tirto.id - Pada awal 2020 lalu, insiden pencemaran radioaktif Cesium-137 (Cs-137) terungkap di lahan Perumahan Batan Indah, Tangerang Selatan, Banten. Kini, pencemaran zat radioaktif serupa ditemukan lagi mengontaminasi kawasan Industri Modern Cikande, Serang, Banten.
Temuan itu barangkali tak akan tersingkap bila Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) tak melaporkan adanya kontaminasi radioaktif pada udang beku asal Indonesia yang diekspor ke negeri Paman Sam.
Usai mendapat laporan FDA, pemerintah bergerak mencari asal muasal pencemaran. Hasil investigasi satgas lintas kementerian dan lembaga menemukan bahwa sumber kontaminasi itu adalah limbah scrap metal yang diduga masuk dari Filipina. Limbah itu digunakan dalam proses peleburan baja PT Peter Metal Technology (PMT) di kawasan industri Cikande.
Zat berbahaya tersebut kemudian menyebar melalui udara (airborne) dan mencapai fasilitas pengemasan udang PT Bahari Makmur Sejati (BMS) yang berjarak tak sampai 2 kilometer dari pabrik baja PMT.
Pemerintah akhirnya melakukan re-ekspor terhadap 14 kontainer scrap besi atau besi bekas yang mengandung Cs-137 dari Pelabuhan Tanjung Priok.
"Datangnya dari Filipina, diduga dari bubuk scrap. Dan itu kan masuk pakai kontainer. Kalau [kemudian] kontainernya dimasukkan muatnya udang, itu bisa tercemar udangnya," jelas Menteri Koordinator Bidang Pangan sekaligus Ketua Satgas Penanganan Cesium-137, Zulkifli Hasan, saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Gara-gara paparan zat radioaktif Cs-137 ini, ribuan orang menjalani pemeriksaan kesehatan dan sembilan pekerja pabrik di antaranya menunjukkan indikasi paparan radiasi.
"Sembilan orang sudah ditangani oleh Kementerian Kesehatan, bahkan sudah diberi obat khusus dan baju [yang digunakan saat terpapar] sudah diganti juga," kata Zulhas.

Dia mengatakan bahwa pemerintah mendatangkan obat khusus dari Singapura untuk penanganan sembilan pekerja tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, hasilnya diklaim memperlihatkan tidak ada dampak kesehatan serius bagi pekerja maupun masyarakat sekitar Cikande.
"Telah dilakukan pemeriksaan terhadap 1562 pekerja dan masyarakat, tidak menimbulkan dampak serius. [Selain itu] tidak menimbulkan dampak serius pada 9 orang tadi [yang terpapar],” ungkapnya.
Selain melakukan upaya-upaya dekontaminasi seperti mengangkut ratusan kilogram logam rongsokan ke tempat penyimpanan sementara, pemerintah juga melakukan upaya pemulihan di lokasi pencemaran dengan menanam bunga matahari. Bunga itu dikatakan memiliki kemampuan vegetatif dalam meredam dan menyerap kemungkinan radiasi yang ditimbulkan.
Menanam Bunga Matahari Tak Cukup
Menukil artikel Alodokter yang sudah ditinjau oleh Dokter Kevin Adrian, Cs-137 merupakan produk sampingan dari reaksi nuklir, seperti di pembangkit listrik tenaga nuklir atau hasil insiden nuklir. Ia lazim ditemukan pada limbah radioaktif.
Karena sifatnya yang radioaktif, ia dapat mencemari lingkungan, seperti tanah dan air, lalu masuk ke rantai makanan melalui tanaman dan hewan ternak yang terpapar radiasi.
Meski menanam bunga matahari bisa menjadi opsi pemulihan kontaminasi, langkah itu tidaklah cukup. Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional, Dwi Sawung, menegaskan harus ada upaya lebih yang diambil, seperti pengawasan atau riset epidemiologi di kawasan terkontaminasi.
“Kalau penanganannya terkontaminasi nanti itu tanamannya ada logam berat dan unsur radioaktifnya. Kalo misalnya batang, akar, daunnya dibakar, ya keluar radioaktifnya lagi. Selama tanamannya gak diapa-apain sih aman,” kata Sawung saat dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (2/10/2025).
Meski demikian, Sawung mengaku skeptis pemerintah bakal melakukan pengawasan atau riset epidemiologi. Pasalnya, pada kasus Batan Indah lima tahun lalu, langkah tersebut dihiraukan.
“Ini soal pengolahan limbah baik impor atau lokal memang kacau. [Maka] akan berulang terus. Dua kasus yang terakhir kan tidak sengaja ketemunya. Kalau serius detektornya dipakai akan ketemu di tempat lain juga,” ungkap Sawung.
Investigasi memang diperlukan untuk mengungkap bagaimana kontaminasi material nuklir Cs-137 bisa terjadi di area industri, bahkan sampai pada makanan. Pakar Global Health Security dari Griffith University, Dicky Budiman, menerangkan sejumlah skenario yang memungkinkan.

Pertama, masuknya sumber radioaktif lewat scrap impor. Ketika industri baja yang umumnya menggunakan scrapmetal atau baja bekas sebagai bahan baku dan dalam scrap tersebut ada sumber radioaktif, maka dia akan ikut melebur. Zat itu, misalnya, bersumber dari bekas peralatan industri atau limbah medis yang mengandung Cs-137.
“Ini yang paling mungkin ya. Kedua juga bisa karena pengawasan impor lemah. Jadi, Menteri Lingkungan Hidup sudah menyinggung bahwa material berbahaya bisa lolos pengawasan impor, artinya container scrapmetal bisa saja masuk tanpa deteksi,” kata Dicky kepada jurnalis Tirto, Kamis (2/10/2025).
Selain itu, skenario yang juga memungkinkan adalah adanya kebocoran dari aktivitas ilegal. Dengan kata lain, ada kemungkinan pihak-pihak yang membuang sumber radioaktif secara ilegal ke scrap, lalu dijual ke pabrik baja tanpa disadari.
Risiko Kesehatan Akut & Kronis Paparan Cs-137
Selain investigasi dan pengawasan, penting untuk kemudian meninjau ulang tata kelola limbah radioaktif. Indonesia wajib memperketat pengawasan impor scrap metal dengan detektor radiator di pelabuhan sekaligus memperketat SOP manajemen limbah radioaktif. Sebab jika tidak, hal seperti ini akan terus terulang.
Padahal, risiko kesehatan paparan Cs-137 tak bisa disepelekan. Dicky menjelaskan paparan radiasi Cs-137 dapat menimbulkan efek serius dalam bentuk akut maupun kronis.
Efek akut itu disebut dengan Acute Radiation Syndrome (ARS). Gejala yang muncul yakni mual, muntah, diare, bahkan kerontokan rambut, sampai potensi pendarahan hingga kematian, termasuk gangguan sumsum tulang.
"Sedangkan, efek kronis itu biasanya karena dosisnya rendah dan berlangsung lama. Ini biasanya menyebabkan peningkatan risiko, khususnya leukimia, tiroid, kanker paru atau kulit. Termasuk, bisa menyebabkan infertilitas atau kemandulan, katarak, gangguan sistem imun, dan penuaan dini dari sel,” ungkap Dicky.
Perlu digarisbawahi, efek-efek itu bergantung pada durasi dan dosis atau seberapa tinggi paparan. Paparan tinggi, artinya lebih dari satu Sievert (Sv), dapat menyebabkan efek akut. Sv sendiri berarti unit radiasi pengion yang diserap oleh tubuh manusia dan memperhitungkan efek biologisnya.

Itulah sebabnya makanan yang sudah tercemar radioaktif tak boleh lagi dikonsumsi. Dicky bilang, tidak ada cara aman untuk mengolah makanan tercemar radioaktif agar bisa layak konsumsi. Sebab, kontaminasi radioaktif bukan sekadar di permukaan, tapi bisa terikat pada jaringan makanan.
"Berbeda dengan paparan lain, paparan radioaktif tidak bisa dihilangkan dengan cara dicuci, direbus, atau dimasak. Apalagi ini bicara isotop radioaktif ya, kan kalau masuk ke tubuh isotop itu bisa menetap lama,” kata Dicky.
Oleh karenanya, semua bahan makanan yang terpapar radioaktif harus dimusnahkan sesuai protokol limbah radioaktif, alias bukan dikonsumsi ataupun dipasarkan. Manajemen risiko yang tidak baik terkait hal ini hanya akan membahayakan masyarakat secara umum.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































