tirto.id - Sudah 30 tahun lebih Luc Besson malang melintang di industri film dunia. Sutradara asal Prancis tersebut telah memproduksi 80-an film, sebagian besar dari genre sinema laga.
Jejak tangan dingin Besson di layar sinema dunia bisa disaksikan melalui film Taken, Anna, dan Monster in Parisdan masih banyak lainnya.
Sebagai produser film kelas atas, lelaki kelahiran 18 Maret 1959 tersebut kerap memainkan peran ganda. Dalam produksi puluhan film, Besson sering mengambil posisi produser, penulis skenario, sekaligus sutradara, atau perpaduan dua di antaranya.
Pengalaman panjang dalam memproduksi film-film sukses dibagikan oleh Besson ketika ia menjadi tamu acara Mola Living Live di Mola TV, yang disiarkan langsung pada Jumat malam (23/10/2020), dan masih bisa ditonton siaran ulangnya.
Besson menjadi bintang tamu kedua acara Mola Living Live, setelah edisi perdana program ini pada sebulan sebelumnya menghadirkan Mike Tyson.
"Saya membuat film pertama saya tanpa bantuan pendanaan orang dari industri film Prancis," kata Besson kepada Mirwan Suwarso dan sineas Indonesia, Rayya Makarim, yang memandu wawancara dalam Mola Living Live.
Menurut Besson, hanya ada empat orang yang mau membantu pendanaan film panjang pertama yang dibuatnya ketika masih berusia 20-an tahun. Di antara mereka ada pengusaha toko sepatu dan agensi travel.
Banyak orang sempat meragukan kapasitas Besson ketika hendak menggarap film pertamanya itu. Namun, Besson mengaku ia selalu siap memberikan segalanya untuk sebuah film. Ia menganggap film-film karyanya adalah bayi yang dilahirkannya dengan segenap jiwa dan cinta.
Sebelum memproduksi film panjang, karya sinema paling pertama garapan Besson adalah sebuah film pendek dengan panjang 9 menit. Momen kelahiran film itu begitu mengharukan bagi Besson.
"Saya mencucurkan air mata saat melihatnya. 'Ya tuhan, itu film saya, sekarang saya bisa menjadi sutradara', kata saya dalam hati," ujar Besson.
Meski begitu, Besson lantas menyadari menjadi sutradara bukan hanya untuk menghasilkan karya. Membuat sebuah film memang membanggakan baginya, tapi tentu tidak ada orang peduli dengan perasaan itu.
"Saya lalu sadar, bahwa membuat film adalah tentang apa yang mau kita sampaikan ke penonton. Hal paling penting [dalam membuat film], adalah apa yang akan kamu sampaikan ke masyarakat," dia menambahkan.
Perjalanan Karier Luc Besson di Industri Film
Luc Besson dianggap sebagai "Sineas Prancis paling Hollywood." Dalam sebuah artikelnya, penulis The New York Time, Jaime Wolf pernah menuliskan, bahwa salah satu kelebihan film-film bergaya Hollywood garapan Besson adalah bisa mengangkat karya sinema Prancis ke level dunia, tapi tetap membawa karakter unik khas Eropa.
Mengutip sebuah laporan di Wired, Besson mulai mengenal dunia mengarang cerita tidak dari film, melainkan membaca komik-komik Prancis yang memiliki karakter berbeda dari komik AS. Dia pun bukan keluaran akademi film. Terdidik dari praktik langsung, Besson mulai memasuki industri film dari bekerja sebagai pembawa kabel dan kamera di lokasi syuting.
Debut Besson dalam industri sinema dimulai pada 1981. Tahun itu, dia menyutradarai dan menulis skenario L'avant Dernier, film pendek tentang perjuangan manusia setelah bencana besar melanda dunia.
Cerita yang mirip lantas diadaptasi dalam Le Dernier Combat (1983), film panjang pertama yang disutradarai Besson sendiri. Di dua film itu, Besson menjadi sutradara, penulis naskah, sekaligus produser.
Film panjang keduanya sebagai sutradara, Subway (1985) melanjutkan tradisi kisah gangster, dan menggambarkan situasi Kota Paris era 1980-an.
Subway membuat Besson segera dimasukkan dalam daftar nama sebuah generasi sutradara muda Prancis yang sedang tumbuh. Generasi ini dikenal begitu menghargai plot dan aksi.
Para kritikus Prancis menyebut kecenderungan generasi itu sebagai "cinéma du look," istilah yang merujuk pada film-film dari era 1980-90an yang menekankan gaya visual, citra, warna, dan gairah muda. Banyak kritikus dari Prancis mencibir cinéma du look mengabaikan substansi artistik, politik, atau psikologis dari film.
Namun, kritik tersebut tidak membuat kreativitas Besson lumpuh. Ketika berbicara dalam program Mola Living Live di Mola TV, Besson mengaku sejak muda memegang prinsip untuk mengeksplorasi ide sesuai minat dan kata hati.
Oleh karena itu, saat banyak orang mengkritik Subway, ia tidak lantas menyerah untuk membuat film. Semua kritik dia terima dengan lapang dada.
"Saya masih berusia 23 saat itu serta tidak punya uang. [...] Dan, ketika itu saya juga berusaha membuat film untuk generasi saya yang berusia 20-an."
Nama Luc Besson mulai menarik perhatian dunia setelah La Femme Nikita (1990) dirilis. Berperan sebagai sutradara, penulis naskah, sekaligus produser, Besson membuat film tentang perempuan cantik dengan keahlian sebagai agen pembunuh mematikan. Nikita memikat jutaan penonton dan segera menjadi legendaris, serta diadopsi ke versi serial beberapa tahun setelah filmya dirilis.
Karakter-karakter aneh dan cerita yang unik kerap menghiasi karya-karya Besson. Keunikan karya Besson dapat ditemukan dalam Lucy (2014); La Femme Nikita (1990); The Fifth Element (1997); hingga Valerian and the City of a Thousand Planets (2017).
Dalam penulisan naskah, kreativitas Besson sudah menghasilkan film-film seperti The Transporter (2002), dengan aksi ala James Bond, dan District B13 (2004) yang mengadopsi gaya laga sinema Hongkong. Dua film ini merupakan contoh karya Besson yang telah membikin banyak penggemar film tersentak, karena menemukan warna baru dalam sinema laga.
Kapasitas Besson sebagai produser juga tidak diragukan lagi. Besson merintis rumah produksinya sejak 1980, yakni Les Films du Loup, yang kemudian menjadi Les Films du Dauphin. Dua rumah produksi tersebut lantas digantikan oleh Europa-Corp, perusahaan yang dibentuk Besson bersama kolega lamanya, Pierre-Ange Le Pogam.
Film-film produksi Besson kerap dibuat dengan tempo cepat, bergaya unik, dan tidak jarang harus menelan dana produksi besar. Kemampuan Besson mencari sumber dana untuk produksi film-film dengan anggaran jumbo merupakan sesuatu yang membuat sosoknya menarik perhatian di tengah persaingan sengit rumah-rumah produksi kelas kakap.
Film besutan Besson pun telah mendatangkan banyak penghargaan. Dia sendiri pernah menerima penghargaan kategori sutradara terbaik dari César Awards, berkat The Fifth Element (1997).
The Messenger: The Story of Joan of Arc (1999) juga mendatangkan penghargaan kategori serupa untuk Besson, dari Lumiere Awards. Karena kontribusinya di dunia film, ia pernah diganjar dengan penghargaan dari Shanghai International Film Festival 2010.
Bagaimana Besson Menemukan Ide Cerita Film-filmnya
Setelah sekian lama terjun ke industri film, Luc Besson mengaku menyadari, bahwa secara alamiah dirinya menciptakan banyak karakter yang selalu merasa asing dari masyarakat, tidak layak menjadi pahlawan, antihero, serta harus melawan kebencian banyak orang. Salah satu contohnya bisa dilihat pada karakter utama dalam film Lucy.
Ciri tersebut, kata Besson, sudah bisa dilihat secara jelas dalam The Big Blue (1988), sebuah film populer di Prancis yang berkisah soal persaingan 2 sahabat kecil dalam mencetak rekor kedalaman menyelam. Di film ini, dua karakter utamanya akhirnya sama-sama ditelan kedalaman laut.
Lantas dari mana karakter-karakter itu berasal? Besson mengatakan ide cerita lahir dari kepekaan. Bagi dia, mengasah kepekaan merupakan kunci menangkap ide cerita yang bisa datang dari mana saja.
"Dua faktor yang membantu saya ialah kesepian dan tak punya uang. [...] Itu membuat imajinasi saya tumbuh sebagai kompensasi atas kondisi yang saya alami," jelas Besson di acara Mola Living Live.
Kata Besson, imajinasi seperti otot sehingga harus dilatih. Sebab, dengan cara itu seseorang bisa dengan mudah menangkap ide saat melihat beragam detail di berbagai tempat, termasuk jalanan sekalipun.
"Kamu bisa menemukan ide cerita dari hal kecil yang terjadi tujuh tahun lalu, karena ingatanmu merekam detail itu dengan baik."
Besson mengakui seringkali ide-ide cerita muncul sepenggal dalam kepalanya. Namun, serpihan ide-ide itu tetap akan terus dia jaga dalam ingatan. Sebab, pada satu titik tertentu, detail-detail kecil di kepala Besson bisa menyatu kompak menjadi sebuah gagasan cerita yang utuh dan solid.
Kemunculan ide tentang kisah dalam film Lucy menyimpan cerita menarik, kata Besson. Bermula dari kehadirannya di acara makan malam untuk promosi sebuah film Prancis, Besson lantas secara tidak sengaja berbincang dengan seorang ilmuwan peneliti sel kanker.
Pekerjaan si ilmuwan menarik bagi Besson. Dari percakapan 2 jam dengan ilmuwan itu, Besson tahu bahwa sel kanker ternyata bisa tetap hidup meski pemiliknya telah meninggal. Percakapan ngalor-ngidul soal kanker itu kemudian mengarah pada bagaimana otak manusia bekerja.
Masih dari ilmuwan yang sama, Besson mengetahui manusia hanya menggunakan sebagian kecil kapasitas otaknya. Dari sana, muncul pertanyaan di kepala Besson: bagaimana jika manusia bisa memakai seluruh kapasitas otaknya?
"Itulah awal mula kemunculan ide cerita tentang Lucy. Dan ide tersebut muncul 10 tahun sebelum film tersebut dibuat," kata Besson.
Dirilis pada 2014, penayangan Lucy yang dibintangi oleh Scarlett Johansson di seluruh dunia bisa menghasilkan pendapatan 458 juta dolar AS. Nilai itu jauh di atas biaya produksi Lucy yang hanya 40 juta dolar AS.
Masih banyak lagi cerita menarik yang disampaikan Besson dalam acara Mola Living Live, termasuk sarannya kepada para sineas muda di tanah air. Isi wawancara dengan Besson selengkapnya bisa ditonton di Mola TV.
Editor: Agung DH