Menuju konten utama

Turtleneck: Dipopulerkan Agitator Sayap Kiri, Berakhir di Syahrini

Turtleneck atau baju berkerah tinggi mengalami perubahan makna seiring zaman.

Turtleneck: Dipopulerkan Agitator Sayap Kiri, Berakhir di Syahrini
Pemimpin Black Panther Bobby Seale (21/11/68). FOTO/AP

tirto.id - Apapun yang dikenakan Princess Syahrini nyaris tak pernah luput dari sorotan media dan perbincangan warganet. Beberapa hari lalu, media sosial Instagram sempat ramai oleh kabar busana yang dikenakan Syahrini dalam video klip lagu terbaru berjudul "Cintaku Kandas". Syahrini mengenakan dua jenis atasan kerah tinggi atau turtleneck.

Dua hari setelah video tayang, akun Instagram Fashion Syarini yang memuat keterangan busana dan aksesori milik Syahrini, mengabarkan baju tersebut bermerek Wolford dan dijual sekitar enam jutaan rupiah. Wolford ialah produsen busana asal Austria yang fokus memproduksi busana dalaman seperti tanktop, bodysuit, stocking, dan lingerie. Sampai hari ini, lini busana Wolford belum dijual di Indonesia.

Keputusan Syahrini mengenakan turtleneck menyiratkan keinginannya untuk terus mengikuti tren gaya busana. Menjelang pengujung tahun, turtleneck jadi benda fesyen yang dijagokan para pebisnis retail dan desainer busana. Coba saja tengok toko retail sejenis Uniqlo. Ketika bulan November tiba, beberapa jenis turtleneck biasanya dipampang di rak paling depan dengan tambahan label harga promosi. Papan reklame yang tertancap di atas rak pakaian di dalam toko menampilkan sejumlah referensi gaya padu padan busana dengan pullover.

Situs-situs fesyen juga menampilkan referensi gaya para selebritas ternama yang tampil mengenakan pullover. Tahun ini referensi padu padan gaya dengan mengenakan pullover diantaranya datang dari selebritas seperti Chloe Sevigny, Bella Hadid, Gigi Hadid, Kendall Jenner, Victoria Beckham, Lily Collins, dan Taylor Swift. Di tubuh mereka, pullover dipadukan dengan kemeja bermotif, jaket bulu berukuran maksi, long coat, hingga coat bermotif animal print.

Jauh sebelum jadi alat tampil modis, pullover dikenakan para atlet polo pria pada pertengahan abad 19. Orang yang hidup di zaman itu menyebutnya sweater atau polo neck. Beberapa tahun kemudian, polo neck berbahan wol dikenakan oleh tentara dan nelayan.

Pullover untuk wanita lahir pada abad ke-20 dan segera menjadi simbol penampilan tampilan feminim. Anggapan tersebut muncul lantaran ilustrator Charles Dana Gibson rutin mempublikasikan gambar perempuan berbusana kerah tinggi yang lantas dinilai sebagai cerminan penampilan ideal wanita pada zaman itu.

Pada dekade 1960-an, pullover identik dengan lambang aktivisme dan pemberontakan kaum muda. Pada masa itu, muncullah Juliette Greco, seorang penyanyi Perancis idola kaum muda yang sulit dilepaskan dari polo neck hitam. Greco beredar di kawasan Rive Gauche (sisi kiri Sungai Seine), Paris, tempat kumpulnya para seniman, penulis, sutradara, filsuf, dan intelektual seperti Erik Satie, Gertrude Stein, Scott Fitzgerald, Picasso, dan Sartre. Ada banyak foto yang menunjukkan mantan kekasih Miles Davis ini mengenakan pullover hitam.

Di belahan dunia Barat, akhir dekade 1960-an dikenal sebagai zaman protes. Para mahasiswa dan buruh Amerika turun ke jalan menolak Perang Vietnam. Pada Mei-Juni 1968, Paris lumpuh total akibat pemberontakan anak-anak muda sayap kiri. Di Cekoslowakia, kaum muda menolak komunisme ala Soviet dan bereksperimen dengan "Sosialisme Berwajah Manusia" sebelum akhirnya digilas tank-tank Moskow.

Sebagaimana dicatat Richard Ivan Jobs dalam “Youth Movements: Travel, Protest, and Europe in 1968” (2009), setidaknya ada empat hal yang selalu hadir dalam protes-protes itu: rambut gondrong, jins, brewok, dan ... turtleneck.

Infografik Turtleneck

Infografik Turtleneck

Panorama serupa juga hadir di AS pada 1966. Pada tahun itu, lahir Black Panther Party, ormas sayap kiri yang memperjuangkan nasib warga kulit hitam dari perlakuan rasis aparat keamanan. Para anggotanya selalu mengenakan 'seragam kebangsaan' berupa rambut Afro dan turtleneck yang dipadukan dengan jaket kulit. Sebuah dokumentasi acara malam penggalangan dana di kediaman di kediaman komposer Leonard Bernstein pada 1970 memperlihatkan pemandangan itu.

Acara malam itu digelar dalam rangka membantu Donald Cox, salah satu pentolan Black Panther yang terancam masuk penjara. Jurnalis New York Magazine Tom Wolfe yang bertugas meliput pertemuan tersebut memotret sosok-sosok penting yang sama-sama mengenakan pullover hitam. Wolfe menyebut gaya tersebut “Radical Chic”, sebuah ejekan yang ia lontarkan pada sebagian elite kulit putih yang bersimpati pada gerakan kulit hitam atau kelompok kiri secara umum.

Pemberontakan anak muda 1960-an di AS terinspirasi oleh sebuah gerbong kesusastraan yang mencuatkan nama novelis Jack Kerouac dan penyair Allen Ginsberg. Beat Generation, demikian angkatan itu lazim disebut di media, kelak dianggap memberi pengaruh besar Bob Dylan, The Beatles, dan banyak musisi sezaman lainnya. Generasi Beat mempopulerkan "turtleneck hitam, kacamata hitam, sampai cara hidup yang nampaknya menarik untuk ditiru,” tulis Johnson Joyce dalam Minor Characters: A Beat Memoir (1987).

Kolumnis fesyen New York Times Vanessa Friedman mengatakan begitu jins sobek-sobek dan kaos tye-dye ala Hippie atau peniti di pakaian anak-anak punk Inggris tiba-tiba masuk catwalk, sulit untuk menganggapnya lagi sebagai ekspresi kemarahan atau pemberontakan. Hal yang sama berlaku juga buat pullover, jenis pakaian yang awalnya dikenakan karena nyaman dan fungsional kini berubah jadi benda yang wajib diproduksi desainer fesyen ternama. Sebut saja Issey Miyake, Michael Kors, Joseph Altuzzara, dan Yves Saint Laurent.

Belakangan, pullover nampaknya kembali jadi simbol protes setelah GQ memotret Colin Kaepernick, atlet sepak bola Amerika yang sempat jadi kontroversi ketika memilih duduk saat lagu kebangsaan AS dimainkan menjelang permainan. Di sampul GQ, ia persis berdandan seperti anggota Black Panther: berambut afro dan mengenakan turtleneck, tentunya.

Baca juga artikel terkait TREN FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf