tirto.id - Yani, seorang siswi kelas XI SMA Negeri 1 Salatiga, Jawa Tengah, sudah 5 tahun ini tinggal di Panti Asuhan Darma Bakti. Bersama belasan anak lain berusia 12-17 tahun yang mayoritas berasal dari Kabupaten Pekalongan, Yani menjadi anak asuh salah satu panti asuhan di Kota Salatiga tersebut.
Sebagaimana pelajar di Indonesia lainnya, Yani dan rekan-rekannya menjalani sekolah daring pada setahun terakhir. Namun, Yani mengaku menjalani pembelajaran online bukan perkara mudah bagi dirinya.
"Waktu pertama kali sekolah daring itu saya pulang ke kampung halaman saya. Saya harus pergi ke sawah untuk mencari sinyal," ujar Yani di Salatiga, pada awal Maret 2021 lalu.
"Lebih parah lagi ketika ada ujian dan harus belajar pada malam hari, saya harus pergi ke sawah pada malam hari," tambah dia.
Setelah beberapa bulan tinggal di kampungnya dan kerap mengalami kesulitan mengakses sinyal internet, Yani lantas kembali ke Panti Asuhan Darma Bakti di Kota Salatiga.
Di sana, Yani mengikuti sekolah daring sembari rutin mengerjakan piket harian yang diberikan oleh pengasuh di panti. Sebenarnya, pengelola panti belakangan sudah memasang wifi buat memenuhi kebutuhan akses internet anak-anak asuhnya.
Namun, kata Yani, "Terkadang, [sinyal] wifi yang baru dipasang down karena yang memakai juga banyak." Meski begitu, ia mengaku tetap bersyukur karena tinggal di kawasan perkotaan membuat dirinya tidak lagi harus pergi ke sawah untuk mengakses internet.
Pengelola Panti Asuhan Darma Bakti, Kota Salatiga, Nastiti Rahayu Ningsih membenarkan bahwa masalah kuota internet sempat menjadi penghambat anak-anak asuhnya dalam menjalani kelas online di tengah pandemi.
"Kendala utama pada saat pembelajaran daring adalah kuota paket data, sebelumnya kami tidak mempunyai wifi dan anak-anak harus memenuhi kebutuhan kuota belajar [sendiri]," kata dia.
Sekalipun kemudian ada distribusi bantuan kuota internet dari pemerintah, kebutuhan anak-anak asuhnya belum tercukupi. Sebab, menurut Rahayu, banyak anak-anak asuhnya yang sempat tidak kebagian bantuan kuota internet gratis tersebut.
Suatu hari, kata Yayuk, panti asuhannya didatangi oleh guru sekolah yang memberitahukan bahwa sejumlah anak asuhnya kerap tidak menghadiri kelas online dan telat mengerjakan tugas. Setelah dia telusuri, ternyata sejumlah anak asuhnya sering kali kehabisan paket kuota internet.
"Kami akhirnya memasang Wifi dengan biaya Rp600 ribu perbulan," ujar Rahayu.
Panti asuhan yang dikelola Rahayu sebenarnya tidak mempunyai dana untuk membayar langganan Wifi. Beruntung, mayoritas penghuni panti di jalan Ki Penjawi, Kota Salatiga tersebut masih punya orang tua meski rata-rata tinggal di kawasan pelosok.
Pengelola panti itu dan para orang tua akhirnya bersepakat menanggung bersama biaya langganan Wifi. Setiap anak menyetor iuran Rp40 ribu perbulan. Kata Rahayu, biaya itu lebih hemat daripada membeli kuota internet sendiri yang bisa menghabiskan duit Rp60 ribu lebih setiap bulan.
"Anak-anak di panti [Darma Bakti] notabenenya memiliki orang tua yang bermukim di pelosok dan mereka di Salatiga untuk menempuh pendidikan, jadi uang saku biasanya digunakan untuk iuran," kata Rahayu.
Tantangan Sekolah Online: Tidak Hanya Kuota Internet
Mengenai dampak pembelajaran online saat pandemi, Yani yang sehari-hari hidup di panti asuhan memiliki penilaian tersendiri. Dia mengeluh sulit menguasai pelajaran saat menjalani pembelajaran online.
Maka itu, tidak jarang, dia menemui penjelasan gurunya kurang maksimal sehingga harus mencari sendiri tambahan materi di internet.
"Hasil pelajaran saya selama kelas daring ini juga tidak ada perubahan. Ada beberapa yang naik, ada juga yang turun, dan ada juga yang tetap," ujar Yani.
"Walau ranking naik, tetapi saya tidak berbangga karena tidak murni, kan kami biasanya ujian bisa cari di google dan searching, aku enggak merasa ini hasil murni," tambah dia.
Pembelajaran online memang butuh metode khusus. Dekan Fakutas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Herry Sanoto berpendapat sekolah daring memerlukan metode yang efektif membuat peserta didik lebih cepat memahami pelajaran.
"Metode yang bisa digunakan adalah pendekatan kontekstual. Pendidikan harus bisa dikaitkan dan diimplementasikan di kehidupan nyata seorang anak," kata dia.
"Rasa ingin tahu, cara berpikir dan usaha anak belajar akan berkembang dengan kuat, jika mereka merasa terlibat secara nyata dengan materi yang dipelajarinya," Sanoto menambahkan.
Penulis: Olivia Dona Putri
Editor: Addi M Idhom