Menuju konten utama

Citra Culun Cewek Berkacamata: Ah, Itu Akal-Akalan di Film Saja

Mengacu pada logika Hollywood, kacamata diyakini sebagai penghalang perempuan menuju penampilan yang memesona. Apa kata penelitian tentang ini?

Citra Culun Cewek Berkacamata: Ah, Itu Akal-Akalan di Film Saja
Header diajeng Cewek Berkacamata. tirto.id/Quita

tirto.id - Sudah tentu, ada banyak hal yang tidak masuk akal dalam film-film.

Salah satunya, lazim ditemui di film remaja romantis, adalah adegan makeover pada gadis nerd, kutu buku berkacamata yang “jelek” dan culun, menjadi super cantik.

Trope klise ini tecermin dalam film The Princess Diaries (2001) yang dibintangi oleh Anne Hathaway.

Hathaway memerankan karakter Mia Thermopolis, seorang gadis remaja cerdas yang kerap mengalami perundungan karena penampilannya yang culun dan sikapnya yang canggung. Ia berteman dengan Lilly dan Michael yang juga gemilang dalam hal akademik.

Hidup Mia seketika berubah ketika ia dinyatakan sebagai pewaris tahta Kerajaan Genovia. Mia pun harus menjalani transformasi yang dramatis dari gadis kutu buku menjadi seorang putri.

Rambut ikalnya yang tebal menjadi lurus, alisnya yang berantakan dicabut satu persatu agar rapi, dan ini yang paling menentukan: kacamatanya ditinggalkan.

“Kamu pakai kontak lensa?” tanya Paolo—stylist yang melakukan makeover pada Mia.

“Aku punya, tapi tidak suka pakainya,” jawab Mia lugu, yang direspons dengan aksi Paolo merusak kacamatanya yang berharga. Dengan begitu, Mia dipaksa pakai kontak lensa.

Lalu, secara ajaib, ia terlihat bak putri kerajaan.

Tak hanya Mia, karakter gadis culun yang baru dianggap cantik jika melepas kacamatanya sudah hadir di film-film komersial sejak berdekade-dekade lamanya.

Sebut di antaranya film hitam putih tahun 1954 The Big Sleep, Batman Returns (1992), She’s All That (1999), serial Pretty Little Liars (2010-2017), film Bollywood Dilwale Dulhaniya Le Jayenge (1995), hingga serial drama Korea True Beauty (2020).

Karakter gadis berkacamata dalam film-film tersebut umumnya memiliki IQ yang tinggi dengan karakter pemalu dan kikuk, tidak populer, rambutnya keriting tidak terawat atau diikat dengan gaya kuncir kuda.

Mereka biasanya berteman dengan anak culun lainnya. Pastinya, mereka naksir dengan cowok yang ganteng dan populer.

Kebanyakan karakter nerdy girl juga dibuat tidak begitu peduli dengan penampilannya sampai tiba di titik mereka ingin mencuri perhatian si pujaan hati.

Di sinilah adegan makeover akan bekerja untuk membuat luluh karakter laki-laki yang diincar.

Makeover yang menghilangkan kacamata diamini dapat meningkatkan kepercayaan diri si tokoh protagonis sehingga membuat semua pandangan beralih padanya.

Ironisnya, semua aktris yang memerankan karakter gadis berkacamata ini pada dasarnya berpenampilan modis, atraktif, dan parasnya cantik, alias tidak culun, apalagi jelek.

Selama menonton trope usang ini, kita harus berpura-pura menganggap Anne Hathaway, Kajol, atau Moon Ga-young sebagai perempuan yang parasnya biasa-biasa sebelum makeover.

Pada waktu sama, trope ini memperkuat kesan bahwa perempuan berkacamata tidaklah menarik. Ingat puisi satir Dorothy Parker tahun 1926? “Men seldom make passes at girls who wear glasses—laki-laki jarang merayu gadis berkacamata”.

Mengacu pada logika Hollywood dengan trope nerdy girl ini, kacamata diyakini sebagai penghalang menuju penampilan yang memesona. Apakah pandangan tersebut dapat didukung secara ilmiah?

Sejumlah penelitian pernah mencoba menjawab pertanyaan ini, akan tetapi hasilnya belum konsisten.

Studi dari Lundberg & Sheehan (1994) menemukan bahwa orang yang memakai kacamata cenderung dipersepsikan sebagai kurang menarik dan tidak terlalu disukai. Di sisi lain, mereka juga dianggap lebih pintar, lebih sukses, dan lebih bisa dipercaya, berdasarkan temuan studi Brown, Henriquez, & Groscup (2008).

Penelitian yang dimuat dalam jurnal Perception (2019) membawa sudut pandang berbeda. Studi ini membantah anggapan bahwa kacamata berdampak negatif terhadap daya tarik seseorang.

Meski begitu, para peneliti mencatat bahwa kacamata bisa memberikan kesan wajah yang simetris—salah satu elemen penting dalam standar kecantikan yang dianggap universal. Hanya saja, efek ini ternyata belum tentu cukup untuk membuat pemakainya terlihat lebih menarik.

Sementara itu, studi yang dimuat dalam Journal of the Chinese Institute of Industrial Engineers (2012) menunjukkan bahwa peningkatan simetri wajah akibat penggunaan kacamata tidak secara signifikan meningkatkan daya tarik seseorang secara keseluruhan.

Nyatanya, media hiburan begitu gencar membentuk stereotip perempuan berkacamata sebagai kutu buku culun dengan performa akademik di atas rata-rata.

Pada waktu sama, narasi-narasi fiktif dari pojok studio Hollywood ini memosisikan kecantikan dan kecerdasan di kutub berlawanan, seolah-olah tidak bisa dimiliki secara bersamaan.

Jika seorang karakter perempuan digambarkan cerdas, biasanya ia tidak menarik secara fisik. Begitu pula sebaliknya—jika cantik, maka dianggap tidak pintar.

Pendekatan karakter-karakter perempuan ini kental dengan pandangan misogini yang menganggap perempuan tidak lebih dari sekedar objek kecantikan.

Di sisi lain, kita jarang sekali mendengar pujian atau tuntutan "beauty with brains" ditujukan kepada laki-laki.

Penulis Kaitlin Reilly dalam artikel opini berjudul "The Real Reason The Tired ‘Ugly Girl In Glasses’ Trope Needs To Die" menyatakan bahwa film sering menggunakan trope ini untuk menyampaikan pesan misogini, yakni perempuan cerdas tetap harus memenuhi standar kecantikan tertentu agar dianggap menarik.

“Melepas kacamata perempuan pada dasarnya berarti mengatakan, ‘Kamu bakal terlihat jauh lebih cantik kalau saja kamu tidak terlihat terlalu pintar,’” tulis Reilly.

Saat ini, tropenerdy girl with glasses masih banyak muncul dalam berbagai tayangan media dan evolusinya belum menunjukkan arah perubahan yang menjanjikan.

Dalam film Wicked (2024), misalnya, Glinda sempat mencopot kacamata Elphaba dalam adegan makeover yang diiringi lagu Popular.

Meskipun Glinda kemudian memasangnya kembali, Elphaba tak lagi terlihat mengenakan kacamata itu di sisa film.

Sudah waktunya kita bersuara lebih lantang dalam mengkritik trope seperti ini dan berhenti memberi ruang pada narasi-narasi misogini yang membuat perempuan merasa "tidak cukup" hanya karena tampil nyaman dan apa adanya.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih