tirto.id - Perancang busana John Galliano tega bikin orang ‘sakit mata’ menyaksikan potret koleksi adibusana musim semi 2019 yang dipamerkan di ajang Paris Couture Week, 22 Januari lalu.
Busana-busana yang ia desain untuk label fesyen Maison Margiela terbuat dari kain satin dengan motif mirip grafiti. Bedanya, motif karya Galliano tak melulu menyiratkan bentuk atau tulisan yang jelas. Satu-satunya bentuk yang jelas hanyalah anjing pudel biru yang terlihat pada beberapa bagian baju. Selebihnya motif kain nampak seperti garis-garis berwarna merah, kuning, hijau, dan ungu yang saling silang sengkarut.
Katanya, koleksi busana itu kerap menampilkan trench coat dan celana. Kenyataannya, proses mengenali dua jenis baju itu pun ibarat memecahkan teka-teki. Yang harus dilakukan agar bisa menemukannya ialah melepas bayangan tentang bentuk lazim trench coat. Di tangan Galliano, trench coat berfungsi sebagai bawahan. Ia menggunting bagian kerah, membalik posisinya, dan menjahitnya pada bagian bawah busana.
Demikian pula dengan celana. Jangan bayangkan celana dipakai di pinggang. Celana versi Galliano dipakai sebagai atasan atau blus. Bagian lingkar pinggang berubah jadi bagian kerah yang menutupi pundak.
Dekaden—demikian sang desainer asal Gilbraltar menamai koleksi musim ini. Kepada I-D ia menuturkan bahwa sekarang adalah saat tepat untuk mengangkat tema tersebut. Mengapa? Karena dunia semakin kacau akibat konten yang berseliweran di media sosial. Kekacauan itu kadang membuat orang sulit membedakan antara realitas offline dan online. Galliano merasa perlu melawan hal itu dengan menciptakan ‘kekacauan’ tersendiri.
Ia mengaku terinspirasi novel À rebours karya penulis Perancis Joris Karl Huysmans yang terbit pada 1884. Dalam Fictions of British Decadence (2006), sejarawan sastra Inggris Kirsten MacLeod menyatakan À rebours sebagai salah satu ikon sastra dekaden pada paruh kedua abad ke-19. Gerakan di kalangan sastrawan dan seniman Perancis pada 1880-an ini lahir akibat gejolak politik dan sosial sepanjang abad 19. Para seniman memberontak melawan tradisi artistik yang dipopulerkan oleh akademi-akademi kesenian, merayakan fesyen dandy, dan ramai-ramai menolak apa yang dipandang bermoral oleh masyarakat.
À rebours berkisah tentang Jean des Esseintes, pria borjuis yang memutuskan tinggal di pedesaan dan enggan berinteraksi dengan orang lain. Ia membuat tempat tinggal seunik mungkin, salah satunya dengan mendesain ruang tamu bak kabin kapal laut yang dikelilingi akuarium. Des Esseintes pun dikisahkan mengoleksi benda-benda aneh seperti bunga beracun.
Salah satu prinsip hidup Huysmans berbunyi begini:“Aku tidak menyukai hal yang disukai orang lain.” Pernyataan itu adalah responsnya kala diminta menjalani hidup layaknya kaum elit di Paris.
“Koleksi Galliano adalah interpretasi bab 10 yang mengisahkan kepeningan des Esseintes akibat melakukan eksperimen dengan hal-hal yang ada di sekitarnya,” tulis Osman Ahmed, jurnalis I-D.
Galliano boleh saja bilang ia baru mengangkat tema dekaden pada tahun ini. Tetapi, sebetulnya, karya-karyanya selalu nampak senada, terutama sejak ia bergabung dengan rumah mode Maison Margiela pada 2015. Hampir seluruh koleksi adibusana Galliano punya desain acak-acakan, seolah mengamini pesan des Essientes soal kehidupan yang asal beda dan nyeleneh itu.
Dandyisme lahir tepat di era dekaden itu. Istilah ini awalnya melekat pada pria flamboyan bernama Beau Brummell, seorang trend setter pada pertengahan abad 19 sekaligus konsultan gaya keluarga kerajaan Inggris.
Merujuk Fashion: The Definitive History of Costume and Style (2012), busana yang disebut dandy kala itu umumnya berupa kemeja linen kerah tinggi, waistcoat berwarna pucat yang dibuat pas badan, blazer kancing ganda berbentuk A—pendek di depan, panjang di belakang—yang juga didesain sesuai ukuran tubuh, celana pantalon, dan topi hitam.
Para perempuan mengenakan gaun berkerah tinggi dan bagian rok yang tidak begitu lebar dengan aksen drape (lipatan) pada beberapa bagian busana.
Galliano mengisi pekan mode adibusana yang paling diagungkan penikmat mode dengan menampilkan desain baju compang-camping tidak karuan—dan orang tetap menyebut itu terobosan haute couture.
Dalam Haute Couture (1995), Richard Martin dan Harold Koda menyatakan “Haute Couture merepresentasikan perpaduan fesyen—entitas modern yang membawa kebaruan—seni membuat busana, dan kerajinan tangan seperti aksesori. Istilah ini muncul pada pertengahan abad ke-19 kala para seniman tengah merintis apa yang kelak disebut sebagai seni modern.
Istilah adibusana dicetuskan perancang busana asal Inggris Charles Worth sebagai penyataan sikap pelaku mode yang menolak tunduk pada produksi massal busana yang menggunakan mesin.
Martin dan Koda sepakat bahwa gerakan haute couture dalam fesyen sama halnya dengan kubisme dan futurisme pada ranah seni, serta karya Charles Baudelaire pada lingkup sastra.
Adibusana versi Worth ialah baju yang diciptakan untuk kaum sosialita. Worth melakukan terobosan dengan memberi saran pada klien soal busana yang cocok mereka kenakan. Pada masa itu, biasanya orang-orang kaya datang pada penjahit dan meminta dibuatkan baju sesuai keinginan mereka. Worth justru menempatkan diri sebagai seorang desainer plus konsultan.
Ia menggunakan kain-kain premium seperti sutra, memadukannya dengan jenis kain lain seperti chiffon, kemudian membordir dan menghiasnya dengan manik-manik. Pada masa itu, jenis baju karya Worth dibilang inovatif.
“Kedengarannya memang ironis, tetapi haute couture baru berkembang setelah Perang Dunia II dan diawali dengan koleksi Christian Dior bertajuk New Look yang diciptakan pada 1947. Busana karya Dior itu menyiratkan keterampilan membuat adibusana yang mumpuni,” ungkap penulis yang juga berprofesi sebagai kurator seni.
Busana yang dimaksud ialah bar suit, paduan jaket berupa blazer yang memiliki siluet ramping pada bagian pinggang dengan rok hitam lebar berbahan wol. Penulis fesyen Diana Vreeland menilai busana ini sebagai tanda kesuksesan Dior lantaran mampu membuat orang-orang di dalam dan luar Paris mendatanginya untuk dibuatkan pakaian. Usai Perang Dunia II, Dior adalah desainer pertama yang didatangi banyak klien.
Sampai saat ini, sebagian besar desainer adibusana masih berpegang pada prinsip Worth. Pameran adibusana kerap jadi ajang pamer keahlian dalam membuat busana dengan teknik serumit mungkin dan se-elegan mungkin.
Elemen fesyen era dekaden tahun ini bisa ditemukan pada label busana Christian Dior dan Valentino.
Editor: Windu Jusuf