tirto.id - Penyakit cacing Kremi atau yang familiar dengan istilah "cacingan" kerap menyerang anak-anak. Mereka yang terserang cacing kremi biasanya akan merasa gatal yang tak tertahankan pada anus dan membuat rasa tidak nyaman hingga mengganggu tidur.
Lantas, apa sebenarnya cacing kremi ini? Apa pula yang penyebab dari penyakit cacing kremi atau keremian? Apa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencegah penyakit tersebut?
Cacing kremi adalah parasit kecil yang dapat hidup di usus besar dan dubur. Warnanya putih dan panjangnya kurang dari setengah inci. Infeksi cacing kremi juga dikenal dengan sebutan enterobiasis atau oxyuriasis.
MengutipHealthline, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa penyakit cacing kremi merupakan infeksi cacing pada manusia yang paling umum terjadi di Amerika Serikat.
Infeksi cacing kremi umumnya terjadi pada anak-anak usia 5 hingga 10 tahun. Biasanya cacing kremi masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Saat anak menyentuh sesuatu yang terkontaminasi telur cacing kremi, kemudian dengan tidak sengaja menggunakan tangan kotor itu ke mulut.
Setelah masuk ke mulut, telur cacing kremi melewati sistem pencernaan. Telur menetas di usus kecil, lalu anak cacing tumbuh dan pindah ke usus besar. Di sana, cacing kremi mencengkeram dinding usus. Setelah beberapa minggu, cacing kremi betina bergerak ke ujung usus besar, dan mereka keluar dari tubuh pada malam hari untuk bertelur di sekitar anus (tempat keluarnya kotoran).
Lama waktu yang berlalu sejak seseorang menelan telur sampai cacing hidup dan menghasilkan telur baru adalah sekitar 1 hingga 2 bulan.
Telur cacing kremi bisa terdapat pada apa pun yang disentuh oleh seseorang yang terinfeksi cacing kremi: di meja dapur, di tempat tidur, atau di meja sekolah. Telur-telur itu juga bisa di pakaian, handuk, atau peralatan makan. Demikian sebagaimana melansir Kidshealth.org.
"Kalau anak menggaruk-garuk pantatnya di malam hari, orang tua harus curiga. Cacing kremi yang hidupnya di usus besar saat dewasa akan bertelur di dubur di malam hari lalu menetas. Inilah yang menyebabkan gatal," ujar spesialis anak dan penyakit tropis, Dr Sri Kusumo Amdani, SpA(K), dilansir Antara.
Dani mengungkapkan, dibandingkan jenis cacing lainnya yang menyerang manusia, cacing kremi (Enterobius vermicularis) paling cepat penularannya, 4-6 jam dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya.
Mahluk berukuran 2-5 mm (jantan) dan 8-13 mm (betina) ini bisa menembus kulit, masuk ke pembuluh darah balik (vena), berkembang biak dan berkoloni di usus besar. Di usus, ia akan menggigit dinding usus untuk mengambil nutrisi yang masuk ke dalam tubuh.
"Bila dubur yang gatal digaruk oleh penderita, telur cacing akan tersebar misalnya di kasur, kemudian menetas dan dengan cepat menyebar ke seluruh anggota keluarga," kata dia.
Sekali bertelur cacing kremi bisa menghasilkan sekitar 11-15 ribu telur per enam jam, lebih banyak dibandingkan cacing cambuk yakni 3.000-10.000 butir per hari.
Selain gatal, umumnya anak juga akan mengalami gejala lainnya, seperti sukar tidur, lelah, lesu, letih, nafsu makan berkurang, telapak dan mata tampak pucat, serta terkadang disertai gejala gangguan pencernaan seperti diare, mulai, muntah dan perut begah.
Oleh karena itu, menurut Dani, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan selain menerapkan gaya hidup bersih dan sehat, juga mengkonsumsi obat cacing sekali dalam setahun.
Sementara itu, organisasi kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan orang-orang yang tinggal di lingkungan dengan prevalensi cacingan lebih dari 50 persen, mengkonsumsi obat cacing dua kali setahun.
Dani menambahkan, salah satu upaya untuk membuktikan apakah anak terkena cacingan ialah melalui pemeriksaan tinja.
Meski demikian, Medlineplus.govmenulis bahwa infeksi cacing kremi dapat dicegah dengan melakukan hal berikut:
- Mandi setelah bangun tidur
- Dianjurkan untuk rajin mencuci piyama dan seprai
- Cuci tangan secara teratur, terutama setelah menggunakan kamar mandi atau mengganti popok
- Ganti celana dalam setiap hari
- Hindari menggigit kuku
- Hindari menggaruk area anus
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Yulaika Ramadhani