tirto.id - Sebelum suaminya terpilih sebagai presiden AS ke-44, Michelle Obama bukan tipe wanita yang mementingkan gaya busana. Wajar, perempuan yang lahir dan besar di selatan Chicago ini sempat kebingungan bagaimana harus bergaya. Posisinya sebagai ibu negara AS kulit hitam pertama membuat Michelle gamang. Tampil terlalu glamor, salah. Terlalu sederhana, juga salah. Demikian pikirnya waktu itu.
Sejak itu ia merasa butuh pengarah gaya busana.
“Aku tak pernah menyangka akan jadi orang yang harus mempekerjakan orang lain untuk mengurus penampilan. Awalnya tidak nyaman,” kata Michelle kepada majalah Elle.
Obama awalnya ingin menggandeng seorang pemilik butik di Kota Chicago bernama Ikram Goldman sebagai pengarah gaya. Di Chicago, Goldman terkenal sukses sebagai distributor produk-produk adibusana karya Proenza Schouler dan Prabal Gurung. Sayang, Ikram terlalu sibuk sehingga merekomendasikan Meredith Koop, seorang staf di tokonya, untuk menjadi pengarah gaya Michelle.
Obama dan Koop sepakat gaya busana harus mencerminkan keragaman desainer. Mereka memutuskan untuk memilih busana dan aksesoris karya desainer muda seperti Jason Wu, Thakoon, Brandon Maxwell; pengusaha mode yang namanya belum populer semisal Maria Pinto; hingga perusahaan retail kelas menengah. Koop sang pengarah gaya berupaya selalu mendandani ibu negara dalam busana ketat. Sebagian besar busana yang dipilih adalah rok dan terusan. Kesannya hampir selalu sama: sederhana, elegan, dan sopan.
Di tangan Koop, Michelle menjelma ikon fesyen. Media menyebutnya "fashion influencer". Sebelumnya, istilah tersebut sempat disematkan pada Ibu Negara Jackie Kennedy yang kerap tampil mengenakan blazer dan topi berwarna pastel.
Busana dan aksesoris Michelle kerap mengejutkan publik dan laris di pasaran. Misalnya saat ia mengenakan lini retail kelas menengah J. Crew. Publik terkejut lantaran menyaksikan istri presiden berani mengenakan barang murah. Menurut laporan Time, busana J. Crew yang dikenakan Michelle saat berkunjung ke Inggris habis dalam waktu beberapa jam setelah potretnya tersebar di media sosial.
Kamis (20/12), Michelle tampil dalam acara bincang-bincang di Barclays Center, New York City. Ia mengenakan busana dan aksesori yang didesain oleh Demna Gvasalia untuk label Balenciaga. Terusan panjang kuning satin dengan belahan di bagian tengah itu dipadukan dengan boots sequin abu-abu setinggi paha. Dilansir dari Vox,boots Balenciaga seketika jadi trending di Twitter dan nyaris ludes terjual.
“Sekarang aku bebas memakai apapun yang kumau,” kata Michelle. Kini, pertimbangan Michelle memilih busana lebih sederhana: menarik pada pandangan pertama atau tidak. Sementara Koop ingin memberi kesan berbeda pada tampilan Michelle melalui busana-busana berpotongan longgar.
Di ranah mode, sepatu bot sepaha (thigh boots) sempat dikaitkan dengan fetisisme seksual. Kesan itu awalnya muncul pada zaman Victoria di Inggris. Menurut Margo DeMello dalam Feet and Footwear, A Cultural Encyclopedia (2009), pada zaman itu terjadi wabah penyakit menular seksual, sampai-sampai orang berusaha mencari benda pemuas hasrat seksual untuk menggantikan manusia. Ada anggapan kaki perempuan yang dibalut boots ketat nan tinggi mampu meningkatkan gairah seksual.
Ide boots khusus wanita dicetuskan oleh Ratu Victoria pada 1840. Menurut Victoria, boots bisa jadi padanan yang tepat bagi rok lebar. Masih menurut DeMello, gagasan itu dituangkan ke dalam berbagai model sepatu bot, misalnya ankle boots yang dilengkapi tali dan kancing.
Sebelum lekat dengan kesan fetish, boots dianggap melambangkan emansipasi wanita. Women from The Ankle Down: The Story of Shoes and How They Define Us (2012) karya Rachelle Bergstein mencatat bagaimana boots menunjukkan betapa perempuan semakin punya banyak aktivitas.
Boots juga menandakan bahwa perempuan melakukan kegiatan yang membutuhkan postur tubuh serta stamina prima seperti naik gunung, berkuda, dan bersepeda. “Boots mengindikasikan kekuatan fisik dan moral perempuan serta tekad mereka untuk menerima tantangan. Boots menandakan wanita punya kekuatan yang setara dengan pria sekaligus rasa empati,” tulis Bergstein.
Kepopuleran boots tinggi mencapai puncaknya pada 1960-an. Bergstein menyatakan kepopuleran boots saat itu dipantik oleh biduanita Nancy Sinatra menyanyikan lagu "These Boots Are Made for Walking". Dalam videoklip lagu tersebut, Sintara mengenakan boots tinggi. Sejak itu, boots tinggi laris manis di kota New York.
Saat itu boots tinggi juga disebut gogo boots dan jadi salah satu ciri gaya subkultur mod yang tumbuh di Amerika Serikat pada. Perempuan pada masa itu biasanya memadukan boots dengan terusan atau rok mini.
Pada 1990-an, thigh boots kembali populer lantaran dikenakan Julia Roberts di film Pretty Woman. Saat itu, boots tinggi berkonotasi seksual lantaran dikenakan seorang pekerja seks komersial. Dalam Pretty Woman sendiri, sepatu Roberts berwarna hitam mengkilap. Film muncul beberapa tahun setelah subkultur Bondage, Domination, Submission, Masochism (BDSM) marak di AS. Model sepatu Roberts mengingatkan publik akan subkultur tersebut.
“Mereka biasanya mengenakan sepatu hak yang tingginya mencapai paha. Material sepatu yang populer di kalangan komunitas itu (BDSM) ialah lateks dan kulit. Salah satu produsen boots tinggi yang tersohor adalah Kinky Boot Factory asal Inggris yang awalnya menciptakan sepatu tersebut untuk seorang waria,” catat DeMello.
Memasuki dekade 2000-an, thigh boots jadi benda yang populer di kalangan pesohor. Warnanya tak hanya hitam dan bahannya tak sebatas kulit, tapi juga suede dan plastik. Konotasi BDSM pun pelan-pelan luntur. Boots sepaha bahkan jadi pelengkap gaya informal untuk acara-acara kasual. Salah seorang pesohor yang mempopulerkan boots sepaha adalah Kim Kardashian. Paparazzi pernah pernah memotretnya saat ia mengenakan boots tinggi transparan yang dipadukan dengan shirt dress denim. Di lain kesempatan, Kardashian mengenakan boots tinggi yang dirancang suaminya, Kanye West.
Posisi Kim sebagai pelopor thigh boots era 2000-an boleh jadi akan tergeser oleh Michelle Obama karena keberanian sang mantan ibu negara mengenakan model sepatu yang lebih mencolok dan berani. Gvasalia memang desainer yang gemar melakukan eksperimen dalam mendesain aksesori. Bagi Gvasalia, dunia mode butuh terobosan lewat desain eksperimental yang tak melulu harus terlihat elegan.
Editor: Windu Jusuf