Menuju konten utama

Data Palsu PPDB, FSGI Minta Kepala Daerah Evaluasi Jajarannya

FSGI meminta kepala daerah mengevaluasi aparat kelurahan, kecamatan, dan dinas dukcapil terkait pemalsuan data PPDB.

Data Palsu PPDB, FSGI Minta Kepala Daerah Evaluasi Jajarannya
Calon siswa SMK mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMK Negeri 1 Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (6/6/2023). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp.

tirto.id - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta kepada kepala daerah untuk mengevaluasi seluruh jajarannya terkait polemik Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Pasalnya, beberapa waktu lalu Walikota Bogor, Bima Arya mengumumkan ke publik bahwa telah terjadi manipulasi data kependudukan di wilayahnya untuk kepentingan mendaftar PPDB jalur zonasi. Bahkan, Bima sampai datang sendiri ke rumah rumah warga yang Kartu Keluarga (KK) nya dipermasalahkan.

FSGI menilai manipulasi data dengan cara pindah KK tidak akan mudah terjadi jika sistem kependudukannya ketat melalui mekanisme kontrol aparat kelurahan, kecamatan, dan dinas dukcapil.

"Apalagi sampai 20 anak dengan orang tua berbeda masuk dalam satu KK. Harusnya hal ini dapat diantisipasi dari awal oleh jajaran terkait," kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti melalui keterangan tertulis, Senin (10/7/2023).

FSGI mengkritik kondi tersebut. Pertama, Kemendikbudristek menerapkan kebijakan PPDB Sistem zonasi sudah sejak tahun 2017 atau sudah berlangsung tujuh tahun lalu.

Awalnya, beragam permasalahan kependudukan dan penyebaran sekolah yang tidak merata menjadi persoalan tertinggi. Seiring waktu hal itu sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan baik oleh sejumlah daerah. Di antaranya memperkuat sistem di Dukcapil agar tidak terjadi manipulasi terkait data kependudukan.

"Kalau kota Bogor masih mengalaminya, maka seharusnya kepala daerahnya mengevaluasi jajaran kelurahan, kecamatan dan Dukcapil, yang jelas di bawah kewenangan kepala daerah. Bukan menyalahkan sistem PPDB Zonasinya yang sudah tujuh tahun dan sudah mulai diterima luas di masyarakat," kata dia.

Menurut Retno, kepala daerah dapat segera mengevaluasi jajaran terkait dan menjatuhkan sanksi pada jajarannya jika ditemukan manipulasi data kependudukan.

"Seharusnya masalah klasik seperti ini sudah dapat diatasi selama lima tahun menjabat, karena kelurahan, kecamatan dan dinas Dukcapil merupakan anak buah langsung kepala daerah," ucapnya.

Kedua, Retno mengatakan kepala daerah harus merencanakan menambah sekolah negeri. Setelah tujuh tahun PPDB Zonasi diterapkan, sejumlah kepala daerah sudah menambah jumlah sekolah negeri. Misalnya Kota Bekasi menambah 7 SMPN, Kota Tangerang menambah 9 SMPN, Kota Pontianak menambah 1 SMAN, Kita Depok menambah 1 SMAN, DKI Jakarta menambah 10 SMKN, dan lainnya.

Hal itu dilakukan karena para kepala daerah sadar sekolah negeri tidak banyak dan tidak merata penyebarannya, terutama SMP, SMA dan SMK. Kalau SDN jumlah relatif terpenuhi.

"Yang menyadarkan para Kepala Daerah menambah jumlah sekolah negeri adalah setelah kebijakan PPDB Zonasi," kata Retno

Menurut Retno, membangun sekolah negeri baru juga dapat dijadikan ukuran kesungguhan kepala daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan warganya.

Pemerintah pusat melalui APBN juga menganggarkan pembangunan sekolah negeri jika pemerintah daerah mengusulkan dan memiliki lahan yang sesuai standar nasional pendidikan.

"Pemerintah pusat hanya membangunkan gedungnya, tanahnya harus disediakan pemerintah daerah. Ini bentuk kolaborasi yang sangat patut didukung," ujarnya.

Ketiga, FSGI meminta Kepala Daerah harus kreatif dalam menerapkan PPDB sistem zonasi. Sebelum PPDB sistem zonasi diterapkan di Indonesia, jumlah sekolah negeri masih minim dan penyebarannya tidak merata.

Saat PPDB sistem zonasi diterapkan, selain menambah jumlah sekolah, Retno mengatakan sejumlah daerah menginisiasi berbagai cara untuk memenuhi hak atas pendidikan. Misalnya Pemprov DKI menerapkan PPDB bersama SMA dan SMK swasta yang pembiayaan peserta didik baru hingga lulus ditanggung melalui APBD.

Sementara itu, Pemprov Sumatera Utara menerapkan zonasi khusus bagi calon peserta didik baru yang di zona tempat tinggalnya tidak ada sekolah negeri.

Ketika sudah tujuh tahun penerapan kebijakan PPDB sistem zonasi, banyak kepala daerah melalui dinas pendidikan memutar otak untuk meminimalkan masalah, potensi kecurangan, dan juga minimnya sekolah negeri. Apalagi saat ini mayoritas publik sudah dapat menerima PPDB sistem zonasi.

"Meski ada kekurangan, namun diakui bahwa sistem ini jauh lebih berkeadilan dan mendorong pemerintah pusat dan daerah membangun sekolah negeri baru tanpa membunuh sekolah swasta yang sudah adalah sudah berkontribusi lama bagi pendidikan selama ini," tutur Retno.

Baca juga artikel terkait PPDB atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan