tirto.id - Hari itu Youmna el-Sayed tengah bersiap memberi laporan langsung sekitar pukul 18.08 waktu setempat, Sabtu (7/10/2023), dari salah satu gedung tinggi di Kota Gaza.
Dalam beberapa jam terakhir, kondisi di Gaza memang memanas. Serangan Hamas ke Israel pada pagi hari, berbalas tembakan misil membabi buta di Jalur Gaza.
Youmna yang telah siap memberi laporan di depan kamera, lengkap dengan pelindung kepala dan rompi anti-peluru, harus terdiam. Bunyi ledakan keras di belakangnya, mendahului suara yang akan keluar dari mulutnya.
“Tidak apa-apa. Ini adalah serangan misil ke Palestine Tower, tepat di tengah Kota Gaza,” ujarnya dalam reportase kala itu, sembari mengatur napas, masih terguncang dengan kejadian hebat di belakangnya.
Watch the moment Israeli fighter jets strike Palestine Tower behind Al Jazeera’s Youmna El Sayed as she reports live from Gaza ⤵️ pic.twitter.com/dXHVRJiCOC
— Al Jazeera English (@AJEnglish) October 7, 2023
Maher Atiya Abu Quota, juru kamera yang menjadi rekan seperjuangan Youmna, tetap kokoh mengambil gambar, mengabadikan kejadian yang melumpuhkan gedung 14 lantai tersebut. Palestine Tower merupakan rumah bagi sejumlah media massa di Palestina.
Kejadian tersebut terekam jelas dalam siaran Al-Jazeera English, tempat Youmna dan Maher menjadi koresponden memberitakan kejadian yang terjadi di Jalur Gaza.
Tayangan siaran langsung ini sempat ramai dan mendapat perhatian dunia. Unggahan ulang Reuters mengumpulkan 844 ribu penonton.
Kejadian hari itu, nyatanya menjadi awal bagi hari-hari berat yang menanti Younma dan Maher. Keduanya merupakan orang Palestina, yang terus melaporkan perkembangan konflik Israel-Palestina.

Mereka harus bekerja dalam keadaan sulit, pindah dari satu tempat ke tempat berikutnya dengan keadaan tidak layak. Dalam meliput, mereka harus memakai selalu pelindung lengkap yaitu helm dan rompi. Selain memberi beban mental, perangkat itu pun juga menjadi beban secara harfiah.
"Setiap hari memakai helm dan rompi. Berat helm sekitar 4-6 kilogram dan rompi 8-12 kilogram," cerita Maher, kepada Wartawan Akmal Firmansyah, yang melaporkan untuk Tirto, Minggu (25/5/2025).
"Pakaian yang kami pakai ini itu tidak sepenuhnya bisa menahan serangan-serangan yang diluncurkan oleh ‘penjajah’. Itu hanya menahan senjata-senjata kecil, peluru kecil," lanjut Maher.
Walaupun begitu, menggunakan pelindung lengkap ini merupakan ikhtiar mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Menjaga diri sebisanya tetap menjadi prioritas nomor satu untuk bisa mengabarkan kondisi di lapangan kepada dunia, melalui kamera, lewat peran menjadi jurnalis.
"Kita ber-tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah -red). Kalau memang sudah waktunya kita dipanggil Allah, maka ya sudah, kita menghadapi Tuhan. Kita hanya menjalankan tugas kita sebagai jurnalis, kita bersuara dan itu adalah tugas kita," tutur Maher.
Maher dan Youmna, dua jurnalis dari Gaza mampir ke Bandung, untuk menyampaikan pesan penting kepada rekan-rekan media di Indonesia, pada Minggu (25/5). Mereka bicara di sesi talkshow bertema “Membungkam Dunia: Membunuh Jurnalis di Palestina” dalam Konferensi Aktivis Palestina Asia Pasifik untuk Al-Quds & Palestina di Hotel Savoy Homan, Kota Bandung.
Perjuangan Ekstra Jurnalis Perempuan di Gaza
Selain beradaptasi dengan kondisi konflik, fisik juga harus menyesuaikan diri. Selama meliput konflik, Youmna juga bercerita mengenai bertahan dengan makanan yang tidak cukup dan tidak ada tempat untuk beristirahat.
Belum lagi perangkat pelindung yang tentu terasa lebih berat baginya yang bertubuh lebih kecil dibanding Maher. Dampaknya cedera punggung sudah dia rasakan.
"Saya mengalami skoliosis parah karena harus memakainya terlalu lama, kadang harus berlari sambil memakainya untuk menghindari bom dan mencari perlindungan. (Ini ditambah) menghabiskan waktu berjam-jam dengan helm berat di kepala," cerita Youmna.
Dia menjelaskan, perangkat keamanan tersebut menempel tubuhnya hampir sepanjang hari, bahkan bisa berhari-hari.
"Kadang kami hanya melepasnya beberapa menit untuk sedikit merilekskan tubuh, lalu harus memakainya lagi. Waktu istirahat itu tidak pernah cukup," ujar Youmna.

Identitas pers yang tersemat di rompi dan helm yang digunakan juga dalam beberapa kasus malahan menambah risiko hidupnya. Youmna menceritakan identitas sebagai pers tersebut membuatnya mudah dikenali dan ditargetkan, bukan hanya peluru tapi juga bom.
"Bukan hanya soal bom dan peluru, ini soal kenyataan bahwa Anda benar-benar ditargetkan secara langsung, dan khususnya karena Anda adalah seorang jurnalis. Itulah hal paling sulit dan paling berbahaya," bebernya.
Sekarang, perempuan ini harus ditarik keluar dari Gaza akibat ancaman keamanan yang semakin menyulitkan. “Di gaza, ketika Anda adalah seorang jurnalis, tidak hanya Anda berada dalam bahaya, tapi juga keluarga Anda dan orang-orang yang Anda cintai terancam,” kisahnya.
Dia menceritakan bagaimana di tempat yang dirasa aman saja, dia dan keluarganya sempat meregang nyawa.
“Saya ingat, tiga hari setelah genosida mulai, saya hampir terbunuh di Jabalia Camp. Semua orang berada di sana karena disebut-sebut sebagai tempat aman tapi Israel malah jatuhkan bom. Saya tidak menemukan anak saya, semua orang berhamburan. Saya mengambil gawai saya dan mengirim pesan pada keluarga, ‘jika saya mati, saya ada di Jabalia Camp’," cerita Youmna, mengenang mimpi buruknya itu.

Rangkaian kejadian yang dialaminya pada masa konflik menimbulkan trauma tersendiri. Belum lagi bahaya yang juga menghantui anggota keluarganya. Namun, justru keluarganya jugalah yang menguatkannya.
“Satu hari, saya di kamar dan menangis karena merasa demikian hancur. Anak saya yang berusia 8 tahun masuk ke kamar dan berkata, ‘Ibu, kamu tidak boleh menangis. Kalau Ibu lemah, kita nggak akan selamat,’. Hari itu saya berhenti menangis. Sampai saat ini saya tidak bisa menangis karena harus bertahan kuat. Gaza masih berjuang,” tuturnya.
Sebagai seorang ibu, istri, dan perempuan yang menjadi jurnalis. Youmna berpesan agar para jurnalis perempuan terus bersuara dan menyadari betapa pentingnya tugas mereka.
"Suara Anda menjangkau dan memengaruhi banyak perempuan lain di seluruh dunia. Perempuan-perempuan ini akan membentuk generasi muda, membesarkan mereka menjadi generasi yang kita butuhkan untuk menjaga kebebasan dan ketangguhan kita di seluruh dunia," ujar Youmna.
Nyawa dan Kamera di Garis Depan
Kamera alat untuk melakukan perlawanan perjuangan membebaskan tanah kami," Maher Atiya Abu Quota Juru Kamera Al-Jazeera di Gaza.
Semua orang di seluruh dunia meminjam mata dan telinga para jurnalis di Gaza, Palestina, untuk mencoba memahami kejadian sebenarnya. Di tengah kondisi yang serba tertekan dan mengganggu perasaan serta pikiran, awak media harus bertahan.
"Kalau aku tidak profesional dunia akan tahu kabar hoaks atau kabar yang tidak terverifikasi," ujar Maher, kepada kontributor Tirto.
Juru Kamera Al-Jazeera ini mengatakan, tugasnya bukan hanya merekam bangunan yang menjadi reruntuhan akibat bom. Maher menjelaskan penting untuk menyampaikan hal-hal manusiawi seperti kehilangan dan penderitaan.

Hal ini juga dia sadari seiring dengan tugas melaporkan kejadian dari Jalur Gaza, sejak serangan Israel pada Oktober 2023. Ada dua kejadian yang sampai hari ini masih mengganggu emosnya.
Pengalaman pertama yang paling membekas adalah saat melihat sebuah keluarga yang tinggal di rumah tiga lantai—rumah itu hancur total akibat pengeboman. Di tengah puing-puing, terdengar suara lirih seorang anak kecil yang meminta tolong dari bawah reruntuhan.
Saat ditarik keluar, tangan anak itu muncul lebih dulu, berlumuran darah. Dari seluruh anggota keluarga di rumah itu, hanya sang ayah dan anak kecil tersebut yang berhasil selamat.
Pengalaman lainnya, saat ia ke kamar mayat di rumah sakit. Dari 200 jenazah yang tewas, Maher melihat seorang ibu yang terus memeluk anaknya. Ibu itu menolak kenyataan anaknya telah tiada.

Maher menjelaskan menghadapi dan melihat kondisi-kondisi tersebut yang mengguncang. Namun, profesionalisme harus tetap dijaga dan berfokus pada penyampaian berita. Sebab ada sangat banyak informasi yang tersebar tidak terverifikasi, apalagi di media sosial.
Dia mengatakan harus terus bekerja di tengah puing-puing dan tubuh manusia yang hancur karena bom. Di saat orang lain punya kuasa mengganti tontonan, kameramen di Gaza tidak punya opsi itu, mereka harus menyorot semua, merekam kebrutalan setiap hari. “Saya masih mencium bau darah itu. Mual pusing iba tak kuat bagaimanapun harus tetap merekam. Dunia harus melihat ini,” ujarnya.
Maher juga ‘terjebak’ dengan kondisi konflik. Mulanya menjadi jurnalis, mimpinya adalah menunjukkan kepada dunia kekayaan dan keindahan alam di Gaza.
"Gaza dulu hidup dalam keadaan aman, sentosa, ekonomi berjalan dengan baik. Laut dan pemandangan serta kulturnya yang sangat kaya. Saya belajar jurnalistik karena ingin mendokumentasikan keindahan di Gaza," terangnya.

Namun, semua itu berubah drastis saat dia harus menjadi saksi dan melalui masa-masa perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat. Tak ada lagi keindahan alam dan kekayaan budaya, yang ada kejahatan perang yang terjadi di Gaza. Hal ini mendorong Maher mengambil peran mengabarkan kejahatan perang pada dunia.
"Saat Ariel Shahron, pada awal tahun 2000-an melancarkan operasi untuk menodai Masjidil Al-Aqsa, (saya) banting setir mendokumentasikan kejahatan di Gaza," ujar Maher, menceritakan titik balik karirnya.
Dia pun masih menyimpan asa. Alasan lain Maher masih terus ingin menjadi jurnalis di tengah konflik, dia ingin melihat harapan-harapan yang dihancurkan bisa tumbuh kembali; seorang ibu melihat anaknya bahagia, sekolah tempat menanam mimpi dan cita-cita anak-anak, dan rakyat Palestina semua sejahtera.
"Gaza itu bukan sekadar batu-batuan, bukan sekadar runtuhan yang ada sekarang, bukan sekadar bangun bangunan-bangunan yang sudah tidak berpenghuni, sudah hancur. Namun, sudut pandang lain mengenai harapan," jelas Maher.
Ia juga meyakini bahwa suatu hari nanti, Gaza akan kembali merdeka, dan harapan-harapan yang kini tumbuh akan bersemi. "Insyaallah, pasti ya, Palestina itu akan merdeka," tutur Maher.

"Kami Telah Membayar Mahal, Lima Rekan Kami Meninggal"
Banyak jurnalis di Palestina yang meninggal saat melakukan petugas. Maher mengatakan, jumlah mencapai ratusan. "Per hari ini, 218 orang," rangkum Maher dengan bahasa Arab dialek Palestina.
Sementara itu, Kepala Biro Al-Jazeera di Gaza, Wael Al-Dahdouh, mengatakan Al-Jazeera telah membayar sangat mahal, dengan jumlah lima rekannya telah meninggal.
“Saya harus mengucapkan perpisahan pada teman saya, Samar Abu Daqqa tanpa bisa melihat tubuhnya yang terbujur kaku. Apa salah Abu Daqqa? Lalu apa dosa Mahmoud yang baru berusia 16 tahun, yang hanya ingin menyebarkan foto video kondisi Gaza! Apa salah Hamzah, yang hanya menjalankan tugasnya memberitakan,” ujarnya menjabarkan tiga di antaranya.

Wael yang kini tengah dievakuasi ke Eropa untuk dapatkan perawatan cedera lengan akibat serangan Israel, turut meramaikan acara talkshow di Bandung lewat siaran daring. Dia menyebut, pembunuhan terhadap para jurnalis merupakan strategi yang sistematis
“Biasanya Israel sudah memiliki target yang akan diserang. Misalkan Wael Al-Dahdouh, jurnalis Al-Jazeera di jalur Gaza. Alasannya? Tak tau apa,” terangnya.
Penulis: Akmal Firmansyah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































