Menuju konten utama

Cerita Warga Kali Ciliwung yang Hidup dan Terbiasa dengan Banjir

Warga Kali Ciliwung pada akhirnya terbiasa dengan banjir. Tak ada pilihan untuk mereka.

Cerita Warga Kali Ciliwung yang Hidup dan Terbiasa dengan Banjir
Foto Liputan Tentang Banjir. FOTO/Rizki Ramadhan

tirto.id - Sudaryanto (47) sedang memancing di bantaran Kali Ciliwung di tepi Jalan Raya Kampung Melayu ketika saya datang siang tadi (12/11/2018). Sudah setengah jam ia terpaku, tapi tak juga ada tangkapan. Sekalinya dapat, yang terjaring cuma sampah plastik.

Ia tampak tak peduli meski beberapa ratus meter di sebelahnya empat ekskavator mengeluarkan suara berisik.

Ekskavator itu sedang mengangkat lumpur dan sampah dari dasar kali. Sampah, dari mulai plastik, kayu, bambu, hingga batang pisang dan ban mobil akan ditumpuk di bantaran kali untuk dinaikkan ke truk. Bau sampah semerbak hingga ke jalan Kampung Melayu.

Ekskavator itu milik Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. Mereka bertugas mengangkut sampah dan lumpur dari dasar kali agar aliran air lebih lancar. Ini dilakukan untuk meminimalisir banjir yang dialami warga setempat karena hujan yang beberapa hari terakhir mengguyur Jakarta.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta menyebut lima kelurahan dari dua kecamatan di Jakarta terendam banjir. Di antaranya Kelurahan Cipinang Melayu, Cipinang Muara, Cawang, Pejaten Timur, dan Kampung Melayu.

Dua kilometer dari Sudaryanto, Jalan Pala II RW 4 Kelurahan Kampung Melayu baru saja terkena banjir. Banjir paling tinggi terjadi di RT 13 yang berada tepat di dekat Kali Ciliwung. Jalan di daerah ini cenderung menurun, rumah di kiri-kanan jalan rata-rata bertingkat, sisa genangan air masih membekas.

Seorang perempuan 63 tahun sedang duduk di dipan rumahnya tepat di pinggir Kali Ciliwung. Nenek Indun, begitu ia akrab disapa. Ia sedang melihat sampah yang lewat depan rumahnya. Matanya melirik ke sana sini, mengikuti aliran sampah.

Rumahnya persis di pinggir Kali Ciliwung, rumah itu diberi pagar bambu agar orang yang lalu lalang tak jatuh ke kali. Sampah-sampah plastik menyangkut di sela-sela pagar.

“Ini sampah sisa banjir semalam,” kata Indun kepada saya.

Indun bercerita, Senin (12/11) dini hari, sekitar pukul 01.30-02.00, banjir mengepung rumahnya. Ketika itu Indun tengah tidur bersama cucunya di lantai bawah. Menjelang banjir datang Indun mendengar suara gemuruh dari air kali. Ia sadar kalau kali telah meluap. Indun kemudian bangkit dan bersama anaknya memindahkan perabotan di lantai bawah ke atas.

“Saya enggak tahu berapa, tapi tingginya sampai segitu,” Indun menunjuk pintu rumah tetangga yang terdapat bekas tinggi air.

Banjir kemudian surut pukul sembilan pagi. Sisa lumpur dan genangan di lantai rumahnya kemudian dibersihkan.

Indun tak heran dengan banjir, sebab sepanjang umurnya ia selalu merasakan itu saban tahun. Ia telah tinggal di RT 13 sejak 1955, kemudian baru pindah ke rumahnya yang sekarang pada 1970.

Indun bercerita, berbagai jenis sampah selalu lalu lalang di kali tersebut, dan itu juga termasuk dari warga. Selain sampah, Indun beberapa kali melihat mayat lewat. Indun tidak tahu mayat dari mana saja, tapi menurutnya ada banyak.

Biasanya yang membersihkan areal kali adalah petugas dari PPSU DKI.

“Mereka yang rutin bersihin kali, kadang pinggiran beton di seberang juga dibersihkan. Tapi belakangan jarang nampak itu orang yang baju-baju oren,” cerita Indun.

Ketika Indun asik bercerita, sebuah plastik besar berisi tumpukan sampah dibuang ke kali dari bagian hulu, sebelah kiri rumah Indun. Tak jelas siapa yang membuangnya, terhalang pepohonan. Sampah tersebut terikut arus air dan lewat depan kami. “Tuh kan, baru dibilang,” kata Indun.

Tak jauh dari rumah Indun, Sanusi, Ketua RT 13, sedang duduk di depan rumahnya. Ia baru saja membersihkan rumahnya dari genangan.

Menurut Sanusi, banjir di kawasan tersebut setinggi 1,5 meter. “Itu ada petunjuk tingginya,” Sanusi menunjuk ke tiang listrik yang ada garis dan nomor yang menjadi petunjuk ketinggian air.

Sanusi tidak kaget ketika banjir datang, sebab berjam-jam sebelumnya Lurah Kampung Melayu sudah memberitahu akan ada banjir. Sanusi dan Ketua RT lain dikumpulkan dan diberitahu informasi tersebut sekitar pukul delapan malam. Ia kemudian memberi tahu warga lain. Warga bergerak cepat memindahkan peralatan di lantai satu ke lantai dua.

Dalam seminggu terakhir, warga RT 13 sudah dua kali kena banjir. Ada 153 kepala keluarga yang tinggal dan terkena banjir di RT tersebut. Banjir pertama dengan ketinggian 1,2 meter, banjir kedua naik 0,3 meter.

Tak banyak yang dilakukan warga untuk mengatasi banjir selain membikin rumah bertingkat. Sebelum itu, biasanya mereka langsung mengungsi dan membikin posko. Warga biasanya mengungsi di kantor lurah atau di SDN 01 Kampung Melayu.

“Bahkan kalau banjir sampai dua meter, warga juga masih di rumah. Kecuali banjir sudah sampai ke lantai dua baru pada ngungsi,” kata Sanusi.

Sanusi berharap ada penanganan dari pemerintah terhadap banjir tersebut. Kawasan RT 13 tidak dilengkapi tanggul, sedangkan di daerah seberang terpasang. Tanggul yang hanya satu sisi tersebut mengakibatkan muka air semakin tinggi.

“Dulu sebelum ada tanggul di sana, tinggi banjir tidak terlalu tinggilah, karena banjirnya merata. Setelah ada tanggul, airnya seperti mengarah ke sini, jadinya makin tinggi jika banjir.”

Semua peralatan penting milik Sanusi sudah ada di lantai atas ketika kami ngobrol. Itu dilakukan untuk berjaga-jaga jika ada banjir susulan. Setelah dirasa aman, barulah barang dikembalikan ke tempat semula.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Rio Apinino