tirto.id - Nama Honda identik dengan mobil, motor, dan mesin-mesin yang efisien. Akan tetapi, di balik itu semua, mereka selama ini menyimpan, dan selangkah lagi akan mewujudkan, sebuah mimpi yang jauh lebih tinggi.
Pada 17 Juni 2025, Honda mengumumkan bahwa mereka baru saja melakukan uji coba roket reusable (bisa digunakan kembali). Uji coba ini tidak dilakukan di komputer dengan rendering tiga dimensi, bukan pula uji coba di laboratorium tertutup dengan miniatur. Honda sungguh-sungguh sudah berhasil meluncurkan sebuah roket.
Roket itu meluncur secara vertikal, lalu turun dengan gerakan parabolik, hingga akhirnya mendarat kembali dengan stabil. Tes ini, menurut rilis resmi Honda, sudah dilaksanakan Mei 2025 di Taiki, Hokkaido. Namun, mereka baru mengumumkannya pada pertengahan Juni.
Punya Modal Penting sejak Lama
Rencana Honda ke antariksa sebenarnya sudah disampaikan secara luas sejak 2021. Konsepnya sama persis dengan apa yang dilakukan SpaceX, perusahaan antariksa milik orang terkaya dunia, Elon Musk. Yakni, roket reusable; roket yang bisa digunakan berulang kali sehingga bisa mengirit biaya terbang ke luar bumi.
Dan Honda pun tidak memulai misi antariksanya dari nol. Dalam mewujudkan hal ini, mereka menggabungkan beragam teknologi yang selama ini tersebar di divisi-divisi berbeda. Keahlian robotika mereka, yang pernah melahirkan humanoid legendaris ASIMO, kini diterapkan untuk sistem kendali dan presisi gerak.
Sementara kemampuan di bidang AI dan navigasi otonom, yang sebelumnya dikembangkan untuk mobil listrik dan kendaraan eksperimental, ikut dilibatkan. Pengalaman mereka di Formula 1—khususnya dalam merancang power unit berperforma tinggi—juga dimanfaatkan, bersama dengan riset elektrifikasi dan sistem kontrol penerbangan yang sebelumnya dipakai dalam proyek mobilitas masa depan.
Hasilnya, tentu saja, bukan sekadar proyek iseng. Mereka punya tim khusus dan sudah punya target spesifik pula, yaitu mengembangkan sistem komunikasi untuk misi di luar orbit bumi sekaligus merancang sumber energi terbarukan yang bisa dipakai di luar angkasa.
Tahun lalu, Honda resmi melakukan uji coba perdana. Kala itu mereka belum meluncurkan roket, melainkan menguji desain aerodinamika, kontrol stabilitas roket, serta sistem pendaratan vertikal. Itu semua akhirnya terlihat pada uji coba lanjutan Mei lalu. Mereka meluncurkan roket purwarupa setinggi 6,3 meter yang berhasil terbang vertikal hingga 271,4 m, berada di udara selama 56,6 detik, dan mendarat dengan jarak 37 cm dari targetnya. Sama sekali tidak buruk.
Konstelasi Perang Bintang
Bicara soal industri antariksa, nama pertama yang hampir selalu disebut adalah SpaceX. Sejak pertama kali meluncurkan roket Falcon 1 pada 2008, perusahaan tersebut telah mengubah paradigma sekaligus konstelasi perlombaan antariksa dunia.
SpaceX membuktikan bahwa peluncuran luar angkasa tidak harus jadi proyek puluhan miliar dolar milik negara. Dengan roket yang bisa digunakan ulang, biaya bisa ditekan drastis. Dulu, meluncurkan sebuah roket ibarat meledakkan uang ratusan juta dolar ke udara. Sekarang, roket bisa mendarat kembali, di-maintenance layaknya kendaraan biasa, dan diluncurkan lagi. Itulah kenapa Falcon 9 dan Starship punya nilai strategis. Mereka tidak sekadar kuat, melainkan juga ekonomis.
Namun, SpaceX bukan pemain satu-satunya. Blue Origin milik Jeff Bezos—orang terkaya ketiga di dunia—juga mengembangkan roket reusable, meski belum sehebat milik SpaceX.
Sementara itu, Rocket Lab dari Selandia Baru punya pendekatan berbeda. Mereka fokus pada roket kecil dan peluncuran frekuensi tinggi. Lalu, Arianespace dari Eropa masih bertahan sebagai pemain lama, sedangkan startup seperti Relativity Space dari California, AS, mencoba membuat roket dari teknologi cetak 3D. Adapun dari Tiongkok, iSpace dan Galactic Energy mendapat dukungan penuh dari negara.
Pilihannya banyak, pendekatannya berbeda-beda, tapi tujuannya sama. Semua perusahaan antariksa itu ingin membuat perjalanan ke ruang angkasa lebih mudah diakses, lebih murah, dan lebih sering digunakan.
Jelas, di tengah lanskap ini, Honda masih "bau kencur". Roket mereka belum mencapai orbit, bahkan belum keluar dari wilayah uji coba. Meski begitu, Honda bukan pemain startup. Mereka masuk ke skena "perang bintang" dengan membawa sumber daya, pengalaman manufaktur massal, dan kestabilan finansial yang tidak bisa disepelekan. Perlu dicatat bahwa Honda, saat ini, adalah perusahaan otomotif terbesar kedua di Jepang dan salah satu yang paling besar di dunia.
Asia Jadi Medan Tempur Baru?
Langkah Honda masuk ke industri luar angkasa tidak datang dari ruang hampa. Sebab, Jepang saat ini memang sedang menyusun ulang perannya dalam eksplorasi antariksa dan Honda hanyalah salah satu contoh dari semangat baru yang tengah tumbuh.
Sebelum Honda, sudah ada Mitsubishi Heavy Industries (MHI) yang selama ini menjadi tulang punggung peluncuran roket Jepang melalui kolaborasinya dengan badan antariksa nasional, JAXA.
Roket H-IIA buatan MHI telah digunakan dalam berbagai misi penting, termasuk peluncuran satelit dan wahana luar angkasa Hayabusa. MHI memang sempat menemui kendala dengan roket M3 yang sempat dua kali gagal meluncur. Namun, roket ini pun akhirnya sukses pula dikirim ke luar angkasa.
Selain itu, ada pula Toyota. Meskipun tidak membangun roket, mereka tengah bekerja sama dengan JAXA untuk mengembangkan kendaraan lunar berawak bernama "Lunar Cruiser". Kendaraan eksplorasi ini dikembangkan dengan basis teknologi hidrogen yang memang senantiasa digembar-gemborkan pabrikan otomotif terbesar dunia itu.
Dengan demikian, Jepang pun memiliki paket lengkap. Soal roket dan peluncuran, serahkan pada Honda atau Mitsubishi. Sesampainya di bulan, misalnya, biarkan Toyota yang ambil peran.
Selain Jepang, ada pula Tiongkok yang memang sudah menjadi salah satu pemain besar dalam peta persaingan antariksa dunia. Badan antariksa mereka, CASC (China Aerospace Science and Technology Corporation), sudah rutin mengirim misi luar angkasa dan telah memiliki stasiun antariksanya sendiri. Dari pihak swasta, perusahaan seperti iSpace dan Galactic Energy mengisi ceruk tersisa dengan peluncuran roket-roket kecil dan kepentingan komersial.
India pun tak ketinggalan. ISRO (Indian Space Research Organisation), misalnya, telah mengirimkan misi ke bulan pada 2023 yang menjadikan mereka negara keempat yang sukses mendarat di satelit bumi tersebut setelah Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Tiongkok.
Sektor swasta India juga cukup kuat. Perusahaan seperti Skyroot Aerospace dan Agnikul Cosmos mendapat sokongan negara untuk mengembangkan roket ringan dan murah bagi pasar global.
Selanjutnya, ada pula Korea Selatan yang pada 2022 berhasil meluncurkan roket buatan dalam negeri. Dan yang tak boleh dilupakan, ada Uni Emirat Arab (UEA) dengan ambisi besarnya. UEA memang belum bisa meluncurkan roket atau membuat modul bulan. Akan tetapi, mereka sudah meluncurkan sebuah wahana untuk meneliti permukaan Mars pada 2020 dan, pada 2028 nanti, bakal mengirim kuar antariksa baru ke asteroid.
Spirit yang Tak Pernah Mati
Honda boleh saja identik dengan Supra Bapak dan Beat Karbu di Indonesia. Akan tetapi, di luar sana, mereka punya peran baru sebagai salah satu calon pemimpin persaingan antariksa global.
Evolusi Honda ini, seperti yang sudah dijabarkan dalam bagian-bagian sebelumnya, mewakili dua perubahan sekaligus. Yakni, perubahan konstelasi "perang bintang" dari negara ke swasta, serta pergeseran titik panas (heatmap) peperangan dari Barat ke Asia.
Tak cuma itu, evolusi Honda juga merupakan sebuah kulminasi dari sebuah perjalanan panjang dari sebuah jenama yang selalu berani merambah ke dunia baru yang tak pernah dibayangkan Soichiro Honda, sang pendiri. Walau begitu, napas Soichiro Honda, yang selalu menginginkan kesempurnaan dan kecepatan, sebenarnya terejawantahkan dengan sempurna dalam misi terbaru Honda ini.
Sebab, apa lagi yang bisa lebih baik melambangkan kesempurnaan dan kecepatan dibanding sebuah roket yang bisa meluncur dan mendarat dengan mulus?
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi