tirto.id - Bagi ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri, politik anggaran pemerintah untuk tahun depan terlampau mengutamakan ekonomi. Anggaran yang demikian juga menandakan seolah pemerintah merasa pandemi COVID-19 pasti berakhir tahun ini sehingga merasa bisa berbelanja seperti sebelum masa pandemi.
“Anggaran kesehatan turun, seolah-olah ini sudah selesai semua. Business as usual, infrastruktur dikebut lagi,” ucap Faisal dalam acara Mata Najwa yang tayang Kamis (17/9/2020).
Anggaran infrastruktur naik dari Rp281,1 triliun (2020) menjadi Rp414 triliun tahun depan. Pemerintah bahkan mengajukan lebih besar ke DPR, Rp419 triliun. Di sisi lain, anggaran kesehatan dipangkas dari Rp212,5 triliun (2020) menjadi Rp169,7 triliun (2021).
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo membantah anggapan itu dengan mengatakan meski turun secara nominal, nilai anggaran kesehatan masih 6,2% dari produk domestik bruto (PDB)--di atas 5% sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Turunnya anggaran kesehatan lebih disebabkan karena belanja non kementerian seperti stimulus dan juga sarana/prasarana kesehatan, katanya. Sementara anggaran Kementerian Kesehatan sendiri naik dari Rp78,5 triliun menjadi Rp84 triliun.
“Terkait COVID-19, pemerintah tetap fokus pada kesehatan, dibuktikan dengan alokasi Rp18 triliun untuk pengadaan vaksin dan sarana-prasarana lain,” kata Yustinus, dikutip dengan izin dari Twitter-nya @prastow, Sabtu (19/9/2020).
Sementara pos belanja infrastruktur naik hampir dua kali lipat karena banyak proyek yang semestinya digarap tahun ini tertunda karena pandemi. Proyek-proyek ini baru dilanjutkan tahun depan.
Pandemi Belum Berhenti dan Anggaran yang Ada Kecil
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengingatkan pandemi COVID-19 belum akan hilang tahun depan apalagi tahun ini. Indonesia, juga negara lain, menurutnya harus bersiap menghadapi COVID-19 dalam jangka waktu panjang.
“Kita harus sampai 2025 menghadapi COVID-19. Tidak mungkin selesai dalam waktu satu tahun,” ucap Pandu saat dihubungi pada Senin (21/9/2020).
Saat ini belum ada jaminan vaksin yang tengah dikembangkan banyak pihak akan berhasil. Kalaupun ada, peredarannya pasti bertahap. Tidak mungkin semua orang secara serempak akan dapat.
Atas dasar itu pada 2021 nanti mau tak mau kesehatan tetap harus menjadi fokus. Dan wujud fokus itu adalah politik anggaran yang berpihak kepada kesehatan. “Di luar masalah yang tidak penting, dihentikan,” kata Pandu.
Uang ini dapat dipakai untuk meningkatkan kapasitas dan jumlah laboratorium sampai fasilitas kesehatan. Juga untuk kampanye protokol kesehatan sampai tes dan tracing. Jika anggaran untuk itu semua tidak mencukupi, bukan tak mungkin COVID-19 justru akan semakin memburuk di 2021.
Masalahnya, “alokasi Rp18 triliun untuk pengadaan vaksin dan sarana-prasarana lain” terlampau kecil untuk menjawab kebutuhan penanganan pandemi. Salah satu ukurannya adalah perhitungan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Mereka menyebut agar dapat menekan penyebaran COVID-19, imunisasi perlu menjangkau 60 persen penduduk. Total anggaran vaksin berikut sarana-prasarana plus operasionalnya mencapai Rp46 triliun, dengan asumsi 10 dolar AS/dosis dan Rp62 triliun untuk 15 dolar AS/dosis, dilakukan terhadap 164,4 juta penduduk, dan tiap orang wajib mendapatkan dua dosis.
Pelaksanaannya juga tak mudah. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan imunisasi harus selesai dalam enam bulan atau vaksin menjadi tidak efektif karena virusnya jadi kebal.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan pada 2021 semestinya pemerintah fokus ke belanja untuk merespons COVID-19, lalu pangan dan belanja sosial untuk memulihkan permintaan. Untuk infrastruktur, cukup yang benar-benar padat karya agar lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Tetap melanjutkan semua proyek infrastruktur yang tertunda tahun ini tidak masuk akal, katanya. “Ini ironis. Kesehatan harusnya naik dan infrastruktur sebaiknya turun dulu,” ucap Faisal dihubungi, Senin (14/9/2020).
Agustus lalu, ketika berpidato di DPR, Presiden Joko Widodo mengatakan anggaran infrastruktur “utamanya untuk pemulihan ekonomi, penyediaan layanan dasar, serta peningkatan konektivitas.” Ia juga menyebut uang akan dipakai untuk infrastruktur digital, sebab pandemi menunjukkan “ketersediaan dan berfungsinya infrastruktur digital menjadi sangat penting dan strategis.”
Belanja negara harus dikontrol lantaran penerimaan sedang buruk, kata Faisal. Dalam RAPBN 2021 saja, rasio perpajakan diprediksi 8,25-8,63%, turun dari 2020 yang sudah terpuruk di angka 9,1% PDB. Saat penerimaan turun, sudah pasti belanja akan ditutupi dengan utang. Pada 2021, rasio utang diperkirakan mencapai 41% PDB untuk defisit 5,7 persen PDB, naik dari 2020 yang diperkirakan 37,6% PDB.
Faisal bilang jika tak berhati-hati, target disiplin fiskal di 2022 kembali ke 3% PDB bisa tak tercapai.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino