tahun mendatang.

Oleh karena itu, investasi di program kesehatan mental level nasional maupun internasional, yang sudah kekurangan dana kronis selama bertahun-tahun sebelum pandemi terjadi, sekarang menjadi jauh lebih penting daripada sebelumnya.

"Pandemi COVID-19 telah berdampak besar terhadap kondisi kesehatan mental jutaan orang, dan hal itu mengingatkan pentingnya peningkatan investasi di bidang kesehatan yang terabaikan ini," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 9 Oktober kemarin.

"Hampir 1 miliar orang hidup dengan gangguan mental, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri," Tedros menambahkan.

Menurut Tedros, dalam skala global, tidak banyak orang yang beruntung bisa mengakses layanan kesehatan mental dengan kualitas memadai. Di negara-negara miskin, layanan kesehatan mental menjadai barang langka.

WHO memperkirakan, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, ada lebih dari 75 persen warga yang terbelit gangguan mental, masalah neurologis, dan penyalahgunaan obat, tidak bisa mengakses layanan kesehatan untuk mengatasi masalah kejiwaan mereka.

"Sudah saatnya investasi layanan kesehatan jiwa meningkat secara masif, sehingga akses layanan kesehatan mental yang berkualitas dapat menjadi kenyataan bagi setiap orang," ujar Tedros.

Hari ini, untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2020, WHO menggelar sebuah acara advokasi secara online yang mempertemukan pemimpin institusi internasional maupun nasional, olahragawan, seniman, para pegiat kesehatan mental, dan pihak-pihak terkait lainnya.

"Di acara ini, anda bisa melihat dan mendengar cerita orang-orang yang hidup dengan masalah kesehatan mental, tantangan yang mereka hadapi akibat pandemi, dan cara menghadapinya," tutur Tedros.

Acara yang digelar WHO tersebut juga akan melibatkan: kiper Liverpool, Alisson Becker; istri dari mendiang vokalis Linkin Park Chester Bennington, Talinda Bennington; juru kampanye kesehatan mental dan produser film, Jonny Benjamin; jurnalis Femi Oke; dan lainnya.

Disiarkan online mulai jam 16.00 waktu Jenewa, atau 21.00 WIB pada Sabtu malam (10/10/2020) waktu Indonesia Barat, acara WHO ini dapat diakses melalui sejumlah kanal milik organisasi PBB tersebut, yakni: Facebook; Twitter; LinkedIn; YouTube; TikTok; dan Twitch.

Dampak Pandemi ke Layanan Kesehatan Mental di Dunia

Kampanye peningkatan jumlah pendanaan guna memperluas akses dan mengerek kualitas layanan kesehatan mental di semua nagara, terutama selama pandemi, memiliki dasar alasan kuat.

Hasil survei WHO yang dirilis pada 5 Oktober 2020 lalu menyimpulkan pandemi vrius corona telah mengganggu layanan kesehatan mental di 93 persen dari 130 negara. Angka 93 persen tersebut tentu sangat besar. Apalagi, ada tren peningkatan kasus gangguan kesehatan mental saat pandemi Covid-19.

WHO melakukan survei tersebut pada periode Juni-Agustus 2020, di 130 negara yang tersebar di 6 regional yang menjadi wilayah operasi badan PBB tersebut.

Dalam siaran resminya, WHO menyatakan survei tersebut melihat bagaimana kondisi penyediaan layanan kesehatan mental, serta perawatan kasus masalah neurologis dan penyalahgunaan zat/obat, selama pandemi. Survei WHO juga mendeteksi jenis layanan yang terganggu dan bagaimana cara adaptasi yang dilakukan oleh otoritas kesehatan di 130 negara.

"Negara-negara itu melaporkan gangguan luas terhadap berbagai jenis layanan kesehatan mental kritis," begitu pernyataan WHO.

Berikut perincian hasil survei WHO di 130 negara tersebut:

1. Lebih dari 60% negara melaporkan gangguan layanan kesehatan mental untuk orang-orang yang rentan, termasuk anak-anak dan remaja (72%), orang dewasa yang lebih tua (70%), dan wanita yang membutuhkan layanan antenatal atau postnatal (61%).

2. Sebanyak 67% negara mengalami gangguan pada layanan konseling dan psikoterapi; Di 65% negara, layanan buat pengurangan bahaya masalah mental kritis terganggu; dan layanan perawatan untuk kasus ketergantungan opioid (zat dalam obat nyeri dan narkoba seperti heroin) di 45% negara juga mengalami gangguan.

3. Lebih dari sepertiga negara (35%) melaporkan gangguan pada layanan intervensi darurat, termasuk buat orang yang mengalami kejang berkepanjangan; sindrom penarikan penggunaan zat yang parah; delirium, yang seringkali merupakan tanda yang mendasari kondisi medis serius.

4. Sebanyak 30% negara melaporkan adanya gangguan terhadap akses pengobatan untuk kasus gangguan mental, masalah gejala neurologis, dan penyalahgunaan obat atau zat.

5. Sekitar 3/4 negara melaporkan setidaknya ada gangguan pada sebagian layanan kesehatan mental di sekolah dan tempat kerja (masing-masing 78% dan 75%).

WHO mencatat, meskipun 89% dari 130 negara obyek survei melaporkan bahwa kesehatan mental dan dukungan psikososial adalah bagian dari rencana tanggap darurat nasional mereka pada masa pandemi COVID-19, hanya 17% yang memiliki dana tambahan untuk layanan di bidang tersebut.

"Alokasi 2% dari anggaran kesehatan nasional untuk kesehatan mental tidaklah cukup," tulis WHO.

Badan PBB tersebut menambahkan: "Bidang kesehatan mental masih menerima kurang dari 1% dari bantuan internasional yang dialokasikan untuk kesehatan."

WHO sebenarnya sudah menyoroti kekurangan dana di bidang kesehatan mental, sejak sebelum pandemi. Sebelum virus corona menyebar, WHO mencatat rata-rata negara mengalokasikan 2% saja dari anggaran kesehatan nasionalnya untuk keperluan layanan kesehatan mental.

"Perkiraan sebelum pandemi COVID-19 menunjukkan hampir USD 1 triliun produktivitas ekonomi hilang setiap tahun karena masalah depresi dan kecemasan saja."

"Sementara riset menunjukkan bahwa setiap USD 1 untuk biaya perawatan depresi dan kecemasan menghasilkan [produktivitas ekonomi] USD 5," tulis WHO.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH