Menuju konten utama

Catatan Buat Jokowi-JK Soal Tudingan Luputnya Amanat Reformasi

Salah satu kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK adalah mengangkat eks perwira TNI yang bermasalah soal HAM sebagai pejabat.

Catatan Buat Jokowi-JK Soal Tudingan Luputnya Amanat Reformasi
Mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI Wilayah Sumbangsel dan Aliansi BEM Lampung melakukan demo dalam rangka menyongsong tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Tugu Adipura Bandar Lampung, Lampung, Rabu (18/10/2017). ANTARA FOTO/Ardiansyah

tirto.id - Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) menilai tiga tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) semakin jauh dari enam amanat reformasi yang tertuang dalam Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi. Padahal enam amanat reformasi merupakan mandat rakyat yang diperjuangkan dengan susah payah.

“Karena saat itu yang dihadapi adalah rezim Orde Baru yang represif dan telah berkuasa selama 32 tahun,” kata anggota Gema Demokrasi Asep Komarudin dalam paparan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (19/10).

Asep mengatakan enam amanat reformasi terdiri dari: Pertama, adili Soeharto dan kroni-kroninya. Kedua, cabut dwifungsi ABRI. Ketiga, hapuskan budaya Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Keempat, otonomi daerah seluas-luasnya. Kelima, amandemen UUD1945. Keenam, tegakkan supremasi hukum dan budaya demokrasi.

“Sebagai penanda bahwa kebebasan hari ini tidak dicapai dengan diam dan berpangku tangan, tetapi dengan upaya perlawanan rakyat,” ujarnya.

Ada sejumlah indikasi yang membuat Gema Demokrasi menyimpulkan pemerintahan Jokowi-JK gagal menjalankan enam amanat reformasi. Pertama, sampai hari ini tidak pernah ada pengadilan atas tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto. Sebaliknya para pelaku kejahatan HAM era Orde Baru justru mendapat impunitas yang terus berlangsung sampai sekarang.

“Bahkan Presiden Jokowi mengangkat sejumlah perwira yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan seperti Hendropriyono dan Wiranto masuk dalam jajaran pejabat negara,” kata Asep.

Baca juga:

Indikasi kedua adalah keterlibatan tentara dalam urusan politik dan sipil yang bertentangan dengan amanat penghapusan dwi fungsi ABRI. Asep mengatakan dalam beberapa tahun terakhir sangat kentara bagaimana tentara terlibat dalam pembubaran aksi damai warga, pengusiran warga dalam rangka penggusuran, dan pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo agar hak politik TNI.

Indikasi ketiga, diamnya pemerintah terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan melalui berbagai cara. Mulai dari pembentukan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK, kriminalisasi terhadap komisioner KPK, penyidik, dan sejumlah aktivis antikorupsi yang membongkar kasus-kasus mega korupsi yang melibatkan pejabat dan aparat negara, hingga upaya membatasi wewenang KPK yang berpotensi menyulitkan pemberantasan korupsi.

Mandeknya penyelidikan atas kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan juga dianggap menjadi indikasi gagalnya pemerintahan Jokowi-JK menjalankan amanat reformasi di bidang pemberantasan korupsi. Sebab kasus itu sudah berjalan hingga enam bulan namun hingga sekarang belum diketahui siapa otak serangan.

“Pernyataan Presiden Jokowi yang berulang kali menyampaikan akan memperkuat KPK sampai hari ini baru sebatas wacana dan perlu dikonkretkan dengan berdiri bersama KPK dan gerakan anti-korupsi,” kata Asep.

Indikasi keempat, kata Asep, belakangan ini hukum semakin dipelintir untuk kepentingan oligarki yang bercokol di dalam kekuasaan dan hukum yang ditaklukkan oleh mobokrasi yang berakibat langsung pada menyempitnya ruang-ruang demokrasi dan penyalahgunaan hukum sebagai sarana mengkriminalisasi mereka yang tidak sependapat dengan kepentingan oligarki dan kelompok vigilante (main hakim sendiri).

Asep menambahkan kebijakan reklamasi, penggusuran atas nama pembangunan, pembubaran ormas dengan Perppu Ormas, perlindungan dan pembiaran atas aksi kekerasan dan serangan ke masyarakat sipil oleh sekelompok massa dinilai semakin membuktikan posisi Presiden Jokowi yang telah mengabaikan hak-hak sipil dan politik masyarakat.

Anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan Eddy Kusumawidjaya menolak soal tudingan pemerintahan Jokowi mengabaikan amanat reformasi. Ia justru melihat kebijakan Jokowi serupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan merupakan upaya menjalankan amanat reformasi. Sebab Perppu itu menyasar ormas yang anti demokrasi.

"Ormas radikal itu kan merusak reformasi juga. Mereka menyerang orang-orang. Nggak mau pancasila. Amanat reformasi itu kebebasan semua," kata Eddy.

Menurut Eddy, Perppu merupakan kebijakan Jokowi untuk meminimalisasi konflik atas nama agama dan diskriminasi kepada kaum minoritas. "Seperti Perppu Ormas itu kan biar tidak ada Ormas radikal," kata Eddy.

Eddy juga membantah anggapan Jokowi tidak peduli dalam hal penegakkan HAM. Ia menjelaskan penegakan HAM yang dilakukan Jokowi, salah satunya berbasis kepada meningkatkan harkat hidup rakyat melalui pembangunan infrastruktur di daerah-daerah pelosok.

"Menangani HAM itu kan tidak harus menangkap pelanggar HAM. Tapi bisa juga dengan menaikkan harkat hidupnya. Seperti yang dilakukan Pak Jokowi di Papua. Misalnya membangun trans Papua dan sebagainya," kata Eddy.

Baca juga:

Wakil Ketua Pansus Angket KPK ini pun mengaku beberapa kali datang ke Papua dan melihat secara langsung perkembangan yang baik dari masyarakat di sana secara harkat hidup. "Relatif lebih stabil kondisinya. Sudah terbuka," kata Eddy.

Eddy pun menyatakan bahwa Jokowi juga mendukung langkah penegakan hukum yang sesuai dengan HAM. "Seperti KPK itu kan dari temuan Pansus ada pelanggaran HAM di dalam pelaksanaannya. Seperti ada orang ditangkap tapi tidak langsung diproses. Nah kami perbaiki sesuai arahan Pak Jokowi untuk menguatkan KPK," kata Eddy.

Sementara itu, dalam persoalan penanganan kasus HAM masa lalu, kata Eddy, Jokowi telah berusaha menepati janjinya dengan melakukan inisiasi rekonsiliasi peristiwa G30S. "Tapi ada banyak pihak yang tidak setuju, kan. Pak Jokowi mengedepankan stabilitas dulu. Stabilitas juga penting untuk HAM," kata Eddy.

"Itu kan tapi bukan tanggungjawab beliau sepenuhnya," sambung Eddy.

Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menjelaskan dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK stabilitas politik, hukum dan keamanan, dalam kondisi sangat baik.

"Untuk bisa membangun perlu ada stabilitas, politik, keamanan, dan hukum. Secara umum, tiga tahun ini, stabilitas cukup baik," kata Wiranto seperti diberitakan Antara.

Menurut Wiranto, stabilitas merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan dan pada ujungnya untuk menyejahterakan dan memberi keadilan bagi masyarakat. Ia menyebutkan, meski indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan, namun stabilitas polhukam masih terjaga dengan baik.

Menurut dia, maraknya informasi hoax juga menyebabkan stabilitas polhukam sedikit terganggu dan berdampak terhadap kinerja pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah berencana mengambil tindakan tegas untuk melawan pihak-pihak yang sering membiaskan informasi soal pemerintah, sehingga informasi yang disampaikan kepada masyarakat bisa akurat.

"Hasilnya di masyarakat sudah beda dengan realitas yang ada. Kita akan buat satu integrasi media sosial. Sehingga, apa yang dilakukan pemerintah, masyarakat bisa menginformasikan dengan benar, tidak dimanipulasi oleh siapa pun," katanya.

Baca juga artikel terkait JOKOWI-JK atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar & M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar