tirto.id - Bukan Donald Trump namanya jika kehabisan ulah. Sebuah laporan panjang TheNew York Times yang terbit pada 27 September 2020 melucuti dugaan praktik penghindaran pajak yang selama ini dia sembunyikan. Hal ini sebenarnya bukan hal baru. Pada masa kampanye pilpres Amerika Serikat 2016 lalu, Trump selalu menolak untuk merilis laporan pajaknya.
Sebagai wawasan, tidak ada calon presiden AS yang melakukannya sejak 40 tahun terakhir. Tak hanya itu, Trump juga menuduh Hillary Clinton—rivalnya dalam pilpres 2016—sebagai pihak yang tak mampu menunjukkan laporan pajak. Clinton menjawab tuduhan itu dengan merilis laporan pajaknya dan balik menekan Trump untuk melakukan hal yang sama.
Lalu, Trump obral janji merilis laporan pajak jika Barack Obama merilis akta kelahirannya—pendukung Trump memang kerap menuduh Obama bukan kelahiran AS. Tapi, bukannya segera merilis laporan pajak, Trump justru sesumbar laporan pajaknya “sangat besar” dan “indah”. Pada akhirnya, dia tidak pernah merilis laporan pajaknya dan selalu beralasan sedang proses audit.
Tiga jurnalis senior TheNew York Times—Russ Buettner, Susanne Craig dan Mike McIntire—dalam laporan investigasinya mengungkap bahwa Trump tidak pernah membayar pajak sepeser pun selama 10 sampai 15 tahun sebelum menjadi presiden.
Setelah terpilih menjadi presiden pada 2017 hingga setahun berkantor di Gedung Putih, Trump bahkan hanya membayar pajak pendapatan federal sebesar 750 dolar.
Nominal itu jauh lebih kecil ketimbang besaran pajak seorang teknisi listrik sekaligus sukarelawan pemadam kebakaran di Jonesville, Ohio, bernama Malcum Salyers. Sebagaimana diberitakan The Guardian, Salyers membayar pajak penghasilan federal sebesar 18.000 dolar per tahun. Tentu saja Salyers merasa diperlakukan tidak adil.
“Sangat menyedihkan melihat besaran pajakku dibandingkan dengan Trump. Ini 100 persen tidak adil,” kata Salyers.
Ketidakadilan yang sama juga dirasakan oleh Henry Dunham, seorang koki asal Michigan. Selama 20 tahun belakangan dia membayar pajak pendapatan federal sebesar 17.000 dolar per tahun. Saat pandemi melanda, Dunham kehilangan pekerjaannya dan hingga kini masih menunggu tunjangan pengangguran dari Pemerintah AS.
“Saya frustrasi mengetahui Trump membayar pajak lebih sedikit daripada saya. Saya hampir jatuh miskin dan tetap bayar pajak tanpa tipu-tipu. Tapi, ada seorang miliarder justru bayar pajak lebih sedikit daripada saya dalam 20 tahun terakhir secara kumulatif,” keluh Dunham.
Si Kikir Mengakali Pajak
Forbes menyebut Trump sebagai presiden Amerika Serikat pertama dari kalangan miliarder. Perusahaan utamanya adalah The Trump Organization LLC yang memiliki ratusan anak perusahaan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Ia bergerak di serbaneka bidang, mulai dari perhotelan, lapangan golf, kondominium, real estate, hingga lisensi berbagai jenama.
Formulir pajak yang diperoleh The New York Times menunjukkan bahwa Trump kehilangan banyak uang dari bisnis-bisnisnya selama periode 1985-1994. The Times bahkan menyebut kerugiannya "yang terbanyak dibanding hampir semua pembayar pajak individu di AS". Pendapatannya dari lisensi dan sekaligus bintang utama reality show The Apprentice juga ikut mengering.
Meski begitu, kekayaan bersihnya diperkirakan mencapai 2,5 miliar dolar. Jadi, secara teknis dia tetap sangat kaya. Bagaimana seorang pebisnis yang merugi sekian tahun bisa tetap kaya seperti itu?
Ini salah satu resep Trump: manfaatkan kerugian-kerugian itu untuk mendapatkan pengurangan pajak.
The Atlantic mencatat Trump telah menghasilkan ratusan juta dolar dari The Apprentice sejak 2005. Uangnya sebagian besar dipakai untuk investasi berisiko yang dibuat seolah-olah gagal. Laporan kerugian investasi itu lantas dia ajukan untuk mendapatkan keringanan pajak pendapatan.
Trump juga bertarung dengan Internal Reveneu Service (IRS) yang tengah mengaudit keuangan bisnis-bisnisnya selama satu dekade terakhir. Dia berusaha mengklaim pengembalian pajak sebesar 72,9 juta dolar setelah kerugian bisnisnya dilaporkan. Boleh dikata Trump sedang bertaruh karena dia musti bersiap membayar pajak lebih dari 100 juta dolar jika IRS mematahkan klaimnya.
Resep lain Trump adalah memanfaatkan posisinya sebagai presiden. The Times menyebut pendapatan Trump dari luar negeri mencapai 73 juta dolar selama dua tahun pertama menjabat presiden. Sumbernya antara lain dari kesepakatan-kesepakatan bisnis properti golf di Skotlandia dan Irlandia. Dia bahkan membuat kesepakatan bisnis dengan negara-negara yang pemimpinnya cenderung otoriter seperti Filipina, India, dan Turki.
Para miliarder kerap menempuh jalan sebagai filantropis dengan menyisihkan kekayaannya untuk kegiatan amal. Demikian pun Trump yang membentuk Donald J. Trump Foundation pada 1987. Dengan lembaga itu Trump mendaku diri sebagai "dermawan yang bersemangat".
Nyatanya, selama 30 tahun berjalan yayasan tersebut malah jadi wadah untuk ajang promosi diri Trump. Ia bekerja mirip makelar dengan menerima sumbangan dari orang lain lalu membagikannya seolah-olah itu bantuan dari Trump. Pada Juni 2018, Jaksa Agung New York mengajukan gugatan terhadap Trump karena diduga menggunakan yayasan amal sebagai alat untuk bisnisnya dan pemenangan pilpres 2016.
Sikap pelit Trump lainnya pernah diungkap presiden dan kepala operasional Trump Plaza Hotel & Casino Jack O’Donnell pada akhir 1980-an. Dia bilang bahwa Trump pernah mempertanyakan apa perlunya sumbangan, bahkan yang nominalnya beberapa ribu dolar saja.
“Dia akan berkata 'Mengapa kita melakukan ini?' atau 'Apakah kita harus memberikan sebanyak ini?” ungkap O’Donnell.
Bapaknya juga Pengemplang Pajak
Ada pepatah bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Laporan TheTimes pada Oktober 2018 menunjukkan bagaimana Fred Trump, ayah Donald Trump, melakukan pengemplangan pajak.
Kala itu, The Times menelusuri sejumlah dokumen pajak dan laporan keuangan terkait bisnis-bisnis Fred Trump. Mereka menemukan bahwa sejak kecil hingga dewasa, Donald Trump menerima kucuran dana dari bisnis real estate sang ayah yang jumlahnya—seturut kurs sekarang—mencapai 413 juta dolar.
“Sebagian besar dana ini masuk rekening ke Donald Trump karena dia membantu orang tuanya menghindari pajak. Dia dan saudara-saudaranya mendirikan perusahaan palsu untuk menyamarkan hadiah jutaan dolar dari orang tua mereka,” tulis The Times.
Salah satu kasus tipu-tipu pajak keluarga Trump yang paling gamblang terjadi pada awal 1990-an. Sekira 1992, Donald mendirikan perusahaan bernama All County Building Supply & Maintenance. Perusahaan itu menjadi pemasok perkakas rumahan bagi bisnis real estate milik Fred. Anehnya, Fred membeli barang dari anaknya dengan harga yang lebih tinggi daripada pemasok lain.
Muncullah dugaan bahwa perusahaan Donald itu hanyalah alat Fred mengalihkan duit kepada anak-anaknya. Dengan cara itulah Fred menghindari tagihan pajak. Dia juga kerap melaporkan nilai harta real estat yang jauh lebih kecil kepada otoritas pajak AS.
Fred dan Mary Trump juga disebut mentransfer lebih dari 1 miliar dolar kekayaannya kepada anak-anak mereka termasuk Donald Trump. Transfer itu dianggap sebagai hadiah atau warisan yang kena potongan pajak 55 persen. Semestinya, keluarga Trump wajib membayar tagihan pajak setidaknya 550 juta dolar.
Namun, keluarga Trump hanya membayar 52,2 juta dolar atau sekitar lima persen dari total pajak yang ditagihkan. Donald tentu saja menampik semua itu dan balik menuduh The Times bikin hoax.
"Tuduhan penipuan dan penggelapan pajak itu 100 persen tidak benar dan sangat mencemarkan nama baik. Tidak ada yang melakukan penipuan atau penggelapan pajak seperti laporan itu. Fakta yang dibeberkan The Times itu sangatlah tidak akurat," sanggah Charles J. Harder, pengacara Donald Trump, melalui surat tertulis.
Selain membongkar tipu-tipu pajak keluarga Trump, laporan itu sekaligus meruntuhkan klaim Donald yang kerap mendaku sebagai self-made billionaire. Dalam biografi dan acara-acara televisi, dia selalu mengaku bahwa ayahnya hampir tak memberi bantuan keuangan sedikitpun. Padahal, kekayaan Donald sebenarnya adalah warisan sang ayah belaka.
Kejaksaan Distrik Manhattan tengah mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan terhadap presiden AS ke-45 itu, atas dugaan pengemplangan pajak bertahun-tahun tersebut.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi