Menuju konten utama

Bullying terhadap Anak Penjual Jalangkote Harus Jadi yang Terakhir

Kasus RL, bocah 12 tahun pedagang kue, menambah panjang kasus perundungan terhadap anak di Indonesia.

Bullying terhadap Anak Penjual Jalangkote Harus Jadi yang Terakhir
Sejumlah siswa mengikuti kampanye "Stop Bullying" di Medan, Sumatera Utara, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/pras.

tirto.id - Sore itu sekitar pukul 17.30 WITA, RL, bocah 12 tahun, sedang beristirahat di Lapangan Bonto-Bonto, Kecamatan Ma'rang, Sulawesi Selatan. Ia melepas lelah setelah mengayuh sepeda untuk berjualan Jalangkote, gorengan khas Makassar yang bentuknya mirip pastel.

Dengan nada bercanda, dengan bahasa setempat RL mengatakan, "Tolo'na Ma'rang," yang artinya "saya jagonya Ma'rang."

Celotehannya ini terdengar oleh Firdaus, usia 26 tahun, dan kawan-kawannya. Ia lantas menghampiri RL dan menegur: "Magawettu? (ada apa itu?)"

Tak lama kemudian Firdaus kembali ke motornya. Saat itulah RL hendak melipat pelat motor Firdaus. Firdaus kesal. Ia langsung memukul bagian belakang RL dan mendorongnya ke lapangan hingga tersungkur. Sepeda RL pun jatuh.

"Korban mengalami pusing dan luka lecet pada lengan kiri," kata Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo lewat keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (18/5/2020).

Firdaus tertawa melihat RL kesulitan bangun. Seorang kawan Firdaus bernama Rasminul Alam merekam kejadian tersebut dan mengunggahnya ke grup CFD Family--yang lantas viral di media sosial dan memicu amarah penonton.

Banyak orang bersimpati terhadap RL--yang sudah mau membantu orang tua dengan berdagang. Sebuah komunitas sosial di Pangkep bernama IAM Center memberikan RL sepeda baru, sementara Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Irman 'None' Yasin Limpo memberikan beasiswa.

Muzakkir (38), orang tua RL, melaporkan kejadian ini ke polisi. Personel dari Polsek Marang bergerak cepat dan langsung menangkap delapan orang yang terlibat dalam kejadian itu. Selain Firdaus dan Rasminul Alam, polisi juga menangkap YY Mattotorang (16), Irham Hamka (25), Vicky Nurzan (20), Suryadi (25), Andi Rusli (28), dan Ahsan Ramadhan (22).

Setelah pemeriksaan awal, delapan pemuda tanggung ini ditetapkan sebagai tersangka. Firdaus dijerat Pasal 80 UU Perlindungan Anak juncto pasal 351 KUHP; sedangkan pelaku lain dikenakan pasal 76C UU Perlindungan Anak karena membiarkan, membantu melakukan, merekam, dan menyebarkan kejadian.

Bertambah Panjang

Kasus yang dialami RL menambah panjang daftar kasus perundungan terhadap anak. Kasus lain yang cukup menyita perhatian publik dialami MS, 13 tahun, siswa kelas 7 SMP Negeri 16 Malang, Jawa Timur. MS dirawat di rumah sakit karena badannya penuh luka memar, bahkan jari tengah tangan kanannya terpaksa diamputasi di Rumah Sakit Umum Lavalette pada Selasa 4 Februari lalu. Awalnya MS mengaku jatuh, tapi keluarga tak percaya. Setelah diajak bicara pelan-pelan, MS mengaku kalau ia kerap mengalami kekerasan di sekolah.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak 2011 sampai 2019, terdapat 37.381 kasus kekerasan terhadap anak, 2.473 di antaranya ialah kasus perundungan entah itu di dunia pendidikan maupun di sosial media.

Sementara hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menemukan 41,1 persen siswa Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding rerata negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang hanya 22,7 persen. Angka kekerasannya terbanyak ke lima dari 78 negara yang disurvei.

Riset yang sama menemukan 15 persen murid mengaku pernah mengalami intimidasi, sementara 19 persen siswa pernah dikucilkan, 22 persen pernah dihina dan barangnya dicuri, 14 persen pernah diancam, 18 persen pernah didorong oleh temann, dan 20 persen mengalami kabar buruknya disebarkan.

Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti mengatakan perundungan tidak hanya memberi luka fisik yang signifikan, tetapi juga luka batin. Luka yang terakhir inilah yang lebih berbahaya.

"Jadi korban bully bisa menyakiti diri sendiri dan orang lain," kata Retno kepada reporter Tirto, Senin (18/5/2020).

Retno menemukan banyak korban perundungan menjadi pelaku di kemudian hari terhadap orang yang berada di bawah otoritasnya, misalnya adik. Di sisi lain, banyak pula yang depresi dan memilih mengakhiri hidup.

Pernyataan Retno bukan isapan jempol atau dilebih-lebihkan. Tahun 2005 lalu seorang siswi SMPN 10 Bantar Gebang bernama Vivi Kustini memutuskan bunuh diri lantaran tak tahan diejek sebagai anak tukang bubur, terlebih di tahun ajaran baru orang tuanya tidak mampu membeli seragam baru.

Ada pula Eva Lestari, 16 tahun, yang memutuskan mengakhiri hidupnya pada 2017. Sebelum meninggal, Eva mengaku kerap diejek murid lain dengan sebutan "anak orang gila" hanya karena sang ayah mengalami gangguan kejiwaan yang mengharuskannya rutin meminum obat.

"Mereka putus asa biasanya jika [perundungan] panjang, berulang, dan enggak ada yang menolong," kata Retno.

Karenanya, di samping penegakan hukum terhadap pelaku, Retno menuntut ada rehabilitasi psikologis bagi anak yang menjadi korban perundungan. Ini harus melibatkan berbagai sektor, mulai dari kepolisian sampai pemerintah daerah. Peran orang tua juga amat penting untuk menguatkan anak. Dia mewanti-wanti agar mereka tidak malah menyalahkan si anak.

"Biasanya korban suka menyalahkan dirinya sendiri, jadi yang paling penting adalah dia dikuatkan, dirangkul bahwa kamu tidak salah, kamu akan baik-baik saja, kami bersama kamu," kata Retno.

Baca juga artikel terkait BULLYING atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino