Menuju konten utama

CIA Tuduh Rusia Meretas Email, Donald Trump Tak Peduli

Drama kemenangan Donald Trump masih berlanjut. Kini, CIA menuduh pemerintah Rusia sengaja meretas email agar Trump menang. Putin mengangkat bahu, dan Trump tetap woles.

CIA Tuduh Rusia Meretas Email, Donald Trump Tak Peduli
russian president vladimir putin antara foto/reuters/anatoly maltsev/pool/ox/15.

tirto.id - Sebulan lebih sudah Donald J. Trump menyandang gelar presiden terpilih Amerika Serikat. Tetapi tampaknya ia masih belum bisa tenang sampai nanti disumpah pada pelantikannya pada 20 Januari. Setelah Jill Stein, kandidat presiden dari Partai Hijau di AS menuntut penghitungan suara ulang karena menilai ada kecurangan, kali ini badan intelijen pusat AS alias CIA menuding Rusia turut campur tangan atas kemenangan Trump.

Melalui badan intelijen nasional alias Director of National Intelligence, 7 Oktober lalu, pemerintahan Barack Obama menuding bocornya email Komite Nasional Demokrat yang berkolusi untuk menjatuhkan Bernie Sanders sebagai calon presiden dari Partai Demokrat adalah ulah peretas individual dari Rusia. Tapi, setelah melakukan investigasi lebih mendalam, CIA menuding pemerintah Rusia terlibat dalam upaya peretasan itu.

Washington Post mewartakan CIA yakin sejumlah peretas pencuri email itu adalah bagian dari pemerintahan Rusia yang menginginkan kemenangan Trump. Dengan bocornya email itu sebulan sebelum pemilihan, elektabilitas Hillary dipastikan jatuh, dan Trump bisa menggunakan kebocoran itu sebagai senjata saat debat.

Dalam wawancaranya dengan NBC, mantan duta besar AS untuk Rusia Michael McFaul menyebutkan ada dua alasan Rusia melakukan hal ini. Pertama: “Karena ingin balas dendam pada Hillary Clinton. Vladimir Putin mengira Clinton campur tangan saat pemilihannya—di parlemen pada Desember 2011. Dia [Putin] sering bilang hal ini di depan publik, dan saya pernah mendengar dia bilang langsung.”

Sementara alasan kedua, McFaul menilai Trump punya sikap kebijakan politik luar negeri yang mendukung kebijakan-kebijakan Putin, sehingga mendukung Trump akan jauh menguntungkan bagi Rusia.

Presiden Barack Obama tidak tinggal diam. Ia menanggapi dugaan campur tangan Rusia ini secara serius dan meminta badan intelijen AS untuk mengusut ini hingga akhir jabatannya 20 Januari mendatang. Lewat juru bicara Gedung Putih Eric Schultz, Obama menolak yang dilakukannya disebut sebagai upaya menentang hasil pemilu.

“Kami [pemerintahan Obama] telah mengakui siapa yang memenangkan pemilu,” kata Schultz seperti dilansir The Guardian. Tapi menurutnya, kajian ini sangat diperlukan untuk menjunjung integritas kualitas pemilihan presiden di AS. Penyelidikan ini dilakukan Obama sebagai upaya peningkatan pertahanan dari serangan siber, kata Schultz.

“Sayangnya, kegiatan begini bukan hal baru yang dilakukan Moskow. Kami melihat mereka melakukan hal ini selama bertahun-tahun,” tambahnya.

Ucapan Schultz tak salah dan bisa dibuktikan. Thomas Rid dari Esquire mencatat sejumlah upaya Rusia melakukan serangan siber terhadap AS. Pada 1996, lima tahun setelah runtuhnya Uni Soviet, Pentagon mulai mendeteksi pelanggaran jaringan dari Rusia. Setiap kali ada penyusup dari Moskow masuk ke komputer pemerintah AS, alat pendeteksi akan bunyi menandakan ada dokumen dicuri.

Pada 1998, operator Rusia mengekstrak beberapa gigabita data dari komputer Angkatan Laut AS dalam satu sesi. Ini terjadi berulang-ulang, hingga Badan Intelijen Udara AS memperkirakan jumlah data yang dicuri tiga kali lebih besar dari Monumen Washington jika semua data itu dicetak. Tinggi Monumen Washington saja 169 meter.

Taktik Rusia makin canggih selama dua dekade berikutnya. Negara ini meretas satelit untuk menutupi jejaknya. Target utamanya berubah jadi misi politik dan target militer. Sampai akhirnya, untuk pertama kali, Rusia menggunakan operasi peretasan data sebagai upaya campur tangan pada sebuah putaran pemilu presiden. Serangan baru ini, menurut Esquire, bernama kompromat. Singkatan dari compromising materials alias bahan kompromi.

Kompromat dikembangkan sejak 1950, tapi baru dikawinkan dengan teknologi canggih pada 1999. Tentu, uji coba pertama dilakukan di dalam Rusia sendiri lebih dulu. Presiden Boris Yeltsin menggunakan sejumlah situs tak dikenal untuk menyerang oposisi saat pemilu parlemen menjelang dan korupsi memuncak pasca-Uni Soviet.

Salah satu kompromat paling sohor adalah yang dilakukan terhadap walikota Moskow, oposisi Yeltsin. Pada 2009, diplomat senior Inggris di Rusia dipaksa mundur saat video empat menitnya bercinta dengan dua perempuan pirang di rumah bordil tersebar online.

Target kompromat orang Amerika pertama? Victoria Nuland yang bekerja sebagai diplomat AS untuk Eropa selama masa kedua kepemimpinan Obama. Pada Februari 2014, saat puncak krisis di Ukraina, secara sembunyi-sembunyi, Nulan terekam sedang bicara via ponsel dengan duta besar Amerika untuk Kiev, ibukota Ukraina. Frustrasi dengan tanggapan woles Eropa tentang krisis Ukraina, Nuland menyerapah: “Fuck the EU.”

“Setidaknya yang terjadi pada Nuland jadi cegukan kecil pada hubungan Uni Eropa dan Amerika Serikat,” tulis Thomas Rid. “Tapi kampanye kompramat yang muncul tahun ini menyasar permainan yang lebih besar: sistem pemilu Amerika.”

Infografik Hantaman Trump Setelah Jadi Presiden Terpilih

Tetapi dalam wawancaranya dengan Bloomberg Oktober lalu, Putin mengaku dirinya tak seperti yang dituduhkan. “Kita tahu sendiri kalau peretas ada di mana-mana sekarang, dan jumlah mereka ada ribuan, banyak sekali. [...] kalau secara pemerintahan, intinya kami tak terlibat sama sekali,” katanya.

Putin malah mengingatkan rakyat AS, “Lagipula apa pentingnya siapa yang meretas dan menyebarkan surel itu? Intinya sekarang, publik jadi tahu kebusukan yang disembunyikan [Hillary], dan janganlah teralihkan oleh apa yang sebenarnya tidak penting dari kisah ini,” tegasnya.

“Setiap hari situs Putin diserang sepuluh ribuan peretas. Serangan itu ketika dilacak banyak datang dari AS, tapi kami tak menyalahkan Gedung Putih atau Langley setiap saat,” kata seorang juru bicara Putin seperti dikutip The Guardian. Wakil Kementerian Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov menyindir lebih tajam. “Mengobarkan sentimen ‘Peretas dari Rusia’ sudah digunakan saat kampanye di pemilu AS. Dan sekarang digunakan pemerintahan sekarang, karena (mereka) tak rela untuk tidak menggunakan cara-cara licik,” katanya.

Trump sendiri makin percaya diri, setelah pemungutan suara ulang yang dituntut Jill Stein menyatakan ia tetaplah pemenang pilpres kemarin. Ia malah menyindir para petugas CIA dengan mengatakan, “Mereka ini orang yang dulu bilang Saddam Hussein punya senjata pemusnah massal lho. Toh pemilu sudah berakhir lama, dengan kemenangan sistem elektoral terbesar sepanjang sejarah. Sekarang saatnya maju ke depan, dan membuat Amerika hebat lagi.”

Baca juga artikel terkait RUSIA RETAS EMAIL AS atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Politik
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani