tirto.id - Kala Honda Astra Motor (AHM) menyematkan embel-embel huruf "L" pada Honda CRF150L, ada pertaruhan besar yang harus ditanggung Honda. Huruf "L" adalah kependekan dari license, artinya motor ini andal di jalan raya maupun medan off road.
“CRF150L akan menghadirkan petualangan bagi pengendara setiap hari karena memberikan sensasi berkendara menyenangkan baik di jalanan penuh tantangan maupun di jalan raya,” kata Executive Vice President Director AHM Johannes Loman saat meluncurkan Honda CRF150L akhir 2017 lalu.
Motor pesaing Kawasaki KLX150BF ini memang punya tongkrongan seperti kebanyakan motor trail pada umumnya walaupun sedikit "manis" karena warna merah yang pas dan kerangka yang tertutup rapi bodi plastik. Penampilan di bagian kemudi terlihat sederhana, terpasang saklar lampu sein, klakson, dan tombol starter di sisi kiri dan kanan setang. Sementara panel meter digital terselip di bagian tengah. Panel meter itu dibuat sangat ringkas, memuat informasi kecepatan, indikator bahan bakar, dan odometer.
Sensasi duduk di atas jok “cungkring” CRF150L bagi mereka yang berpostur tinggi sekitar 170-an cm akan cukup mudah menguasai motor ini. Tinggi jok dari tanah 869 mm dengan bobot motor sekitar 122 kg, relatif ramah bagi postur orang Indonesia. Bagian kemudi CRF150L juga menyenangkan, dengan stang lebar dan posisi duduk relatif tegak jadi ciri khas motor penggaruk tanah.
Sebagai motor yang mengusung dua alam, CRF150L memiliki lampu depan berlekuk “V” sebagai instrumen pencahayaan utama untuk mendukung aktivitas on road. Sayang, lampu utama masih menggunakan bohlam standar sehingga pancaran sinarnya kurang maksimal saat hari gelap. Selain itu, sistem keamanan CRF150L pun terbilang minor, sebab lubang kunci saja masih menggunakan model konvensional tanpa ada magnetic key shutter. Model kunci seperti ini berpotensi menjadi sasaran empuk para bramacorah.
Saat mesin CRF150L dinyalakan, tak ada suara gahar, melainkan suara renyah dari knalpot yang menjadi refleksi dari ukuran mesin yang relatif kecil. Deru mesin cukup halus, rasanya tidak membuat telinga bising sekalipun masuk ke gang sempit perkotaan.
Motor ini punya impresi yang mengentak pada gigi satu saat gas dan kopling dibuka beriringan. Walaupun kompresi mesin hanya 9,5:1, tapi ukuran gear 48 membuat penyaluran tenaga lebih cekatan di tarikan bawah. Sayangnya, entakan torsi hanya terasa di beberapa detik awal, setelah itu eskalasi tenaga cenderung lamban.
Mesin berkapasitas 150cc pada CRF150L menggelontorkan tenaga 12,7 hp di 8.000 rpm, didorong torsi puncak 12 Nm di putaran 6.500 rpm, memang punya performa mesin lebih baik ketimbang kompetitor utamanya, Kawasaki KLX150BF. Mesin 150cc dengan sistem distribusi bahan bakar mengandalkan karburator pada KLX150BF hanya menyuplai tenaga 11,5 hp di 8.000 rpm dan torsi puncak 11,3 Nm di 6.500 rpm.
Di lain sisi, karakter mesin CRF150L ini memudahkan kami melibas jalanan macet yang butuh kemampuan stop and go yang cukup menyenangkan. Entakan kuat saat memulai akselerasi ini juga cukup berarti saat bertemu tanjakan ringan. Di dalam kota, kami memilih berkendara santai ketimbang jor-joran menggeber motor. Namun, sesekali tetap gas ditarik lumayan dalam saat lalu lintas senggang karena kami ingin memastikan seberapa cepat CRF150L bisa melesat. Kami memacu di jalan raya perkotaan, kecepatan tertinggi yang bisa dicapai berkisar 96 km/jam, memang masih ada tenaga yang tersisa tapi sulit digeber maksimal di lalu lintas perkotaan yang padat.
Beberapa tikungan tajam kami lahap selama perjalanan di dalam kota Jakarta. Asyiknya, CRF150L nyaman untuk diajak berliku-liku dengan gaya cornering ala supermoto, sambil sedikit beraksi melakukan countersteer supaya lebih cepat masuk tikungan. Bisa dibilang untuk urusan ini CRF150L, jadi motor yang menyenangkan.
Sayang untuk medan, luar kota seperti area pegunungan dan pantai, CRF 150L cukup kewalahan. Saat kami mencoba medan pedesaan di Naringgul Cianjur dan Cisewu Garut, tanjakan-tanjakan curam memang bisa dilalui, tapi dengan kondisi tarikan motor kepayahan terutama pada gigi satu saat tanjakan, ada efek suara meraung, saat transmisi dipindah ke gigi kedua, motor ini cukup ngos-ngosan melewati tanjakan curam.
Rasa penasaran pada motor masih belum terpuaskan, kami sempat menjajalnya di medan pantai berpasir di Pantai Rancabuaya, Garut. Beberapa kali CRF150L harus terjebak dalam lubang pasir. Ban tahu yang relatif cukup lengket saat di jalan beraspal kondisi kering dan tikungan, justru kali ini kewalahan. Kemampuan tarikan bawah motor ini yang andal tak berdaya saat ban terbenam pasir. Catatan lain, ban terasa kehilangan traksi saat melintas dan berpindah dari kontur jalan yang berbeda ketinggian.
Untuk urusan suspensi, motor CRF150L ringan dan empuk terutama bagian depan. CRF150L dibekali suspensi depan upside down Showa dengan diameter tabung 37 mm dan jarak travel 220 mm. Suspensi ini mampu mengakomodir beban dengan baik, sehingga motor tidak limbung ketika meliuk.
Kemampuan suspensi CRF150L dalam menyerap guncangan pun patut diacungkan jempol. Buat membuktikannya kami bereksperimen melindas tanggul tinggi dengan kecepatan tinggi. Walau sempat ragu, kami merasa lega karena motor mendarat tanpa masalah. Kombinasi garpu depan upside down dan suspensi prolink di belakang mampu mempertahankan titik keseimbangan.
Keandalan suspensi depan motor ini memang harus ditebus dengan harga yang sebanding. Suspensi jadi barang paling mewah yang tertanam di Honda CRF150L. Dari penelusuran kami, harga bekas suspensi upside down Showa di pasar sekunder mencapai Rp6 juta atau 20 persen dari harga motor CRF150L. Suspensi motor yang mantap CRF150L juga diperkuat dengan postur motor, padu padan lingkar roda 21 inci depan dan 18 inci belakang pantas dibilang proporsional.
Motor Trail Saat Berboncengan
Honda yang menyiapkan CRF150L sebagai kendaraan yang "ramah" di jalan raya memang butuh ujian untuk dua penumpang. Kami sempat mengajak rekan buat jadi penumpang di belakang. Ada beberapa hal yang membuat perjalanan terasa sulit menunggangi CRF150L saat berboncengan.
Sepertiga bagian depan jok diletakkan menukik mengikuti alur tangki bahan bakar sehingga tidak nyaman diduduki. Hal itu membuat pengendara dan pembonceng harus berbagi tempat yang amat minim. Bahkan, rekan kami harus duduk di area buntut yang berbahan plastik. Kami rasa motor ini tidak direkomendasikan untuk berboncengan, karena ukuran jok yang kurus dengan busa keras jauh dari kesan nyaman. Selanjutnya, masalah klasik pada motor jangkung, yaitu penempatanpijakan kaki terlalu tinggi membuat kaki penumpang tertekuk. Lima menit saja penumpang sudah meringis didera rasa pegal.
Keluhan lain yang timbul ketika membawa penumpang dengan CRF150L, ialah model knalpot udang dengan silincer bertengger tepat di bawah jok berisiko menyengat paha pembonceng. Sebenarnya ini bisa dihindari jika knalpot dibalut kover plastik yang menutupi seluruh area silincer. Namun, pada CRF150L tudung plastik hanya mengawal sebagian area silincer, sedangkan sebagian lain dibiarkan terbuka.
Kemampuan CRF150L tidak superior untuk motor yang disebut-sebut sebagai "amfibi". Di jalan aspal, motor ini tidak mampu berakselerasi dan kecepatan dengan baik karena mesin loyo di putaran tengah ke atas. Tenaga mesin dan traksi roda tidak cukup beringas buat menaklukkan jalur tanah maupun pasir yang licin.
Sayangnya, suspensi motor trail ini yang sudah aduhai, tapi kondisi dan desain jok yang masih mengusung konsep total motor trail yang sempit dan keras, jok motor ini cukup "menggigit" bokong bagi pengendara yang menjelajah perjalanan jauh. Honda nampaknya perlu melakukan pembenahan pada motor ini ke depannya, dengan fokus menggarap segmen ini yang benar-benar andal di medan perkotaan atau sebaliknya, sehingga tak membuat motor ini serba tanggung.
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra