tirto.id - Pada Jumat (13/3/201) pekan lalu, siang jelang sore, Presiden Joko Widodo mengatakan ada "34 kasus [Corona COVID-19] telah terkonfirmasi di Indonesia." Ia juga mengatakan "dua pasien meninggal dunia."
Pernyataan Jokowi ini semestinya mengacu data per Rabu (11/3/2020), karena pada Kamis (12/3/2020), juru bicara pemerintah untuk penanganan Corona Achmad Yurianto mengatakan tak ada penambahan pasien positif apalagi meninggal.
Masalahnya, dalam data per 11 Maret, jumlah korban meninggal karena positif Corona bukan dua seperti pernyataan Jokowi, tapi satu. Ia adalah seorang WNA perempuan berusia 53 tahun, disebut 'kasus ke-25'. Kasus ke-25 diumumkan meninggal pada 10 Maret. Ia meninggal saat dirawat di RSUP Sanglah, Bali. Jokowi sendiri tidak menyebut nomor kasus dua orang meninggal itu.
Beberapa jam setelah Jokowi menyebut "dua pasien meninggal dunia," Achmad Yurianto kembali menggelar konferensi pers. Ia menyebut total pasien positif mencapai 69, tiga di antaranya meninggal dunia: kasus ke-35, 36, dan 50.
Apabila merujuk ke pernyataan Jokowi, semestinya jumlah pasien meninggal itu lima orang per 13 Maret malam. Namun Yuri menegaskan yang meninggal ada empat.
Yuri bingung menjawab pertanyaan reporter Tirto soal korban yang disebut Jokowi. "Pertanyaan jelas, tapi saya bingung jawabnya," katanya, kemarin (15/3/2020).
Ia lantas mengatakan saat itu Jokowi belum menggunakan data terbaru. Namun jika benar begitu, semestinya yang Jokowi sebut satu korban meninggal, bukan dua, sebagaimana data per 11 Maret. Yuri tak mau ambil pusing dengan perbedaan tersebut. "Benerin saja, ya sudah," katanya. Maksudnya, meminta kami menggunakan data yang ia paparkan pada 13 Maret sore--69 kasus dan meninggal empat orang. Dengan kata lain, menganulir pernyataan Jokowi.
Meski jelas ada yang keliru, ia menegaskan tidak ada kesalahan data yang diberikan timnya ke Jokowi. "Ngapain ada miskomunikasi?" katanya.
Buruk Koordinasi, Bahaya untuk Publik
Pemerintah memang terlihat gagap dan buruk dalam berkoordinasi dalam menangani Corona. Selain 'salah data' seperti kasus di atas, ada pula kasus lain yang lebih fatal.
Pada 3 Maret lalu Yuri mengatakan ada seorang pasien di Cianjur, Jawa Barat, meninggal dunia "bukan karena COVID-19" meski ia berstatus suspect. Pasien tersebut berinisial D (50), seorang warga Bekasi yang menjalani perawatan di ruang isolasi Rumah Sakit Dr Hafidz (RSDH) Cianjur.
Namun pada Minggu kemarin, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan bahwa pasien tersebut dinyatakan positif terjangkit Corona. "Data terakhir, kami terima pasien positif," kata RK.
Istri dan anak D juga kini dipastikan positif Corona.
Yuri mengatakan perbedaan status pasien tersebut dapat terjadi karena pemeriksaan itu "butuh proses, tidak kemudian sekali datang langsung positif." Pasien dinyatakan positif dalam uji kedua, saat yang bersangkutan telah meninggal.
Dengan kata lain, pemerintah sendiri yang menyimpulkan dia negatif saat sebetulnya belum benar-benar dapat dipastikan.
Bagi pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, kasus-kasus di atas hanya membuktikan "buruknya koordinasi, baik dari tim pemerintah maupun Presiden. Jadi informasinya berbeda-beda."
Kepada reporter Tirto, Senin (16/3/2020), ia mengatakan pada akhirnya yang dirugikan dari kesemrawutan ini adalah publik. "Nanti dampaknya ke panic buying, terus ada penimbun masker, sembako, dan lainnya. Ini bahaya." Jika ini dibiarkan, tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah bisa berkurang.
"Bagaimana caranya publik tenang dan tidak panik? Transparansi informasi, peningkatan koordinasi," katanya. "Ke depan, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tidak parsial," pungkasnya.
Per Minggu kemarin, jumlah pasien positif Corona mencapai 117 orang. Salah satu yang dinyatakan positif adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino